Wisata: Mengunjungi Al-Imtizaj, Masjid Bernuansa Tionghoa di Kota Bandung
Bismillahirrahmanirrahim.
"Mbak, asalnya dari mana?"
"Kalimantan"
"Masa sih? gak percaya saya. Wajahnya Jawa banget gitu kayaknya. Dari Jawa ya aslinya ya?"
Membincangkan etnis Tionghoa di Indonesia, buat saya, seperti mengingat keadaan saya sendiri. Lahir dan dibesarkan di Kalimantan, tetap saja membuat saya kikuk kalau mengaku asli Kalimantan.
Pasti banyak yang tidak percaya!. Ha-ha
Banyak kenalan saya yang mengakui itu. Hampir sebagian besar selalu tidak percaya kalau saya ini warga asli Kalimantan. Katanya, wajah saya itu Jawa tulen. Logat saya juga, engga bisa dimanipulasi, kata mereka, khas Jawa sekali. Saya sendiri juga gak bisa nipu, lha gimana lagi, apa saya harus ngasih lihat KTP sekaligus akta kelahiran biar pada percaya kalau saya ini putera daerah Kalimantan?. 😂
Jadi kadang, untuk identitas diri, saya suka bingung. Ngaku Kalimantan, gak diakui sebagai orang Kalimantan karena bukan bagian dari suku asli, sampai kapanpun, sepertinya saya tetap dikenal sebagai warga dari suku pendatang. Ngaku orang Jawa, budayanya gak nguasai secara sempurna, bisa bahasanya sedikit-sedikit, dan gak tinggal di Jawa juga. Akhirnya dua-duanya, bisa-bisa malah gak dapet. 😅
Sejarah Tionghoa juga begitu. Jika teman-teman punya keisengan mempelajari sejarah kedatangan etnis mereka ke Indonesia dan banyak membaca. Barangkali, perasaan sebagian dari mereka juga seperti saya. Bedanya, kalau saya lingkupnya beda provinsi saja, mereka lingkup antar negara.
Perasaan seperti, mau mengakui diri sebagai WNI, karena lahir dan tinggal di Indonesia, tapi wajah, perawakan, budaya dan segala macemnya Tionghoa punya, jadi suka dianggap warga pendatang. Mengaku asli Tiongkok, tapi tidak pula tinggal di negara asalnya.
Apalagi kita memang kedatangan banyak pekerja WNA dari Tiongkok yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini.
Belum lagi, permasalahan kultural, konflik etnis yang pernah terjadi, rasis, sasaran kebencian berikut fakta ketimpangan ekonomi antara mayoritas WNI Tionghoa dengan penduduk pribumi membuat saya sedikit paham, mengapa sebagian WNI Tionghoa terkesan 'tidak bersahabat' dengan penduduk asli Indonesia.
Ini pernah saya alami sendiri saat pendataan survei atau sensus Badan Pusat Statistik. Sepertinya mereka tidak mudah untuk bersikap terbuka -terutama kepada abdi negara perwakilan pemerintah- saat disuguhi beberapa pertanyaan. Waktu itu, saya hanya membatin, "kok gitu amat ya? padahal sama-sama tinggal di bumi Indonesia."
Namun dengan menilik sejarah etnis Tionghoa di Indonesia dari masa ke masa, kemudian mengingat beberapa peristiwa yang melibatkan mereka sebagai korban, seperti misalnya Kerusuhan 1998, kita jadi bisa sedikit mafhum. Ya, harus diakui, ini menjadi peer rumah kita bersama sebagai bangsa.
Traumatik masa silam itu masih ada, bibit-bibit rasisme juga masih bisa bertumbuh kapan saja. Tinggal bagaimana kita merawat dan menjaga, demi persatuan dan kesatuan NKRI.
Dari depan alun-alun Bandung, menyeberangi jalan raya, jalan saja ke arah tugu KAA, belok ke kiri menuju Jalan Banceuy. Letaknya persis di pinggir jalan sehingga tidak menyulitkan untuk ditemukan. Bangunan masjid dengan warna merah dan kuning terang, bernuansa seperti klenteng khas Tionghoa sangat mudah ditemukan diantara bangunan lain di sekelilingnya. Jika tidak ada tulisan nama masjid di gapura, mungkin saya juga tidak akan tahu, bahwa ini adalah tempat ibadah umat muslim.
Jika Masjid Lautze 2 terlihat menyatu dengan ruko di sekitarnya dan hanya menampung 50 jemaah. Masjid Al-Imtizaj merupakan bangunan tersendiri, arsitekturnya juga sangat khas oriental dan dapat menampung jemaah lebih banyak, yakni sekitar 200 jemaah.
Tempatnya nyaman meski tidak terlalu luas. Saat masuk ke area masjid, ada beberapa tempat duduk dan meja di bawah pohon rindang yang dapat digunakan pengunjung untuk sejenak bersantai ataupun memesan makanan. Cozy bangetlah dipakek nongkrong sambil nungguin jemputan babang Grab. 😁
Saya pun langsung menuju ke atas, menuju tempat salat. Warna yang digunakan oleh masjid ini di dominasi warna kuning, merah dan emas, sangat khas Tionghoa. Begitupun dengan ornamen lampion, hiasan dinding dan sebagainya, mengingatkan saya pada rumah-rumah masyarakat etnis Tionghoa.
Al-Imtizaj yang merupakan nama masjid ini, terdengar agak tidak familiar untuk dilafalkan. Tidak seperti nama masjid pada umumnya di Indonesia seperti At-Takwa, Istiqomah atau lainnya, meskipun penamaannya juga sama-sama berasal dari bahasa arab. Al-Imtizaj sendiri bermakna pembauran. Dalam bahasa Mandarin disebut Ronghe yang artinya pembauran antara muslim baru (mualaf) dan yang sudah lama.
Pembauran di sini juga bisa dimaknai sebagai asimilasi antara muslim Tionghoa dan masyarakat setempat. Jadi bukan berarti karena ini masjid Tionghoa, kita tidak boleh melaksanakan salat di dalamnya.
Jika teman-teman berkesempatan mengunjungi daerah Braga dan sekitarnya, mengunjungi Masjid Al-Imtizaj, masjid bernuansa Tionghoa di Kota Bandung ini bisa dimasukkan sebagai tujuan selanjutnya. Bangunannya unik, tempatnya nyaman dan bersih. Selain itu, mengunjungi masjid ini dan salat di dalamnya, tentu dapat menambah pengalaman dan khazanah religi tersendiri. 😉
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
15 komentar
Wah, menarik Mbak.. Saya kira pengaruh Islam yang dibawa dari Tiongkok hanya kental di Semarang saja, ternyata di Bandung juga ada yaa..
ReplyDeleteBy the way, saya koq ikut sedih ya waktu baca soal ketakutan mereka untuk lebih terbuka. Rasis ini efeknya sedemikian traumatis yaa.. Semoga negeri ini selalu damai dan dilindungi oleh Allah. Aamiin YRA.
Aku belum pernah niiih mampir ke sini nih mba..padahal kemarin sempet di Bandung 2 malam..next time deh!
ReplyDeleteAku bertahun2 tinggal di Bandung & blm pernah lho soan2 ke mesjid ini, etapi alun2 Bandung yg baru pun belum pernah.. hiks, tapi emang bagus ya aku suka deh kalau perpaduan agama & budaya menyatu... menandakan bahwa islam itu indah & memang di Indonesia semua dapat menyatu selaras dengan damai :)
ReplyDeletePernah tinggal di Bandung selama bertahun-tahun, baru tau kalo di deket Braga ada masjid Tionghoa mbak. Saya taunya cuma masjid Lautze di ujung Jl. Tamblong - Jl. Lembong. Kirain cuma itu masjid Tionghoa di Bandung. Heuheu
ReplyDeleteSaya baru tahu kalau ada masjid yang punya nuansa tionghoa seperti ini.
ReplyDeleteAku suka deh sama makna nama dari masjid ini, pembauran. ��
Meskipun enggak terlalu sering ke Bandung tapi aku belum pernah mendengar tentang mesjid ini padahal sangat bersejarah ya dan menjadi saksi bisu pembauran budaya dalam balutan agama. Sedih juga sih mengetahui kondisi itu, mudah-mudahan kedepannya enggak ada lagi SARA.
ReplyDeleteAsikk ini mba tempatnya, aku pengen main juga ke maajid ini keren bentuk bangunannya. Unik dan bikin saya ingat Hongkong hehhehe
ReplyDeletedi daerah saya, ada satu masjid bernuansa tionghoa, saya pun senang karena tempatnya selalu bersih, orang-orang jadi ramai ke masjid, adem.
ReplyDeleteIni kalau saya yang mikir ya mba, kita semua ini apakah bukannya pendatang. Wallahu'alam, tapi SARA ini memang ngeselin.
Btw, saya asli kalimantan, yang kalau ke jawa pasti dikira orang jakarta.
Emang orang kalimantan itu mseti gimana ya wkwkwk
Subhanallah yaaa moms..ada masjid indah seperti ini..bener2 islam itu emang agama pemersatu dan mengenal toleransi satu sama lain
ReplyDeletePernah kuliah di Bandung zaman dulu banget aku lupa-lupa ingat sama keberadaan masjid berarsitektur tionghoa di sana. Tapi memang belum pernah merasakan sholat di dalamnya. Kagum karena agama Islam mempersatukan etnis yang berbeda-beda, termasuk tionghoa. Aku jadi ingat sama masjid di kota Beijing dan Xi'an.
ReplyDeleteMasjidnya bagus ya. Unik. Warnanya jg eye catching bgt
ReplyDeleteKeren yaa, aku selalu suka tempat ibadah yg sarat pesan toleransi. Kalau ke bandung lagi wajib di kunjungi nih :)
ReplyDeleteAaahh...menyenangkan sekali ya suasana di masjidnya. Bener kalau dibilang masjid ini mewakili pembauran. Meskipun untuk ibadah muslim, nuansanya khas Tiongkok banget ya.
ReplyDeleteAku pernah baca tentang masjid ini, sebenarnya penasaran pengen lihat sih cuma kenapa setiap ke Bandung lupa melulu ya. Semoga nanti pas ke Bandung bisa kesini ya, soalnya banyak nih list wisata Bandung.
ReplyDeleteBaru tau ada masjid nuansa tionghoa di Bandung.
ReplyDeleteBedewe, agak mirip nasibnya sama saya. Ketueunan Jawa, tapi lahir dan besar di Lampung. Bedanya, banyak orang bilang wajah saya asli Lampung, dan banyak juga yang bilang wajah China (kata suami klo pasang poni malah wajah Jepang), tapi logatnya Jawa banget.