Meremajakan Cinta Hingga Menua Bersama
Sebuah Prolog. ~
Bismilahirrahmanirrahim.
Saya sedang tidak baik-baik saja, hari-hari ini, jika ada yang bertanya, bagaimana kabar saya sebenarnya.
Berulang kali, saya juga bertanya kepada pasangan hidup saya, "Apa kamu tidak bersedih?."
Dan berulang kali juga saya mendapat jawaban yang sama, "Saya juga sebenarnya bersedih, tapi saya harus kuat, untuk kamu."
Saya tahu sedemikian keras ia berusaha. Katanya, ia hanya ingin melihat saya bahagia dan tertawa. Maka, diajaknya saya pergi ke tempat-tempat yang belum pernah saya datangi -sebab ia tahu saya sangat menyukai perjalanan-, dibawanya saya berkunjung ke tempat-tempat makan yang baru, dan pulang dengan basah kuyup karena kehujanan. Ia tahu betapa saya juga menyukai hujan dan aroma yang ditinggalkan sesudahnya.
Jika di rumah, ia biarkan saya, berleha-leha, tidak melakukan apapun kecuali hal yang saya suka.
Sebentar-sebentar, saya juga diajak menonton acara komedi yang menghibur, sampai-sampai saya berkata, "Apa sudah saatnya kita pindah tempat tugas ke Sulawesi Tenggara saja? saya belum khatam jalan-jalan ke Indonesia Timur dan mempelajari budaya. Saya juga ingin sedikit berperan dan berbuat sesuatu di sana."
Dan ia, terkekeh, kegirangan.
"Tunggu dulu! nanti aku pikirkan lagi, mungkin besok aku bisa berubah pikiran." Kata saya menggoda.
Tapi itu semua tidak kunjung membuat saya menjadi lebih baik, melupakan sejenak, mungkin iya.
Lalu, di suatu sore, saya menangis, sambil memangku Al-Quran.
"Kenapa?" tanyanya. Saya bilang kalau saya tidak mampu menahan perasaan. Saya tidak bisa begitu saja mencampakkan kesedihan, berpura-pura ia tidak ada, padahal ia nyata. Saya bilang saya sangat sedih dengan apa yang saya alami, tentang pernikahan kita, tentang semuanya.
Saya menangis terus, dengan sedikit jeda, sampai pagi, sendiri, di kamar yang berbeda.
Saya tahu ia hanya bingung dengan apa yang harus ia lakukan terhadap saya, dan memilih untuk membiarkan saya menyendiri, menangisi semua yang telah terjadi.
Sampai saya menuliskan ini, kini saya menyedihkan perasaannya. Ia, lelaki yang memilih untuk tidak pernah bersedih, demi saya.
"Dan apabila Kami berikan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan (rahmat) itu. Tetapi apabila mereka ditimpa sesuatu musibah (bahaya) karena kesalahan mereka sendiri, seketika itu mereka berputus asa." Q.S Ar-Rum: 36
Malam itu, dalam tangisan berkepanjangan persis rel kereta api, saya memikirkan banyak hal. Saya menyesali banyak kesibukan yang saya lakukan yang terlihat indah, padahal hanya kesia-siaan yang semakin menjauhkan saya dengan Al-Quran.
"Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya, negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui." Q.S Ar-Al-An-Kabut: 64
Saya menyesali mengapa saya keterlaluan menjunjung dunia yang hanya senda gurau saja, dan sedikit melalaikan bahwa ada Allah tempat saya bersandar, ada Allah yang punya kuasa, ada Allah, dan selama ini, saya ke mana saja?. Mengapa saya merasa bahwa satu-satunya upaya adalah ikhtiar manusia, sementara doa-doa saya panjatkan saja dengan biasa?.
Saya menyesali apa-apa yang telah saya mulai untuk saya lakukan, rasanya saya ingin berhenti, dan jika boleh kembali, saya ingin tidak pernah memulai apa-apa. Karena ternyata, sebagian besar waktu yang tersita menujunya, membuat saya tak punya waktu untuk memikirkan diri saya sendiri, pernikahan saya, dan perjalanannya.
Saya menyesali semua perbuatan saya, yang tanpa sadar membuat saya, barangkali TAK PERNAH SERIUS BERDOA. Barangkali membuat saya tak pernah benar-benar belajar keikhlasan, kesabaran dan tawakal yang menyeluruh.
Saya terlampau SIBUK, dan saya disibukkan dengan hal-hal yang semestinya bisa saya kendalikan.
Saya bahkan mulai mempertanyakan definisi dari BERBAGI, -jika pada akhirnya- hal itu menggerus konteks tentang peduli pada diri sendiri.
Saya sedang bersedih, sebenarnya itu saja intinya, saya bersedih atas jawaban Allah pada takdir perjalanan pernikahan kami.
Saya sedang dalam masa, tidak tahu lagi apa yang seharusnya dilakukan, saya merasa berada dalam posisi di tengah sekumpulan buaya. Jika saya maju, saya akan masuk ke dalam hutan yang penuh harimau lapar, namun jika diam di tempat, saya pun harus tetap bergulat dengan buaya yang sedang dalam posisi mulut menganga.
Saya bersedih atas keadaan saya.
Juga untuk keadaan yang menimpa pernikahan kami, di usianya yang kesepuluh.
Perjalanan Maret, 2018 |
Saya pun masih bertanya, "Kenapa kamu tak pernah mengajakku membicarakan tentang kesedihan kita?."
Dan ia pun menjawab, "Karena aku tahu, itu akan membuatmu mengingatnya lagi. Aku ingin kita move on, beranjak, dan memikirkan hal-hal baik yang akan kita terima di masa akan datang."
Lalu saya diam-diam meneteskan air mata lagi, kembali kepadanya saat sudah menguasai diri, dan menyampaikan untuk mengingatkan kembali,
"Ini tahun kesepuluh kita, Kak."
~~~~
Silakan melanjutkan membaca cerita ini ke:
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
0 komentar