Statistisi
-266- Workshop Menulis BPS: Belajar Menulis Opini dari Wartawan Senior Budiarto Shambazy
Sunday, November 19, 2017
Bismillahirrahmanirrahim
"Indonesia ini bukan hanya Jakarta."
Demikian Pak Budiarto Shambazy memberikan pengantar di hari pertama Workshop Menulis BPS.
Sangat menarik, sebab ucapan ini dilontarkan oleh seorang wartawan senior Kompas yang telah berkecimpung di dunia jurnalistik selama 35 tahun.
"Tetapi sayangnya, informasi kita sudah begitu dipusatkan ke Jakarta. Seolah-olah satu titik di Jakarta benar-benar menggoncang Indonesia" demikian tambahnya.
Dan, hari ini, itulah faktanya. Seperti drama panjang yang kita saksikan dalam kurun waktu beberapa hari ini.
Drama panjang soal #tianglistrik, misalnya.*eh :)
Ini lucu, satire, tetapi fakta. Apapun yang terjadi di Jakarta, sungguh mampu menggoyang Indonesia.
Kita masih sangat terpusat di Jakarta, akui saja. Penyebab utama, tentu saja, karena porsi informasi, warta berita masih belum merata. Tidak hanya perkara pembangunan saja yang belum sesuai porsinya, tetapi tentang penyampaian informasi, sebelas dua belas rupanya.
"Karena itu, saya senang sekali, bertemu dengan anda semua hari ini, dari seluruh provinsi di Indonesia. Sudah saatnya, fokus informasi kita merata, tidak hanya terpusat di Jakarta saja. Saya kira, ini acara yang baik sekali. Karena anda semua dihadirkan di tempat ini, untuk belajar bagaimana menuliskan opini. Saya membayangkan anda semua akan menjadi penulis yang dapat mewartakan kondisi daerah masing-masing."
Budiarto Shambazy. Foto: Humas BPS RI |
Ya, ini kali pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) menyelenggarakan kegiatan Capacity Building "Kepenulisan" untuk para pegawainya, melibatkan peserta sampai Kabupaten/Kota, dalam kegiatan bertajuk, "Workshop Menulis." Bertempat di Hotel BSD City, Banten pada tanggal 9-11 November 2017.
Adalah sebuah kehormatan untuk saya, bisa terpilih menjadi salah satu peserta dari tujuh puluh peserta daerah. Saya bersama Mas Agus Haryanto (BPS Kota Tarakan) terpilih untuk mewakili peserta dari BPS Provinsi Kalimantan Timur.
Para peserta daerah adalah peserta pilihan yang telah diseleksi oleh BPS RI dari lima calon peserta yang telah diseleksi dan diajukan oleh BPS Provinsi masing-masing.
Sebelum ini, kami diminta untuk mengirimkan karya tulisan yang pernah dibuat, buku yang pernah ditulis ataupun blog aktif yang dimiliki.
Blog ini termasuk yang saya kirimkan, selain karya yang lainnya, dan saya juga mengenalkan diri sebagai seorang blogger. Karena itu, tentu saya bertanggung jawab untuk memberikan reportase kegiatan. Itulah tugas dan fungsi seorang blogger, salah satunya. Hag hag hag, ternyata membuat reportase dari sekian banyak informasi yang telah diterima cukup tidak mudah juga ya. 😄.
Pada seremoni pembukaan, Pak Adi Lumaksono, Sekretaris Utama BPS RI memberikan pernyataan bahwa, "BPS sudah biasa melakukan peningkatan SDM dengan membuka kesempatan lebar-lebar untuk sekolah lagi. BPS bekerja sama dengan Universitas terbaik di Indonesia. UI, ITB, IPB, UGM, UNPAD, ITS adalah diantaranya. Tetapi ternyata bentuk itu saja tidak cukup, sehingga kami memandang perlu memberikan capacity buliding dalam bentuk yang lainnya, workshop menulis ini salah satunya."
Lebih lanjut, Pak Adi menyampaikan harapannya, agar peserta Workshop Menulis yang telah diseleksi dari BPS seluruh Indonesia ini mampu menjadi kekuatan BPS dalam menghadapi pro dan kontra yang berkembang terkait data BPS. "Untuk meng-upgrade dinamika di luar," papar beliau.
Pak Budiarto Shambazy sendiri mengisi acara persis setelah pembukaan usai. Lulusan Political Science Faculty, Hawai dengan sederet prestasi di bidang jurnalistik ini mengatakan dengan lantang,
"saya tidak berpendidikan jurnalis, tapi bukan berarti tidak bisa menulis." Terbukti, sepak terjang beliau di dunia jurnalistik dengan menjadi wartawan Kompas sudah 35 tahun lamanya.
"Menulis itu seni, art, bukan ilmu pasti. Menulis tidak butuh gelar. Siapa saja bisa menulis. Memang ada teori yang menyatakan bahwa menulis itu bakat, nomor dua adalah latihan. Tetapi pada praktiknya, bakat itu nomor dua. Kita akan menjadi penulis berbakat dengan latihan. Bakat itu nomor dua. Selalu kunci suksesnya adalah latihan...latihan...latihan...tulis...tulis...tulis...tulis. Gak ada urusan sama bakat."
Beruntung Bekerja di BPS
"Bapak ibu sangat beruntung bekerja di BPS." Setelah menyuntikkan semangat kepada semua peserta tentang menulis itu bukan hanya milik jurnalis, yang membuat saya seketika langsung yakin bahwa saya juga bisa menjadi penulis tenar terkenal :p, Pak Budiarto kembali melontarkan kalimat semangat betapa beruntungnya bekerja di BPS.
Bicara beliau patah-patah, dengan intonasi suara cenderung berat, tetapi sama sekali tidak membosankan karena setiap isi dari pernyataan beliau sangat berbobot. Saya hampir kerepotan menuliskan apa saja hal penting yang beliau sampaikan pada sesi ini. Apalagi posisi duduk saya agak di belakang (posisi duduk sudah diatur panitia), sementara saya tipe pembelajar visual, yang mana saya perlu melihat pembicara dengan jelas dan fokus untuk menghasilkan daya ingat. Tetapi pernyataan beliau tentang beberapa hal, saya ingat dengan lekat.
"Wartawan tugasnya menulis. BPS seperti halnya peneliti hasil akhirnya adalah artikel. Wartawan menulis menggunakan asumsi. Bapak Ibu? Bapak Ibu beruntung bekerja di BPS. Bapak Ibu menulis berdasarkan data. Kalau sudah data yang berbicara, siapa yang mau bantah? gak ada. Gak ada yang berani bantah. Itu kekuatan yang dimiliki oleh Bapak Ibu."
"Tapi masalahnya sekarang, data itu boring. Boring, bener deh."
"Bagaimana cara agar pembaca gak merasa boring? anda harus belajar menulis, anda harus menguasai teknik penulisan." *makin meledak-ledak deh semangat nulisnya. :)
Pada dasarnya apa yang sedang kami pelajari dalam tiga hari workshop ini adalah menulis opini dan bagaimana opini itu dapat menembus media nasional, wabil khusus media cetak bergengsi seperti Kompas.
Tapi apalah saya yang sejak beberapa tahun terakhir tidak pernah lagi membaca Kompas, baca koran media lokal saja sudah jarang-jarang, *parah sekali lah urusan bacaan media cetak kalau saya. :p Saat ini lebih banyak berita dari media online, jujur saja, dan lebih banyak lagi membaca situasi terkini dari trending topic social media. :p
Karena itu, waktu Pak Baz menceritakan kisah sedihdi hari minggu terkait masa depan media cetak yang menurut beliau seperti berada di depan jurang, tinggal menunggu waktu saja, ditambah kisah pilu tentang semakin menurunnya pembaca Opini Kompas berdasarkan riset internal Kompas, membuat saya lantas segera mengacungkan tangan untuk bertanya.
"Saya tertarik dengan pernyataan Bapak tentang masa depan media cetak yang sudah di depan jurang. Ditambah lagi, pernyataan Bapak, bahwa berdasarkan penelitian Kompas jumlah pembaca opini Kompas semakin menurun. Lalu kami dikumpulkan di sini, untuk menjadi penulis opini di media cetak nasional. Lah bagaimana? apa masih cerah masa depan penulis opini? atau melihat perkembangan medsos yang semakin cepat, kami cukup berupaya membranding tulisan di sana?."
Seketika kelas menjadi riuh. 😅. Lhah iya, simpel saja, ini dilatih jadi penulis opini media cetak, lha media cetaknya saja sudah tidak menjanjikan, fikir saya. 😁.
"JANGAN MENULIS OPINI DI MEDSOS." Sengaja saya tulis dengan huruf kapital semua. Ini pesan yang hampir -semua mentor-#WorkshopMenulisBPS sampaikan.
Di sini pula Pak Baz menambahkan, "jika yang anda maksudkan adalah news portal berita online seperti kumparan.com (bukan endorse :p) silahkan. Tetapi jika yang anda maksudkan social media seperti Facebook, Twitter, Instagram, jangan. Jangan pernah menulis opini di laman socmed. Nanti akan saya ceritakan alasannya. Jangan serampangan menulis di sosmed, hati-hati dan senantiasa menulis yang positif, tidak provokatif."
Nanti akan saya ceritakan alasannya, sampai detik saya menayangkan artikel ini, saya baru sadar kalau Pak Baz belum menceritakan alasannya. La ndalaaah :D. Tapi masuk di akal juga apa yang disampaikan Pak Baz, menurut hemat saya, ini menyangkut kredibilitas sebuah opini. Silahkan jika ada yang mau menambahkan. :)
"Lalu terkait media cetak," kata Pak Baz sambil tersenyum simpul. 😄
"Gak buruk-buruk amatlah. Kita masih bisa menikmatinya, kira-kira sampai 50 tahun ke depan." 😊
(((50 tahun))). Jadi ya, sama sekali belum terlambat untuk manusia seperti kita (saya aja mungkin, :p, yang lain udah pada jago-jago) yang baru akan memulai kiprah di dunia media cetak.
Sssst, masih ada kesempatan untuk berkibar!, hihi.
Beberapa yang saya ingat, ada yang menanyakan ke Pak Baz bagaimana agar tulisan opini kita disukai oleh redaksi, dan Pak Baz menjawabnya dengan santai bahwa itu selera. Dan yang namanya selera ya tidak bisa diukur secara pasti. Saran beliau, banyak-banyaklah membaca, pelajari gaya bahasa dari sebuah media, dan terus update berita terkini.
Satu hal lagi yang saya ingat dari pernyataan Pak Baz ialah, "tidak ada media yang netral. Netralitas adalah omong kosong."
Agak bergidik ngeri juga membayangkan makna terdalam pernyataan beliau tentang satu hal ini. Mengingat semakin canggih teknologi, semakin riuh informasi dari media yang kita terima. Dunia kita hari ini, dijejal dan dibentuk oleh opini media. Sakitnya lagi, kita sudah kehabisan waktu untuk memilah mana berita sampah dan mana yang masih menjunjung tinggi nilai. Keduanya, bungkusnya sama. Sama-sama cantiknya.
Itu sebabnya, saya tidak latah ikut menertawai kondisi negeri ini yang mungkin sedang #lucu, penuh #drama. Saya khawatir, semakin kita terlena, menganggapnya sebuah guyonan, ada esensi yang sama-sama kita lupakan. Atau kemungkinan yang satu lagi, kita dibuat menengok ke satu sisi yang lainnya, sebab di sisi yang seberangnya lagi, ada hal besar tengah terjadi yang sedang ditutup-tutupi.
"Tidak ada media yang netral." Bahkan di sesi menulis kali ini kami diajarkan untuk tidak pernah netral. *
-Dua Jam bersama Budiarto Shambazy, Wartawan Senior Kompas-.
Tidak terasa, dua jam rasanya sebentar saja. Interaktif, menarik, dan ulasan yang berisi. Tepat sekali Workshop Menulis ini dibuka oleh Pak Baz. :) Semangat para peserta nampak langsung membara, dan siap untuk menerima materi-materi luar biasa selanjutnya. :)
Bicara beliau patah-patah, dengan intonasi suara cenderung berat, tetapi sama sekali tidak membosankan karena setiap isi dari pernyataan beliau sangat berbobot. Saya hampir kerepotan menuliskan apa saja hal penting yang beliau sampaikan pada sesi ini. Apalagi posisi duduk saya agak di belakang (posisi duduk sudah diatur panitia), sementara saya tipe pembelajar visual, yang mana saya perlu melihat pembicara dengan jelas dan fokus untuk menghasilkan daya ingat. Tetapi pernyataan beliau tentang beberapa hal, saya ingat dengan lekat.
"Wartawan tugasnya menulis. BPS seperti halnya peneliti hasil akhirnya adalah artikel. Wartawan menulis menggunakan asumsi. Bapak Ibu? Bapak Ibu beruntung bekerja di BPS. Bapak Ibu menulis berdasarkan data. Kalau sudah data yang berbicara, siapa yang mau bantah? gak ada. Gak ada yang berani bantah. Itu kekuatan yang dimiliki oleh Bapak Ibu."
"Tapi masalahnya sekarang, data itu boring. Boring, bener deh."
"Bagaimana cara agar pembaca gak merasa boring? anda harus belajar menulis, anda harus menguasai teknik penulisan." *makin meledak-ledak deh semangat nulisnya. :)
Pada dasarnya apa yang sedang kami pelajari dalam tiga hari workshop ini adalah menulis opini dan bagaimana opini itu dapat menembus media nasional, wabil khusus media cetak bergengsi seperti Kompas.
Tapi apalah saya yang sejak beberapa tahun terakhir tidak pernah lagi membaca Kompas, baca koran media lokal saja sudah jarang-jarang, *parah sekali lah urusan bacaan media cetak kalau saya. :p Saat ini lebih banyak berita dari media online, jujur saja, dan lebih banyak lagi membaca situasi terkini dari trending topic social media. :p
Karena itu, waktu Pak Baz menceritakan kisah sedih
"Saya tertarik dengan pernyataan Bapak tentang masa depan media cetak yang sudah di depan jurang. Ditambah lagi, pernyataan Bapak, bahwa berdasarkan penelitian Kompas jumlah pembaca opini Kompas semakin menurun. Lalu kami dikumpulkan di sini, untuk menjadi penulis opini di media cetak nasional. Lah bagaimana? apa masih cerah masa depan penulis opini? atau melihat perkembangan medsos yang semakin cepat, kami cukup berupaya membranding tulisan di sana?."
Seketika kelas menjadi riuh. 😅. Lhah iya, simpel saja, ini dilatih jadi penulis opini media cetak, lha media cetaknya saja sudah tidak menjanjikan, fikir saya. 😁.
"JANGAN MENULIS OPINI DI MEDSOS." Sengaja saya tulis dengan huruf kapital semua. Ini pesan yang hampir -semua mentor-#WorkshopMenulisBPS sampaikan.
Di sini pula Pak Baz menambahkan, "jika yang anda maksudkan adalah news portal berita online seperti kumparan.com (bukan endorse :p) silahkan. Tetapi jika yang anda maksudkan social media seperti Facebook, Twitter, Instagram, jangan. Jangan pernah menulis opini di laman socmed. Nanti akan saya ceritakan alasannya. Jangan serampangan menulis di sosmed, hati-hati dan senantiasa menulis yang positif, tidak provokatif."
Nanti akan saya ceritakan alasannya, sampai detik saya menayangkan artikel ini, saya baru sadar kalau Pak Baz belum menceritakan alasannya. La ndalaaah :D. Tapi masuk di akal juga apa yang disampaikan Pak Baz, menurut hemat saya, ini menyangkut kredibilitas sebuah opini. Silahkan jika ada yang mau menambahkan. :)
"Lalu terkait media cetak," kata Pak Baz sambil tersenyum simpul. 😄
"Gak buruk-buruk amatlah. Kita masih bisa menikmatinya, kira-kira sampai 50 tahun ke depan." 😊
(((50 tahun))). Jadi ya, sama sekali belum terlambat untuk manusia seperti kita (saya aja mungkin, :p, yang lain udah pada jago-jago) yang baru akan memulai kiprah di dunia media cetak.
Sssst, masih ada kesempatan untuk berkibar!, hihi.
Teknik Menulis Opini
Opini itu essay. Karena bentuknya essay, sebaiknya jangan kaku. Opini itu gagasan, ada angle tertentu yang disampaikan oleh penulisnya. Karena itu dalam menulis opini sebaiknya:- Strong Opinion. Penulis opini harus punya opini yang kuat. Terlebih bagi insan BPS yang memiliki data. Selama datanya kuat, lanjut saja, teruskan saja. Berani untuk mengungkapkan gagasan.
- Sebaiknya maksimal tiga alinea saja untuk paragraf pertama. Alinea pertama harus tegas, gunakan kalimat langsung.
- Jangan Open Ended. "Penulis opini tidak boleh netral." Ujar Pak Baz. Penulis opini harus menentukan di mana posisinya, karena opini ini menyampaikan pendapat, gagasan, jadi tidak boleh menggantung (open ended).
- Perhatikan Batasan Karakter. Opini adalah tulisan singkat yang dibatasi, rata-rata media memberi batasan maksimal 600 kata, atau sekitar 6000-7000 karakter. Sehingga penulis opini harus pandai dan terbiasa memadatkan kata, langsung ke pokok permasalahan dan meramu bagaimana opini dapat tersampaikan dengan baik dan utuh.
- Tutup Dengan Problem Solving. Akhiri tulisan opini dengan sebuah solusi.
Beberapa yang saya ingat, ada yang menanyakan ke Pak Baz bagaimana agar tulisan opini kita disukai oleh redaksi, dan Pak Baz menjawabnya dengan santai bahwa itu selera. Dan yang namanya selera ya tidak bisa diukur secara pasti. Saran beliau, banyak-banyaklah membaca, pelajari gaya bahasa dari sebuah media, dan terus update berita terkini.
Satu hal lagi yang saya ingat dari pernyataan Pak Baz ialah, "tidak ada media yang netral. Netralitas adalah omong kosong."
Agak bergidik ngeri juga membayangkan makna terdalam pernyataan beliau tentang satu hal ini. Mengingat semakin canggih teknologi, semakin riuh informasi dari media yang kita terima. Dunia kita hari ini, dijejal dan dibentuk oleh opini media. Sakitnya lagi, kita sudah kehabisan waktu untuk memilah mana berita sampah dan mana yang masih menjunjung tinggi nilai. Keduanya, bungkusnya sama. Sama-sama cantiknya.
Itu sebabnya, saya tidak latah ikut menertawai kondisi negeri ini yang mungkin sedang #lucu, penuh #drama. Saya khawatir, semakin kita terlena, menganggapnya sebuah guyonan, ada esensi yang sama-sama kita lupakan. Atau kemungkinan yang satu lagi, kita dibuat menengok ke satu sisi yang lainnya, sebab di sisi yang seberangnya lagi, ada hal besar tengah terjadi yang sedang ditutup-tutupi.
"Tidak ada media yang netral." Bahkan di sesi menulis kali ini kami diajarkan untuk tidak pernah netral. *
-Dua Jam bersama Budiarto Shambazy, Wartawan Senior Kompas-.
Tidak terasa, dua jam rasanya sebentar saja. Interaktif, menarik, dan ulasan yang berisi. Tepat sekali Workshop Menulis ini dibuka oleh Pak Baz. :) Semangat para peserta nampak langsung membara, dan siap untuk menerima materi-materi luar biasa selanjutnya. :)
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
2 komentar
Jadi, media memang tidak pernah netral yaa -_- . Jujurnya aku jg sama mba, ga prnh lg membaca koran mau yg online atopun cetak. Krn kdg isinya terlalu berat sebelah. Malah bikin stress yg membaca :D.
ReplyDeleteTp aku suka kata2 pak baz yg bilang kalo menulis bukan masalah bakat. Itu hasil dr latihan, latihan, latihan :) . Lgs ngerasa malu, krn slama ini aja mau latihan nulis lbh rutin tapi kok ya males2an
Aku lgsg ngefans sm Pak Baz, hahaha
ReplyDeleteiyaaa menulis itu latihan latihan yaa, terus suka malu kalau liat tulisan sendiri jaman dulu, nulis itu proses belajar