Bismillahirrahmanirrahim.
Semalam saya baru saja menemani Fifi belajar, mengerjakan peer tabel perkalian satu hingga sepuluh.
Wajah Fifi terlipat, serius sekali. Sengaja saya memberinya sedikit clue dan membiarkannya mengerjakan seorang diri.
Bolak balik ia memperlihatkan hasil pekerjaannya kepada saya. Dan bolak balik pula ia harus menghapus karena hitungannya belum benar.
Di menit kesepuluh, ia masih nampak enjoy. Menit ke lima belas, mulai sedikit resah, menit ke tiga puluh, mulai sewot sambil menggerutu,
"Hisssh, kenapa sih ini susah betul. Salah lagi. Salah terus".
Menit ke empat puluh lima, mulai terisak, lalu mendatangi saya, dan menumpahkan kepusingannya.
"Fifi tuh ndak bisa Bunda. Ini tuh susah. Bunda juga kenapa ndak ajarin Fifi. Fifi ndak tahu". Bukunya basah, tangisannya pecah satu-satu, mulanya hanya isakan, lama-lama menderas. Ajarin di sini maksudnya ialah membantu menyelesaikan isiannya. Secara instan.
Lalu saya tertawa, menertawakan Fifi yang berurai airmata karena peernya, menertawakan seorang gadis kecil yang sedang pusing, dan mentok dengan masalahnya. Menertawakan keluguannya.
Sekaligus menertawakan hidup.
HIDUP
Ternyata begitu saja rumusnya.
Nak, hari ini Bunda belajar banyak darimu. ☺
Tengoklah Fifi dan masalahnya. Lihat betapa masalah itu hadir bersesuaian dengan kemampuan manusianya. Bagi Fifi peer perkalian itu ujian hidupnya. Ia takut peernya salah, takut nilainya rendah, takut dimarahi Bu Guru. Bagi saya, itu bukan apa-apa. Itu hanya masalah bagaimana cara berlatih dan berusaha untuk terus belajar. Tidak akan ada guru yang marah, dan tidak akan ada yang terlalu ambil pusing dengan nilainya, berapapun hasilnya.
Saya jadi mengerti bahwa ujian itu selalu 'pas' kadarnya. Ya tidak mungkin, anak sebesar Fifi dapat ujian mengerjakan peer perkalian 100 misalnya, itu ketinggian. Atau mendapat ujian urusan perselisihan dalam rumah tangga, itu keterlaluan. Ibu guru memberikan peer tentu sudah menyesuaikan kurikulum pendidikan. Saya membiarkannya berpayah-payah berfikir seorang diri karena saya tahu ia mampu, saya tahu ia bisa, saya tahu ia akan lihai setelah berlatih.
Tuhan pun demikian. Ia memberi manusia ujian sudah pasti 'pas' dan tahu kemampuan kita. Di mata kita, itu ujian sangatlah tidak ringan. Kita tertatih, mengaduh, bolak-balik datang kepada Allah.
"Allah, bagaimana ini? Kenapa terasa memberatkan?"
Allah seperti mendiamkan. Doa-doa dipanjatkan seolah tidak ada pengabulan. Padahal Allah sejatinya hanya ingin menyaksikan manusia berikhtiar, mengerahkan segala kemampuan.
Bolak-balik kita datangi Allah, mungkin sambil marah, mungkin sambil menggerutu, mungkin sambil putus asa.
Dan bolak-balik ujian kita lagi-lagi ya itu-itu saja.
Seperti Fifi yang bolak-balik datang.
"Belum benar Nak. Ulangi lagi. Kerjakan lagi".
Tuhan memberi kita kesempatan untuk berjuang dan menjadi tangguh.
Sekaligus ingin mengetahui seberapa besar kemauan kita untuk semakin mendekat dan bukan menjauh.
Seandainya, di menit empat puluh lima, Fifi putus asa, ngambek saja. Marah tidak mau menyelesaikan tugas. Ya sudah. Peer tidak terselesaikan, dan besok ia akan bertemu dengan peer yang sama. Saya? Saya tidak akan gimana-gimana. Paling hanya saya biarkan, agar ia tahu sendiri apa konsekuensi dari tidak mengerjakan peer.
Tapi ia datang lagi, dengan tangisan yang membuat iba.
"Bunda gimana sih Fifi ndak ngerti-ngerti". Dengan tangisan keputusasaan yang melelehkan hati. Saya sudah melihat perjuangannya, sudah melihat bagaimana kegigihannya. Rasa iba kemudian berbuah pada jalan keluar. Saya memberinya clue yang lebih akan memudahkan caranya dalam mengerjakan. Saya membimbingnya pelan-pelan, sampai ia paham. Peerpun terselesaikan dengan baik. Voila! Dan Fifipun mendapatkan jatah hiburan (nonton film kesukaan) sebagai sebuah hadiah atas pencapaian.
Dan ya, kita semua demikian. Saat kita menjauh, semakin jauh, semakin jauh dari Tuhan. Maka bukan penyelesaian dan jalan keluar yang kita dapatkan. Masalahnya tetap itu-itu lagi. Bahkan bisa jadi, saking mentoknya, bunuh diri menjadi satu-satunya pilihan yang terpikirkan.
Beda sekali saat fikiran kita, "Allah lagi, Allah terus, Allah saja". Sedikit demi sedikit, celah jalan keluar terbuka. Allah yang bukakan, Allah yang mudahkan, Allah yang memberikan jalan keluar. Karena apa? Karena Allah sayang. Gak tega Allah dengan hambanya. Gak tega Allah melihat kita sudah gigih berjuang tapi masih mentok juga. Gak tega Allah melihat tangisan kita. Allah sayang. Sudah pasti Allah akan bantu, berikan kemudahan.
Allah sudah saksikan bagaimana kita berikhtiar. Jungkir balik berjuang. Allah pasti akan beri. Pasti beri. Hanya waktunya. Ada waktunya. Tidak bisa instan. Allah tahu kita mampu. Tuhan pasti tahu bahwa kita bisa. Sudah diukur batas kemampuannya.
Ya, sebegitulah HIDUP.
Iya ya, ternyata begitu saja. Barangkali di mata kita ujian itu memberatkan, tetapi Allah melihatnya tidak demikian. Mudah saja di mata Allah. Ia selalu ingin manusia semakin terlatih, semakin kuat, semakin bijak, semakin bahagia.
Dan bentuk ujian, ternyata ya, kalau difikir-fikir ya itu-itu saja ragamnya.
Ujian untuk Fifi mentok-mentoknya selain peer, masih dalam kadar pertemanan, yang kadang terdengar lebay,
"Pokoknya Fifi gak mau lagi Bunda temenan sama Sarah, selama-lamanya". Selama-lamanya apa, setengah jam kemudian juga udah main bareng lagi itu bocah. 😅
Orang dewasa? Tengok dan perhatikan baik-baik. Masalah orang dewasa itu hampir serupa. Putus cinta, jodoh, cekcok, penyakit, cari kerja, ekonomi, rumah tangga, anak-anak, pekerjaan, terlilit hutang, dikhianati, sibuk cari topik skripsi atau sedang pusing dengan tesis disertasi. Bedanya, nanti di masing-masing orang berbeda wujudnya. Ada yang pas dengan masalah percintaan. Ada yang pas dengan masalah keuangan. Dan yang lainnya.
Satu yang perlu digarisbawahi, you are not alone.
Apa? Putus cinta? Milyaran manusia di dunia merasakannya.
Kesulitan ekonomi? Milyaran manusia di dunia mengalaminya
Belum kunjung dapat jodoh? Jutaan manusia juga merasakannya.
Belum kunjung diberi momongan? Ada jutaan manusia juga sedang mendapatkan hal yang sama.
Diberi sakit? Tengok rumah sakit. Tidak pernah sepi pasien. Ramai terus sepanjang hari.
Pengangguran? Kemiskinan? Lihat angka pengangguran dan kemiskinan, hampir selalu ada, hatta di sebuah negeri yang makmur kaya raya.
Yes, you are not alone. Kita tidak pernah sendiri, sejatinya.
Tidak pernah.
Jadi dengan hidup, berjuanglah, berikhtiarlah, berdoalah, dengan gembira, dengan hati yang lebih ringan, dengan tertawa.
Karena kita kini sudah tahu rumusnya.
😀
Menit ke empat puluh lima, mulai terisak, lalu mendatangi saya, dan menumpahkan kepusingannya.
"Fifi tuh ndak bisa Bunda. Ini tuh susah. Bunda juga kenapa ndak ajarin Fifi. Fifi ndak tahu". Bukunya basah, tangisannya pecah satu-satu, mulanya hanya isakan, lama-lama menderas. Ajarin di sini maksudnya ialah membantu menyelesaikan isiannya. Secara instan.
Lalu saya tertawa, menertawakan Fifi yang berurai airmata karena peernya, menertawakan seorang gadis kecil yang sedang pusing, dan mentok dengan masalahnya. Menertawakan keluguannya.
Sekaligus menertawakan hidup.
HIDUP
Ternyata begitu saja rumusnya.
Nak, hari ini Bunda belajar banyak darimu. ☺
Tengoklah Fifi dan masalahnya. Lihat betapa masalah itu hadir bersesuaian dengan kemampuan manusianya. Bagi Fifi peer perkalian itu ujian hidupnya. Ia takut peernya salah, takut nilainya rendah, takut dimarahi Bu Guru. Bagi saya, itu bukan apa-apa. Itu hanya masalah bagaimana cara berlatih dan berusaha untuk terus belajar. Tidak akan ada guru yang marah, dan tidak akan ada yang terlalu ambil pusing dengan nilainya, berapapun hasilnya.
Saya jadi mengerti bahwa ujian itu selalu 'pas' kadarnya. Ya tidak mungkin, anak sebesar Fifi dapat ujian mengerjakan peer perkalian 100 misalnya, itu ketinggian. Atau mendapat ujian urusan perselisihan dalam rumah tangga, itu keterlaluan. Ibu guru memberikan peer tentu sudah menyesuaikan kurikulum pendidikan. Saya membiarkannya berpayah-payah berfikir seorang diri karena saya tahu ia mampu, saya tahu ia bisa, saya tahu ia akan lihai setelah berlatih.
Tuhan pun demikian. Ia memberi manusia ujian sudah pasti 'pas' dan tahu kemampuan kita. Di mata kita, itu ujian sangatlah tidak ringan. Kita tertatih, mengaduh, bolak-balik datang kepada Allah.
"Allah, bagaimana ini? Kenapa terasa memberatkan?"
Allah seperti mendiamkan. Doa-doa dipanjatkan seolah tidak ada pengabulan. Padahal Allah sejatinya hanya ingin menyaksikan manusia berikhtiar, mengerahkan segala kemampuan.
Bolak-balik kita datangi Allah, mungkin sambil marah, mungkin sambil menggerutu, mungkin sambil putus asa.
Dan bolak-balik ujian kita lagi-lagi ya itu-itu saja.
Seperti Fifi yang bolak-balik datang.
"Belum benar Nak. Ulangi lagi. Kerjakan lagi".
Tuhan memberi kita kesempatan untuk berjuang dan menjadi tangguh.
Sekaligus ingin mengetahui seberapa besar kemauan kita untuk semakin mendekat dan bukan menjauh.
Seandainya, di menit empat puluh lima, Fifi putus asa, ngambek saja. Marah tidak mau menyelesaikan tugas. Ya sudah. Peer tidak terselesaikan, dan besok ia akan bertemu dengan peer yang sama. Saya? Saya tidak akan gimana-gimana. Paling hanya saya biarkan, agar ia tahu sendiri apa konsekuensi dari tidak mengerjakan peer.
Tapi ia datang lagi, dengan tangisan yang membuat iba.
"Bunda gimana sih Fifi ndak ngerti-ngerti". Dengan tangisan keputusasaan yang melelehkan hati. Saya sudah melihat perjuangannya, sudah melihat bagaimana kegigihannya. Rasa iba kemudian berbuah pada jalan keluar. Saya memberinya clue yang lebih akan memudahkan caranya dalam mengerjakan. Saya membimbingnya pelan-pelan, sampai ia paham. Peerpun terselesaikan dengan baik. Voila! Dan Fifipun mendapatkan jatah hiburan (nonton film kesukaan) sebagai sebuah hadiah atas pencapaian.
Dan ya, kita semua demikian. Saat kita menjauh, semakin jauh, semakin jauh dari Tuhan. Maka bukan penyelesaian dan jalan keluar yang kita dapatkan. Masalahnya tetap itu-itu lagi. Bahkan bisa jadi, saking mentoknya, bunuh diri menjadi satu-satunya pilihan yang terpikirkan.
Beda sekali saat fikiran kita, "Allah lagi, Allah terus, Allah saja". Sedikit demi sedikit, celah jalan keluar terbuka. Allah yang bukakan, Allah yang mudahkan, Allah yang memberikan jalan keluar. Karena apa? Karena Allah sayang. Gak tega Allah dengan hambanya. Gak tega Allah melihat kita sudah gigih berjuang tapi masih mentok juga. Gak tega Allah melihat tangisan kita. Allah sayang. Sudah pasti Allah akan bantu, berikan kemudahan.
Allah sudah saksikan bagaimana kita berikhtiar. Jungkir balik berjuang. Allah pasti akan beri. Pasti beri. Hanya waktunya. Ada waktunya. Tidak bisa instan. Allah tahu kita mampu. Tuhan pasti tahu bahwa kita bisa. Sudah diukur batas kemampuannya.
Ya, sebegitulah HIDUP.
Iya ya, ternyata begitu saja. Barangkali di mata kita ujian itu memberatkan, tetapi Allah melihatnya tidak demikian. Mudah saja di mata Allah. Ia selalu ingin manusia semakin terlatih, semakin kuat, semakin bijak, semakin bahagia.
Dan bentuk ujian, ternyata ya, kalau difikir-fikir ya itu-itu saja ragamnya.
Ujian untuk Fifi mentok-mentoknya selain peer, masih dalam kadar pertemanan, yang kadang terdengar lebay,
"Pokoknya Fifi gak mau lagi Bunda temenan sama Sarah, selama-lamanya". Selama-lamanya apa, setengah jam kemudian juga udah main bareng lagi itu bocah. 😅
Orang dewasa? Tengok dan perhatikan baik-baik. Masalah orang dewasa itu hampir serupa. Putus cinta, jodoh, cekcok, penyakit, cari kerja, ekonomi, rumah tangga, anak-anak, pekerjaan, terlilit hutang, dikhianati, sibuk cari topik skripsi atau sedang pusing dengan tesis disertasi. Bedanya, nanti di masing-masing orang berbeda wujudnya. Ada yang pas dengan masalah percintaan. Ada yang pas dengan masalah keuangan. Dan yang lainnya.
Satu yang perlu digarisbawahi, you are not alone.
Apa? Putus cinta? Milyaran manusia di dunia merasakannya.
Kesulitan ekonomi? Milyaran manusia di dunia mengalaminya
Belum kunjung dapat jodoh? Jutaan manusia juga merasakannya.
Belum kunjung diberi momongan? Ada jutaan manusia juga sedang mendapatkan hal yang sama.
Diberi sakit? Tengok rumah sakit. Tidak pernah sepi pasien. Ramai terus sepanjang hari.
Pengangguran? Kemiskinan? Lihat angka pengangguran dan kemiskinan, hampir selalu ada, hatta di sebuah negeri yang makmur kaya raya.
Yes, you are not alone. Kita tidak pernah sendiri, sejatinya.
Tidak pernah.
Jadi dengan hidup, berjuanglah, berikhtiarlah, berdoalah, dengan gembira, dengan hati yang lebih ringan, dengan tertawa.
Karena kita kini sudah tahu rumusnya.
😀
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
22 komentar
Allah tidak akan memberi ujian yang melebihi kapasitas hambaNYa yaa Mba Nurin :)
ReplyDeletetulisannya bagus banget, mengajarkan kepada kita untuk selalu bersyukur terhadap apapun yang kita punya :)
Iya Mbak Ira. Terimakasih sudah mampir membaca 😀
DeleteAh suka rumusnya "Allah lagi, Allah terus, Allah saja" dan aku sudah terapkan itu Alhamdulilah gusti Alloh sll tahu apa yang kita butuh makanya berbaik sangka. Hidup mah ya pasti ada asem manisnya y mba ^^
ReplyDeleteYa bener sekali Mbak Herva. Ada asemnya, manisnya, pahitnya, dan asinnya 😄
Deleteembeerrr bener banget ini mbaaa
ReplyDelete--bukanbocahbiasa(dot)com--
Yess Mbak, :)
DeleteAllah pasti tahu kapasitas kita yang sebenarnya ya Mbak. Tulisannya inspiratif mbak :)
ReplyDeleteterimakasih telah berkenan mampir dan membaca Mbak Widya, :)
DeleteAllah terus, Allah lagi, Allah saja selamanyaa. .
ReplyDeleteMakasih mbak isti atas sharingnya. . Membuat saya termenung lama. .😊😇
Sama-sama Mbak. Semoga kita bisa terus bisa saling menginspirasi ya Mbak. :)
DeleteTerkadang saya juga begitu mbak..menertawakan sesuatu yang saya pikir, emang bagusnya ya dibawa santai aja..Karena ada masalah yang nggak ada untungnya kalau kita malah stress ngadapinnya..bawa enjoy ajalah..sesusah apapun itu. Dengan bergantung sama Tuhan, pasti ada jawaban :)
ReplyDeleteiya Mbak Dewi, benar sekali itu. Berserah pada Tuhan. :)
DeleteAmin selalu bersyukur dan berserah dan berdoa Tuhan tidak pernah tidur 😇
ReplyDeleteya Mbak Sari, :)
DeleteAllah tahu kemampuan kita tapi kita sering lebih banyak mengeluh
ReplyDeleteya Mbak Tira, dan kadang kita gak sadar tahu-tahu sampai menghujat Tuhan. :(
DeleteMenertawakan hidup, sambil terus berusaha. Adem tulisanmu Kaaak ^^
ReplyDeleteterimakasih Kakaaaak :)
DeleteAhh setuju banget mbak, you are not alone akan ada Allah juga yang dekat dan membimbing kita jika kita juga mendekatiNya. Nice post
ReplyDeleteYa Mbak. Sama2. Terima kasih telah berkunjung. ☺
DeleteTuhan tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan umatnya ya.... Di bagian akhir aku agak senyum ttg kita tidak sendirian di dunia ini. Gak sendirian merasa patah hati, sakit... masalahnya kl lg mengalami itu, mana peduli sama orang lain :) Berasanya paling susah seduniaaaa ajahhh... Mudah2an bisa lebih melihat ke sesama drpd diri sendiri saja
ReplyDeleteYess bener banget Mbak :)
Delete