Bismilahirrahmanirrahim,
Sebuah catatan; Pernikahan.
Perempuan, muda, berparas menawan. Setidaknya demikianlah yang saya lihat dari foto profil akun facebooknya.
"Oh ya Mbak, saya dapat nomor Mbak dari *****," ucapnya, mengawali basa-basi.
Tidak ada kecurigaan, kami juga mulanya tidak saling kenal.
Ia memulai lebih dulu. Bertanya pada saya tentang sosok seseorang, kenalan lama, jaman saya SMA.
Saya menjawab seperti adanya. Selintasan ingatan. Saya juga tidak berfikir macam-macam, sebab menerima sosok perempuan untuk mendengar ceritanya seperti ini sudah biasa.
Perempuan muda ini sedang bingung, saya tahu itu. Tapi saya tidak cepat menangkap ke mana arah pembicaraan kami sampai ia berkata,
"Tapi Mbak, saya khawatir, saya takut sekali, kalau Mas gak bisa melupakan Mbak."
Deg! dada saya berdegup kencang.
Andai pembicaraan ini sedang diseriusi dengan latar meja restoran.
Barangkali gelas minuman saya tumpah, pecah, lalu saya menyenggol piring di sebelah tangan saya, lantas piring itu jatuh. Pecahan kacanya mengenai ujung kulit sandal sepatu saya yang terbuka.
Saking kagetnya dengan pembicaraan barusan.
"Dan saya takut, saya tidak pernah bisa mendapatkan tempat di hatinya."
Kalimatnya getir, gemetar, tertahan, tapi penuh dengan bungkus penasaran.
Sampai di sini, suasana mendadak hening.
Saya menghirup nafas panjang dan dalam.
Kalian tahu, perasaan adalah perasaan.
Meski hanya berupa setitik warna di hamparan samudera luas.
Meski hanya satu kerikil kecil diantara tumpukan batu-batuan.
(terinspirasi dari penggalan kalimat dalam novel Kau, Aku dan
Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye)
(terinspirasi dari penggalan kalimat dalam novel Kau, Aku dan
Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye)
Perasaan adalah perasaan. Naluriah, alamiah. Seorang ibu yang melihat anaknya menangis tentu akan dengan segera datang memeluk dan menenangkan. Itu naluriah, alamiah.
Lalu pada, perasaan lampau, yang belum pernah beroleh kata selesai. Kita terpaut, bernostagia, tertawan, terperangkap, tak dapat melupakan dengan sekejap. Ini naluriah, alamiah.
Sebagaimana naluriahnya sejumlah perempuan melihat sekilas ketampanan Yusuf yang demikian agung rupawan. Hingga tak sadar bukan lagi kulit buah yang terkelupas, melainkan jari jemari yang teriris-iris. Rasa sakitnya bahkan berubah menjadi euforia, pesona yang menyihir.
Sebagaimana alamiahnya kalimat Aisyah, perempuan yang dicintai rasulillah.
"Ya Rasulullah, mengapakah engkau senantiasa menyebut Khadijah? Bukankah engkau sudah mendapat ganti yang lebih baik?."
Maka dari bibir suci Rasulullah, mengalunlah sebuah kalimat yang indah, di mana kemudian kita pun bisa belajar, menyuling suri tauladan, tentang sesuatu yang lembut, tak kasat mata, tapi bisa dirasakan keberadaannya, getarannya, gelombangnya, keindahannya, geloranya.
"Sungguh, Khadijah adalah perempuan pertama yang percaya padaku saat orang lain tidak mempercayaiku. Ia adalah orang yang membenarkanku saat yang lain mendustakanku, ia menghiburku dengan hartanya, di saat yang lain telah mengharamkannya untukku."
Dari itu, kita belajar, belajar untuk melapangkan pikiran dan perasaan, mengamini dengan sebenar-benar bahwa mengenang apa-apa yang turut terjadi di masa yang telah lampau, mengenangnya, mengingatnya dalam-dalam, adalah iya; sebuah kewajaran. Sekali lagi; naluriah. Alamiah.
"Dan padanya, aku diberi keturunan,"demikian pungkas Rasulullah.
Satu Nikmat Bernama: Perasaan. Satu Ujian Bernama: Kecenderungan.
Akan tetapi perasaan ini, sebagaimana fitrah penciptaan yang senantiasa berpasangan, punya dua sisi. Satu sisi sebagai nikmat, satu sisi sebagai kecenderungan. Kecenderungan ini pun nantinya akan berbuah lagi. Satu membuahkan rahmat, sedangkan satu lagi menghadirkan laknat.
Adalah sebuah nikmat manakala kita bisa merasakan perasaan hangat, berkasih sayang, saling mencintai. Dan terhadap lawan jenisnya; saling mencintai dalam bingkai kehalalan.
Adalah sebuah kecenderungan jika perasaan kita menyukai keindahan. Laki-laki menyukai wanita yang berdandan cantik menawan, perempuan menyukai laki-laki gagah rupawan.
Adalah sebuah kecenderungan jika dua lawan jenis berdekatan, timbul perasaan yang tidak biasa.
Adalah sebuah kecenderungan bahwa setiap kita ingin selalu diperhatikan, didengarkan, dihormati, disukai, dicintai.
Adalah sebuah kecenderungan jika pada sebuah kenangan, akan sulit bagi kita untuk melupakan.
Adalah sebuah kecenderungan jika tertimpa musibah, kita akan sedih berkepanjangan.
Adalah sebuah kecenderungan jika himpitan masalah terlampau runyam, manusia merasa lebih baik akhiri hidup saja.
Dan ini ialah kecenderungan-kecenderungan yang wajar. Menimpa pada setiap manusia, pada dasarnya.
Pembedanya, ialah pada orang-orang beriman.
Sebagaimana doa Nabi Yusuf a.s atas godaan Zulaikha yang jelita "Ya rabb, seandainya engkau tidak menghindarkan (menjauhkan) tipu daya mereka dariku, tentu aku cenderung untuk memenuhi keinginan mereka."
Di dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan maksud kandungan dari doa ini ialah, jika sekiranya Allah menyerahkan urusan itu kepada diri Yusuf, maka sungguh ia tidak mampu dan tidak dapat mengendalikan apa yang dapat merugikan dan berguna bagi dirinya kecuali dengan daya dan kekuatan Allah. Allah Al-Musta'an (tempat memohon pertolongan), tempat bertawakkal dan tempat untuk berserah terhadap segala urusan.
Inilah kecenderungan, dan inilah Yusuf yang telah mampu membawa kecenderungannya kepada Allah, lantas berbuah rahmat.
Saya kemudian seperti mengingat rupa wajah seorang perempuan yang hampir menangis di hadapan saya.
"Bagaimana kalau saya belum bisa melupakan yang dulu Mbak? berdosakah saya di hadapan suami?"
Kemudian lagi, mengenang kegundahan seorang Zahra.
"Aku memintanya menikah lagi. Dengan perempuan itu. Aku tahu besarnya rasa cinta suamiku padanya. Sulit sekali baginya melupakan cinta pertamanya."
Sungguh bergetar perasaan saya waktu itu membayangkannya. Meski tahu, kedua insan itu (suami Zahra dan perempuan pertama di hatinya) ialah dua jenis manusia yang saling mencintai yang gagal melangsungkan akad pernikahan.
Tetapi membayangkan kalimat Zahra, betapa menggetarkannya.
"Dia seorang akhwat yang belum juga menikah hingga kini."
Sungguh sulit dilukiskan bagaimana waktu itu jika saya berada di posisi Zahra, mendatangi seorang akhwat dan mengajukan permintaan.
Dan entah bagaimana perasaan perempuan yang didatangi itu. Mereka berpeluk, pelukan yang tidak dapat diartikan sebagai pelukan persahabatan atau kasih sayang. Pelukan yang entah, tak dapat dilukiskan.
Dan, seperti yang saya duga, jawaban dari seorang perempuan ini juga demikian menggetarkan hati.
Kisah Zahra berakhir dengan kehidupannya yang bertambah panjang usianya, dan semoga -kesakinahan, mawaddah wa rahmahnya- dengan anak-anak yang lucu dan suami yang belajar untuk mencintainya. Belajar menikmati apa yang ada di hadapan.
Setelah pertemuan yang demikian menegangkan itu, keluarlah ungkapan permohonan maaf dari sang akhwat, pernyataan tulus yang penuh kasih. Sungguh, siapa yang tak tergetar dengan apa yang diperbuat Zahra. Kabar baik kemudian datang, tidak lama, menikahlah ia.
Lalu pada, perasaan lampau, yang belum pernah beroleh kata selesai. Kita terpaut, bernostagia, tertawan, terperangkap, tak dapat melupakan dengan sekejap. Ini naluriah, alamiah.
Sebagaimana naluriahnya sejumlah perempuan melihat sekilas ketampanan Yusuf yang demikian agung rupawan. Hingga tak sadar bukan lagi kulit buah yang terkelupas, melainkan jari jemari yang teriris-iris. Rasa sakitnya bahkan berubah menjadi euforia, pesona yang menyihir.
Sebagaimana alamiahnya kalimat Aisyah, perempuan yang dicintai rasulillah.
"Ya Rasulullah, mengapakah engkau senantiasa menyebut Khadijah? Bukankah engkau sudah mendapat ganti yang lebih baik?."
Maka dari bibir suci Rasulullah, mengalunlah sebuah kalimat yang indah, di mana kemudian kita pun bisa belajar, menyuling suri tauladan, tentang sesuatu yang lembut, tak kasat mata, tapi bisa dirasakan keberadaannya, getarannya, gelombangnya, keindahannya, geloranya.
"Sungguh, Khadijah adalah perempuan pertama yang percaya padaku saat orang lain tidak mempercayaiku. Ia adalah orang yang membenarkanku saat yang lain mendustakanku, ia menghiburku dengan hartanya, di saat yang lain telah mengharamkannya untukku."
Dari itu, kita belajar, belajar untuk melapangkan pikiran dan perasaan, mengamini dengan sebenar-benar bahwa mengenang apa-apa yang turut terjadi di masa yang telah lampau, mengenangnya, mengingatnya dalam-dalam, adalah iya; sebuah kewajaran. Sekali lagi; naluriah. Alamiah.
"Dan padanya, aku diberi keturunan,"demikian pungkas Rasulullah.
Satu Nikmat Bernama: Perasaan. Satu Ujian Bernama: Kecenderungan.
Akan tetapi perasaan ini, sebagaimana fitrah penciptaan yang senantiasa berpasangan, punya dua sisi. Satu sisi sebagai nikmat, satu sisi sebagai kecenderungan. Kecenderungan ini pun nantinya akan berbuah lagi. Satu membuahkan rahmat, sedangkan satu lagi menghadirkan laknat.
Adalah sebuah nikmat manakala kita bisa merasakan perasaan hangat, berkasih sayang, saling mencintai. Dan terhadap lawan jenisnya; saling mencintai dalam bingkai kehalalan.
Adalah sebuah kecenderungan jika perasaan kita menyukai keindahan. Laki-laki menyukai wanita yang berdandan cantik menawan, perempuan menyukai laki-laki gagah rupawan.
Adalah sebuah kecenderungan jika dua lawan jenis berdekatan, timbul perasaan yang tidak biasa.
Adalah sebuah kecenderungan bahwa setiap kita ingin selalu diperhatikan, didengarkan, dihormati, disukai, dicintai.
Adalah sebuah kecenderungan jika pada sebuah kenangan, akan sulit bagi kita untuk melupakan.
Adalah sebuah kecenderungan jika tertimpa musibah, kita akan sedih berkepanjangan.
Adalah sebuah kecenderungan jika himpitan masalah terlampau runyam, manusia merasa lebih baik akhiri hidup saja.
Dan ini ialah kecenderungan-kecenderungan yang wajar. Menimpa pada setiap manusia, pada dasarnya.
Pembedanya, ialah pada orang-orang beriman.
Sebab, orang-orang yang memiliki setitik cahaya iman di dalam dadanya,
senantiasa akan berusaha membawa kecenderungannya kepada rahmat.
Sebagaimana doa Nabi Yusuf a.s atas godaan Zulaikha yang jelita "Ya rabb, seandainya engkau tidak menghindarkan (menjauhkan) tipu daya mereka dariku, tentu aku cenderung untuk memenuhi keinginan mereka."
Di dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan maksud kandungan dari doa ini ialah, jika sekiranya Allah menyerahkan urusan itu kepada diri Yusuf, maka sungguh ia tidak mampu dan tidak dapat mengendalikan apa yang dapat merugikan dan berguna bagi dirinya kecuali dengan daya dan kekuatan Allah. Allah Al-Musta'an (tempat memohon pertolongan), tempat bertawakkal dan tempat untuk berserah terhadap segala urusan.
Inilah kecenderungan, dan inilah Yusuf yang telah mampu membawa kecenderungannya kepada Allah, lantas berbuah rahmat.
Saya kemudian seperti mengingat rupa wajah seorang perempuan yang hampir menangis di hadapan saya.
"Bagaimana kalau saya belum bisa melupakan yang dulu Mbak? berdosakah saya di hadapan suami?"
Kemudian lagi, mengenang kegundahan seorang Zahra.
"Aku memintanya menikah lagi. Dengan perempuan itu. Aku tahu besarnya rasa cinta suamiku padanya. Sulit sekali baginya melupakan cinta pertamanya."
Sungguh bergetar perasaan saya waktu itu membayangkannya. Meski tahu, kedua insan itu (suami Zahra dan perempuan pertama di hatinya) ialah dua jenis manusia yang saling mencintai yang gagal melangsungkan akad pernikahan.
Tetapi membayangkan kalimat Zahra, betapa menggetarkannya.
"Dia seorang akhwat yang belum juga menikah hingga kini."
Sungguh sulit dilukiskan bagaimana waktu itu jika saya berada di posisi Zahra, mendatangi seorang akhwat dan mengajukan permintaan.
Dan entah bagaimana perasaan perempuan yang didatangi itu. Mereka berpeluk, pelukan yang tidak dapat diartikan sebagai pelukan persahabatan atau kasih sayang. Pelukan yang entah, tak dapat dilukiskan.
Dan, seperti yang saya duga, jawaban dari seorang perempuan ini juga demikian menggetarkan hati.
Kisah Zahra berakhir dengan kehidupannya yang bertambah panjang usianya, dan semoga -kesakinahan, mawaddah wa rahmahnya- dengan anak-anak yang lucu dan suami yang belajar untuk mencintainya. Belajar menikmati apa yang ada di hadapan.
Setelah pertemuan yang demikian menegangkan itu, keluarlah ungkapan permohonan maaf dari sang akhwat, pernyataan tulus yang penuh kasih. Sungguh, siapa yang tak tergetar dengan apa yang diperbuat Zahra. Kabar baik kemudian datang, tidak lama, menikahlah ia.
Dan di hadapan saya, kini, sedang ada perempuan muda yang mungkin telah melanggar batas elok, menabrak gerbang logika, mengumpulkan keberanian, membuang canggung, menyusun rencana, melatih susunan kalimat, entah dalam berapa malam. Mempertaruhkan semuanya.
Demi menyelesaikan perasaannya.
Canggung, kikuk. Meski saya merasa tak punya pautan apa pun di jaman itu dengan seseorang, termasuk kenalan lama saya ini.
"Baik, inshaAllah...bismillah saja" demikian saya mengakhiri pembicaraan yang sungguh sangat tidak bisa saya gambarkan. Meski tak perlu ia mengurai cerita lagi menjadi berpanjang-panjang, saya mengerti apa yang dimaksudnya. Tiada lain sebagai penjagaan.
Sungguh, saya tahu, tentang perasaan, barangkali hal ini menjadi tabu untuk diperbincangkan. Tetapi kita sama-sama tahu, sama-sama belajar. Esok-esok bisa-bisa soal rasa ini menjadi permasalahan untuk anak-anak kita.
Kita perlu tahu, kita perlu belajar, bahwa tanpa didasari iman, tidak ada kekuatan apapun bagi makhluk selemah manusia menghadapi perasaannya.
Bahkan hanya sekedar melawannya, kecuali atas pertolongan Allah.
Maka tidak ada lain, saat kecenderungan-kecenderungan ini sekiranya mengarah kepada hadirnya laknat, kepada hadirnya maksiat, kembalikan kepada Allah. Allah Al-Musta'an, Allah tempat memohon pertolongan.
"Keberkahan akan hadir saat engkau mampu menyelisihi hawa nafsumu," demikian ujar seorang ulama saat menguraikan bab mengenai kecenderungan hawa nafsu. Sebab pada nafsu, ada persifatan naluriah dan alamiah. Maka kita menjadi tahu, bahwa menyelisihnya adalah hal yang sungguh tidak mudah, semudah membalik telapak.
Sehingga menjadi benar firman Allah yang mengajak manusia untuk mampu bersabar dan bersyukur.
Bersabar atas goda nafsu, menahannya dengan tawakkal, ikhtiar yang sungguh, penyerahan kepada Allah yang menyeluruh.
Dan belajar bersyukur. Menikmati apa yang ada di hadapan. Tidak lagi banyak menengok ke belakang.
Wallahu a'lam bish showab.
Canggung, kikuk. Meski saya merasa tak punya pautan apa pun di jaman itu dengan seseorang, termasuk kenalan lama saya ini.
"Baik, inshaAllah...bismillah saja" demikian saya mengakhiri pembicaraan yang sungguh sangat tidak bisa saya gambarkan. Meski tak perlu ia mengurai cerita lagi menjadi berpanjang-panjang, saya mengerti apa yang dimaksudnya. Tiada lain sebagai penjagaan.
Sungguh, saya tahu, tentang perasaan, barangkali hal ini menjadi tabu untuk diperbincangkan. Tetapi kita sama-sama tahu, sama-sama belajar. Esok-esok bisa-bisa soal rasa ini menjadi permasalahan untuk anak-anak kita.
Kita perlu tahu, kita perlu belajar, bahwa tanpa didasari iman, tidak ada kekuatan apapun bagi makhluk selemah manusia menghadapi perasaannya.
Bahkan hanya sekedar melawannya, kecuali atas pertolongan Allah.
Maka tidak ada lain, saat kecenderungan-kecenderungan ini sekiranya mengarah kepada hadirnya laknat, kepada hadirnya maksiat, kembalikan kepada Allah. Allah Al-Musta'an, Allah tempat memohon pertolongan.
"Keberkahan akan hadir saat engkau mampu menyelisihi hawa nafsumu," demikian ujar seorang ulama saat menguraikan bab mengenai kecenderungan hawa nafsu. Sebab pada nafsu, ada persifatan naluriah dan alamiah. Maka kita menjadi tahu, bahwa menyelisihnya adalah hal yang sungguh tidak mudah, semudah membalik telapak.
Sehingga menjadi benar firman Allah yang mengajak manusia untuk mampu bersabar dan bersyukur.
Bersabar atas goda nafsu, menahannya dengan tawakkal, ikhtiar yang sungguh, penyerahan kepada Allah yang menyeluruh.
Dan belajar bersyukur. Menikmati apa yang ada di hadapan. Tidak lagi banyak menengok ke belakang.
Wallahu a'lam bish showab.