Bismillahirrahmanirrahim.
Beberapa waktu belakangan, jika ada waktu, kami mulai mendengarkan ceramah-ceramah agama via youtube. Salah satu yang pernah saya dengarkan adalah video ustad Anwar Zahid. Gaya bicaranya selengekan, nyantai, ringan, dan LUCU. saya perlu menegaskan ini, karena bagi sebagian orang, kelucuan ini menjadi media penghantar yang sangat baik dalam menimba ilmu. Bahasa ringan, mudah dipahami dan lucu ini membuat orang mudah terangkul, mudah merasuk. Dan bagi saya pribadi, ini juga bisa menjadi salah satu alteratif cara untuk mencari penghiburan yang sangat baik. Bukan hiburan yang sia-sia, sembari terhibur, kita mendapatkan tambahan ilmunya.
Saya ingat, dulu, jaman masih mulai belajar lebih dalam tentang islam, saya sempat 'didakwahi', dengan cara yang menurut saya, tidak pas, tidak mengena, dan malah membuat saya jauh dari pendakwah dan apa yang dibawakannya. Tahu tidak apa yang dikatakannya?
"Dek, kamu itu sebenarnya belum berhijab, cara berpakaian kamu itu salah... bla...bla...bla...", intinya saya disalah-salahin lah.
Padahal waktu itu, saya sudah menggunakan kerudung, hanya model pakaiannya saja yang 'berbeda' dari apa yang dipahami oleh pendakwah. Lalu, di pertemuan-pertemuan berikutnya, saya diajak debat, debatin ayat, debatin pemikiran, debatin macam-macam yang mana akhirnya saya mulai tahu arahnya, yakni saya dipancing untuk 'kalah telak' dengan argumen-argumennya yang mungkin memang sudah terbiasa berdakwah dengan cara 'debat'. Endingnya sudah mulai tahu lah ya ke mana, saya LARI. Dalam artian, saya maleslah diperlakukan begitu. Disalah-salahkan, seolah hanya ia yang paling benar, dan yang paling boleh menentukan mana HALAL mana HARAM.
Lalu di situ, entah mengapa, saya merasa bosan, dalam tanda kutip, 'dijejali' ayat-ayat Quran. Dan entah mengapa, ayat-ayat Quran yang dibawakan -meski isinya benar- menjadi tidak begitu masuk di hati. Hanya karena salah penyampaian, salah cara, salah pembawaan. Menyedihkan sekali :(.
Tidak ada keindahan pada kata-kata yang hanya mau menang sendiri. Dakwah tidak hanya tentang "sampaikanlah meski satu ayat". Menyampaikan adalah juga seni dalam berkomunikasi dan bersosialisasi. Dekat dengan objek dakwah, menggunakan bahasa kaumnya, merangkul dengan cara yang baik, ini lebih disukai dan mudah merasuk dibandingkan dengan gaya frontal, serius dan sedikit-dikit menyalahkan.
Kalau tentang Ustad Anwar Zahid yang saya baru tahu (saya beneran baru tahu ada Ustad ini, dan ternyata cukup terkenal) :). Pembawaan dan gaya bahasa penyampaian yang enak didengar dan mudah masuk di saya -versi saya-, ialah Ustad Yusuf Mansur. Kalau beliau ini, saya tahu karena sering muncul di televisi dan sering melihat karya-karya bukunya di rak Gramedia.
Meskipun demikian, Tidak semua buku beliau tuntas saya baca.
Karena bagaimanapun, tentang buku bacaan, saya ini lebih dekat dengan tipe PENIMBUN BUKU dibandingkan PEMBACA BUKU. :D
Apalagi untuk masyarakat umum yang tidak terbiasa membaca. Sebagian orang ada yang sudah mulai anti duluan membaca 'yang berat-berat', apalagi kalau sudah penuh dengan tafsiran ayat, tambahlah mengantuk berat. :D.
Apalagi jika memang temanya benar-benar berat, KETAUHIDAN. Membahas masalah KETUHANAN.
Tambah males bin mules bacanya, :D.
Sampai kemudian suatu hari, saya mendapatkan sedekah buku dari seorang sahabat, Mbak Nurismariah, masih segel, gres, belum bukaan, tidak main-main, sedekahnya langsung satu paket isi tiga buah buku trilogi Ustad Yusuf Mansur. Alhamdulillah, bahagia sekali. Tidak ada hadiah yang lebih saya sukai dibandingkan seperangkat buku, TOLONG DICATAT, ----CATET YA--- (((seperangkat buku))) hehehe. :D
Maka, inilah tiga buku yang bahasannya -sesungguhnya- amatlah berat, mengenai Tauhid, pengetahuan dasar sekali dalam beragama, dalam berislam. Tetapi dibahas dengan cara yang ringan, jenaka, santai, dan sangat khas sekali -ala Ustad Yusuf Mansur-.
Kemasannya yang ringan ini membuat saya merasa sedang belajar tauhid tapi senikmat makan keripik. Ringan-gurih-renyah-nagih. Enak sekali dibaca, dimengerti, dipahami dan dalam maknanya.
FEEL
Orang lain bilang, "If there is a will, there is a way..."
Orang lain juga bilang, "there is a miracle when you believe"
Kalau saudara bilang apa?
"If There is Doa, There is a way"
Itu kalimat yang saya dapatkan dari Feel, dari buku ini, yang kemudian saya kembangkan menjadi satu buah postingan dengan judul serupa, sama persis.
Boleh baca postingan saya sebelumnya -yang terinspirasi dari buku ini- di sini:
Membaca buku ini seolah sedang mendengar seorang Ustad Yusuf Mansur sedang berceramah. Ya sama, dengan gaya khas Ustad Yusuf yang seperti biasanya. Asyik, ringan, merangkul dan mengena.
Buku ini yang saya baca berulang-ulang kali, karena meski ringan, butuh dipahami dengan pelan-pelan sampai benar-benar merasuk. Dan yang saya baca berulangkali yang telah mampu menginspirasi saya dalam menuliskan satu buah postingan sebelum ini ialah bagian mukaddimahnya.
Baru pembukaannya.
Mukaddimah yang menarik, membuka hati. Di dalamnya, kita akan mendapati beberapa contoh kasus yang sengaja dihadirkan, untuk memulai lagi bab yang paling mendasar, tentang Allah, mengenali Allah dan bagaimana semuanya -amal perbuatan dan kehidupan- fokusnya adalah kepada Allah.
Gaya bahasanya tetap persis dan mirip dengan saat mendengarkan ceramah beliau secara langsung.
Lewat dari Mukaddimah, penulis membawa kita masuk pada bahasan yang sebenarnya -selevel lebih jauh-, mengenai ekonomi, wirausaha dan bagaimana menjadi enterpreneur.
Tapi ini ada benarnya. Bahwa ekonomi sangat erat kaitannya dengan akidah. Ustad Yusuf menceritakan kisah dua rumah sakit besar di mana karyawatinya 'terpaksa' harus buka-tutup jilbab demi mengikuti aturan rumah sakit. Siapa yang salah? pengusahanya? dia yang punya rumah sakit, dia yang punya usaha, ya suka-suka dialah membuat aturan. Lalu siapa yang salah? ya ente-ente, kenapa bukan ente saja yang jadi pengusahanya? jadi ownernya?
Selain membangun ekonomi dengan berwirausaha, Ustad Yusuf juga mulai mencerahkan pemikiran untuk tidak memisahkan urusan kekuasaan dengan agama.
Begitulah, cuplikan tulisan yang mencerahkan sekaligus membuka pikiran. Meskipun diawali dengan pengenalan awal tentang tauhid, pada buku Feel ini (seperti juga yang tertuang dalam mukadimahnya) banyak berbicara tentang bisnis. Bisnis yang terselipi nilai-nilai pengajaran luhur tentang kebersatuan, keberjamaahan dan juga tentang merasakan sensasi dari keyakinan.
Kemudian setelah tercerahkan, terbuka pikirannya tentang bagaimana niatan, nawaitu untuk menjadi wirausahawan, barulah Ustad Yusuf, mengemukakan idenya. Ide untuk patungan usaha, beli ulang Indonesia. Memiliki aset-aset penting untuk umat. Ini ide yang 'agak nyeleneh' tapi bagus. Bahkan saya tidak pernah membayangkan ini.
Ini membuat saya malu. MALU. Sebab saya jarang sekali berpikir tentang umat, kemaslahatan umat, tentang sebenar-benar pengabdian, bangsa dan negara. Yang dipikirin baru masalah kecil, masalah pribadi, lingkupnya juga kecil, belum sampe lintas RT. BORO-BORO dah!. Lah, nguplek aja di rumah, muter-muter aja itu masalahnya.
Sementara seorang Yusuf Mansur, di usia semuda itu, -yakin pasti idenya sudah lama terpikirkan- sudah mikirin masalah lingkup BESAR. Dengan idenya yang brilian.
BELI ULANG INDONESIA.
Bagaimana caranya? dan apa saja tentang ide dari BELI ULANG INDONESIA? Penjelasannya panjang banget. :D
Jadi silahkan simak dan baca habis buku "Feel" ini ya.
Oh ya pasti tahu kan ya, bisnis Ustad Yusuf ini boleh dikata "banyaak bangeet". :). Mungkin juga akan ada yang bertanya-tanya, ini kok buku isi tauhid ujung-ujungnya bisnis? Jualan? Ya, saya juga mulanya demikian. Tapi karena buku ini ada tiga seri, yang mana ketika sudah habis membaca tiga bukunya baru kita dapat benar-benar paham inti sari apa yang hendak disampaikan. Jadi, sabar ya baca bukunya, pelan-pelan.
Nah, soal bintang-bintangan, saya selalu pengen kasih banyak bintang untuk buku yang saya baca.
Jadi, lima bintang dari saya untuk buku ini. :)
Boleh baca postingan saya sebelumnya -yang terinspirasi dari buku ini- di sini:
If there is Doa, there is a way
Satu kalimat sarat makna, bagaimana kita mempelajari bab iman. bagaimana Allah yang memiliki kekuasaan, dan bagaimana ketergantungan, keinginan, harapan, tumpuan dan sandaran haruslah kepada Allah saja.Saya suka nanya sama jamaah. Siapa coba Tuhannya? Jawabannya Allah. Meyakinkan sekali. Allah. Diucapkan dengan begitu enteng. Seakan deket, akrab. Tapi ketika pertanyaan dikembangkan, mulailah ketahuan ada Tuhan lain selain Allah. (Feel: xiii)
Membaca buku ini seolah sedang mendengar seorang Ustad Yusuf Mansur sedang berceramah. Ya sama, dengan gaya khas Ustad Yusuf yang seperti biasanya. Asyik, ringan, merangkul dan mengena.
Seperti sedang duduk selonjoran sambil menikmati keripik, kriuk-renyah-nagih-enak. Santaaaai, ringan, tetapi dalam, mengena.
Buku ini yang saya baca berulang-ulang kali, karena meski ringan, butuh dipahami dengan pelan-pelan sampai benar-benar merasuk. Dan yang saya baca berulangkali yang telah mampu menginspirasi saya dalam menuliskan satu buah postingan sebelum ini ialah bagian mukaddimahnya.
Baru pembukaannya.
Mukaddimah yang menarik, membuka hati. Di dalamnya, kita akan mendapati beberapa contoh kasus yang sengaja dihadirkan, untuk memulai lagi bab yang paling mendasar, tentang Allah, mengenali Allah dan bagaimana semuanya -amal perbuatan dan kehidupan- fokusnya adalah kepada Allah.
Kalau emang percaya Allah Maha Kaya, Maha Kuasa, Maha Besar, Maha Punya, Maha Memiliki semua yang di langit dan di bumi, mengapa harus terhalang sama yang namanya duit? sedang duit boleh ada boleh tidak. Duit juga bisa hilang. Duit bisa berkurang walaupun dengan kehendak Allah ia juga bisa bertambah. Duit perlu dikeluarkan dari kantong. Ia tidak bisa keluar dengan sendirinya. Duit perlu diserahkan. Ia tidak bisa menyerahkan dirinya sendiri. Gak bisa banget-banget mengambil posisi sebagai 'sekutu'nya Allah. Gak bisa. Beda. Beda banget. Langit sama bumi, masih terlalu jauuuuuuuh bila kemudian duit menjadi Tuhan lain bagi kita di mana kalau ada duit, kita bisa belanja. Sedang kalau gak ada duit, kita gak bisa belanja. Ini kan namanya menggantikan posisi Tuhan. La ilaha illa duit namanya. Tidak ada yang bisa membuat kita belanja di pasar, kecuali duit. Kelihatan kan gak benernya? di sisi lain, kita tidak terlatih dengan kondisi-kondisi tauhid. Kondisi mengesakan Allah. Kita terbiasa tergantung sama duit. Sama keadaan. Sama manusia. Bahkan sama ikhtiar. Gak terbiasa bergantung sama Allah. (Feel:xiii)
Gaya bahasanya tetap persis dan mirip dengan saat mendengarkan ceramah beliau secara langsung.
Tutuplah semua pintu harapan, kecuali sama Allah saja. Jangan sama yang lain.
Lewat dari Mukaddimah, penulis membawa kita masuk pada bahasan yang sebenarnya -selevel lebih jauh-, mengenai ekonomi, wirausaha dan bagaimana menjadi enterpreneur.
Jangan pisahkan urusan ekonomi, politik dan kekuasaan dengan urusan agama. Karena semuanya dekat dengan aqidah. Jika salah satunya ditinggalkan maka akan rusaklah yang lainnya. (Feel: 2)
Membangun Ekonomi, Menyelamatkan Akidah
Begitulah judul yang disematkan pada bab 1 yang menjadi bagian pembuka dari usaha Ustad Yusuf Mansur memberikan pencerahan kepada umat, untuk bersemangat menjadi pengusaha, bersemangat dalam berdagang, bersemangat untuk menjadi kaya. Khas sekali, khas gaya ceramah Ustad Yusuf Mansur. :)Tapi ini ada benarnya. Bahwa ekonomi sangat erat kaitannya dengan akidah. Ustad Yusuf menceritakan kisah dua rumah sakit besar di mana karyawatinya 'terpaksa' harus buka-tutup jilbab demi mengikuti aturan rumah sakit. Siapa yang salah? pengusahanya? dia yang punya rumah sakit, dia yang punya usaha, ya suka-suka dialah membuat aturan. Lalu siapa yang salah? ya ente-ente, kenapa bukan ente saja yang jadi pengusahanya? jadi ownernya?
Begitu pula di dunia bisnis, lihatlah apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya termasuk isteri Rasul, Khadijah ra. Mereka mencontohkan bagaimana menjadi pebisnis hebat lagi amanah di masanya. Tapi sekarang, apa yang terjadi? Kita nyaman sekali menjadi pesuruh!. Nyaman sekali kita menjadi orang yang undercontrolled, bahkan oleh orang-orang yang tidak punya Tuhan! Sehingga layaklah kita mendapat omongan seperti ini: "kamu itu saya bayar bukan untuk salat dhuha, ini waktunya kerja. Cepat kerja sana!". (Feel:5)
Selain membangun ekonomi dengan berwirausaha, Ustad Yusuf juga mulai mencerahkan pemikiran untuk tidak memisahkan urusan kekuasaan dengan agama.
Ini kenyataan, jangan main-main. Kalau anda tinggalkan kekuasaan, berantakan pula agama anda. Jika anda tinggalkan urusan ekonomi, maka akan berantakan pula urusan agama anda. Gak percaya? Saya kasih contoh, kalau saya seorang gubernur, kemudian saya panggil kepala-kepala dinas, khususnya dinas pendidikan. Lalu saya katakan kepada mereka semua, "saya tidak mau ada baca Quran di awal. Bedain dong agama dan sekolah. Saya ingin anak-anak kita punya prestasi yang bagus. Jam 7 teng harus langsung masuk pelajaran pertama." Saudara berani melawan gubermur? Jika anda menentang, pasti akan dipecat. Akan jadi berbeda jika gubermurnya muslim, tsiqah, kuat dan hebat. Ngobrolnya jadi lain, "saya itu pengen anak-anak itu dhuha dulu, baca Quran dulu pagi-pagi sebelum belajar.".
Nah itu bukti. Memang ada sih pemimpin yang tidak ke kanan dan tidak ke kiri, nasionalis murni. Tapi apa tidak boleh menjadi seorang nasionalis murni?. (Feel: 10).
Dunia kekuasaan itu dekat dengan tauhid. Sementara beramai-ramai orang islam mengatakan "janganlah masuk ke dunia politik, janganlah masuk ke dunia kekuasaan. Ngapain sih ngurusin gituan?" Saya sudah bilang, ini perkara AKIDAH bos! Kan keren kalo yang jadi imam masjid, imam salat jumat adalah presiden yang kita cintai. Dibelakangnya ada kepala angkatan darat, laut, udara, jaksa, Kapolri, tamu-tamu dari berbagai negara. Subhanallah!...
Begitulah, cuplikan tulisan yang mencerahkan sekaligus membuka pikiran. Meskipun diawali dengan pengenalan awal tentang tauhid, pada buku Feel ini (seperti juga yang tertuang dalam mukadimahnya) banyak berbicara tentang bisnis. Bisnis yang terselipi nilai-nilai pengajaran luhur tentang kebersatuan, keberjamaahan dan juga tentang merasakan sensasi dari keyakinan.
Kemudian setelah tercerahkan, terbuka pikirannya tentang bagaimana niatan, nawaitu untuk menjadi wirausahawan, barulah Ustad Yusuf, mengemukakan idenya. Ide untuk patungan usaha, beli ulang Indonesia. Memiliki aset-aset penting untuk umat. Ini ide yang 'agak nyeleneh' tapi bagus. Bahkan saya tidak pernah membayangkan ini.
Ini membuat saya malu. MALU. Sebab saya jarang sekali berpikir tentang umat, kemaslahatan umat, tentang sebenar-benar pengabdian, bangsa dan negara. Yang dipikirin baru masalah kecil, masalah pribadi, lingkupnya juga kecil, belum sampe lintas RT. BORO-BORO dah!. Lah, nguplek aja di rumah, muter-muter aja itu masalahnya.
Sementara seorang Yusuf Mansur, di usia semuda itu, -yakin pasti idenya sudah lama terpikirkan- sudah mikirin masalah lingkup BESAR. Dengan idenya yang brilian.
BELI ULANG INDONESIA.
Bagaimana caranya? dan apa saja tentang ide dari BELI ULANG INDONESIA? Penjelasannya panjang banget. :D
Jadi silahkan simak dan baca habis buku "Feel" ini ya.
Oh ya pasti tahu kan ya, bisnis Ustad Yusuf ini boleh dikata "banyaak bangeet". :). Mungkin juga akan ada yang bertanya-tanya, ini kok buku isi tauhid ujung-ujungnya bisnis? Jualan? Ya, saya juga mulanya demikian. Tapi karena buku ini ada tiga seri, yang mana ketika sudah habis membaca tiga bukunya baru kita dapat benar-benar paham inti sari apa yang hendak disampaikan. Jadi, sabar ya baca bukunya, pelan-pelan.
Nah, soal bintang-bintangan, saya selalu pengen kasih banyak bintang untuk buku yang saya baca.
Jadi, lima bintang dari saya untuk buku ini. :)
Judul buku: Feel
Penulis: Yusuf Mansur
Penerbit: Sekolah Bisnis Wisatahati Nusantara
Cetakan ke 1, Mei 2013
Tulisan ini diikutsertakan dalam Project Battle Challenge #31HariBerbagiBacaan yang diselenggarakan oleh Mbak Ila Rizky.
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
32 komentar
Makin bagus cara beliau menulis :)
ReplyDeleteSaya gak ngikutin semua buku Mbak Mugniar, kalau yang ini memang ringan.
DeleteUYM emang ngena mba jadi pas langsung kena ke hati..jadi penasaran pengen baca sementara spt mba Nurin bulan ini kok saya jadi penimbun buku :p sedang terjangkit M...alas
ReplyDeleteNah ini juga, sama, kadang saya juga suka kena. Kalau sudah MALAS, apa daya. :D
DeletePunya bukunya, tapi belum punya ini. kayaknya saya juga begitu, lebih ke penimbun buku daripada pembaca buku wkwkwkw.. jadi pengen beli jugaaa,... renyah memang beliau kalau nulis :p. Oh ya.. saya juga gak suka direndahkan, niatnya mereka berdakwah tapi justru menjauhkan dan menghakimi kita yang belum baik, padahal kaaaannn.. ah sudahlah :D
ReplyDeleteYa Mbak, sama. Tidak ada orang yang suka direndahkan :(
DeleteSempet tertarik beli bukunya. Cuma krn pernah baca salah satu buku beliau yang tata bahasanya agak berantakan, jadi mundur :( Alhasil denger ceramahnya aja deh :D
ReplyDeleteYa kah Mbak? Malah gak tahu saya soal tata bahasa berantakan.
DeleteKalau menurut saya, mungkin karena tulisannya diterjemahkan langsung dari bahasa verbal, padahal pasti beda.
Tapi itu yang bikin jadi ringan saja dibaca
Nah betul itu.. banyak yg bilang agama itu hanya sebatas ritual, ga boleh masuk ke politik,ekonomi, dsb. Padahal dlm Islam, semua aktivitas kita itu ibadah termasuk memilih gubernur ��
ReplyDeleteEaaa...gubernur DKI apalagi ya Mbaak :D
DeleteYa, kalau saya memang setuju sejak dari lama. Semua itu berhubungan, jangan dikotak-kotakkan apalagi dipisah-pisahkan
toss dulu lah mbak, sama - sama penimbun buku :D
ReplyDeletetapi belum pernah diberi Paket buku T_____T
Toss Mbak :)
DeleteWah, menarik bukunya. Iya, makin bagus kayaknya UYM menulis. Dulu pernah baca. Bahasannya berat. Yang ini lebih ngepop, ya..
ReplyDeleteKalau yang sekarang mungkin tambah lebih bagus lagi Mbak. Karena yang ini kan keluaran buku 2013.
DeleteDuh, PR banget buat saya sekarang nyelesein satu buku :(
ReplyDeletePadahal dari review singkat ini, kayanya bukunya bermanfaat dan menarik
Ya Mbak, entah, akhir-akhir ini saya jugaa susaah, ini makanya usaha :)
ReplyDeleteKalo udah putus asa bgt, aku ngarepnya sama Allah Sang Maha Bolak Balik Hati....
ReplyDeleteErrr jgn nyinggung soal nimbun buku ah
Kesinggung ya Mbak? :). Maaf ya...:D #toss dulu sesama penimbun :p
DeletePernah beli beberapa buku ustan yusuf mansur. Tapi karena suatu hal saya memilih untuk gak baca lagi, hihi.
ReplyDeleteApaan itu Mbak? Ada hal apa? Bagi tahu doong :)
DeletePinjem bukunya Mbak :D
ReplyDeleteMenyampaikan adalah juga seni dalam berkomunikasi dan bersosialisasi, setujuh! :)
Sini sini Mbak aku pinjemin :)
DeleteSaya juga sudah punya lama bukunya ust. Yusuf masyur, ada 2, kayaknya feel juga ada deh..
ReplyDeleteEh.. ketahuan ya saya tipe yang mana kalau urusan buku T_T
Kayaknya ya.. ._.
Deletecara menyampaikan menjadi sangat penting untuk bisa sampai ke hati pendengar dan pembaca yaa. apa yg dr hati akan sampai ke hati beitu katanya
ReplyDeleteYa Mbak, benar sekali itu. :)
Deletewahh... jadi mupeng baca bukunya!!!!
ReplyDeletesegera ke gramed
Ayuk Mbak dicari bukunya :)
DeleteKarena bagaimanapun, tentang buku bacaan, saya ini lebih dekat dengan tipe PENIMBUN BUKU dibandingkan PEMBACA BUKU ==> boleh mba timbunan bukunya dilempar kesini :D
ReplyDeletemau Mbaak kalau deket, :)
Deletejadi pgn baca bukunya
ReplyDeletebtw sebulan baca dan beli berapa buku?
recomended ini Mbak, coba saja dicari. Saya gak punya target waktu kalau untuk beli, pokoknya ada buku yang bagus -sesuai selera saya-, saya suka, ya langsung beli, semacam udah gak peduli masalah harga, ongkos kirim dll ;D.
DeleteNah, kalau soal baca buku, ini yang masih bermasalah. Kecekatan membaca tidak sebanding dengan kecepatan membeli,:) dan belum ada perencanaan target bacaan juga. :D