Salah satu nikmat yang bisa saya syukuri
adalah kesempatan bisa menjemput anak. Saya selalu mengusahakan hadir lima
sampai sepuluh menit lebih awal untuk datang ke sekolah. Saya berusaha
menghadirkan diri saya sepenuhnya, untuk benar-benar menjemputnya. Tidak seperti
orang tua kebanyakan yang biasanya hanya menunggui anaknya di atas kendaraan. Duduk-duduk di kantin sekolah sambil
mengobrol, atau berteduh di bawah pohon, sejak ia masuk TK, saya pastikan saya
akan turun, dan datang ke kelasnya, menemui gurunya setelah kelas usai,
mengobrol, berbincang sebentar atau bertanya tentang apa saja perkembangan yang
sudah didapatkan. Sesekali, saya juga jadi punya kesempatan menyaksikan proses
pembelajaran sebelum benar-benar usai.
Seperti hari ini, saat saya
menjemputnya, saya juga baru tahu, kalau di hari ini ada penyuluhan untuk semua
anak kelas 1 dari kepolisian. Saya datang tepat saat penyuluhan akan segera
berakhir, saya masih sempat melihat anak-anak bernyanyi Garuda Pancasila, lalu terdengar closing
statement dari Pak Polisi kepada anak-anak,
“Jadi, anak-anak, jangan coba-coba atau
dekat-dekat dengan narkoba ya, karena narkoba itu berbahaya!”,
“Iya Pak...!” anak-anak menjawab dengan
serentak. Dalam hati saya membatin, “wah, keren juga sekarang dari kelas satu
sudah diberi pemahaman tentang narkoba.
Keluar dari kelas, Fifi terlihat sangat
bersamangat,
“Bunda...Bunda... besok-besok aku
cita-citanya mau jadi polisi”
“Oh bagus sekali itu!”
“Iya, tadi kami semua jadi polisi tahu!.
Fifi juga tadi jadi polisi”
“Oh ya, jadi Nak, tadi diberitahu apa
saja sama Pak Polisi?”
“Apa ya?...”
“Itu lho tadi yang Pak Polisi bilang
narkoba...”
“Oh itu, jadi Bunda! Kita itu jangan
jadi korban!”, dengan mimik muka serius.
“Apa Fi?”
“Iya, kita itu jangan jadi korban, nanti
kita bisa gila!”, muka serius, dahi terlipat :). Astaga! Jadi ini
hasil penyuluhan narkoba hari ini?, hihi.
Sejak masuk Sekolah Dasar, saya dan
suami mulai berbagi tugas. Suami bertugas mengantar, saya yang menjemput. Ini cukup
efektif, jadi kami sama-sama bisa mendapatkan gambaran tentang sekolah. Saya
juga lebih leluasa berbincang dengan wali kelas yang kebetulan adalah
perempuan. Biasanya saat saya menyampaikan kondisi Fifi atau sebaliknya, saya
jadi mendapatkan cerita yang lain dari Ibu Guru.
“Ya Bu, saya sedang bingung dengan satu
murid saya di kelas”
“Kenapa Bu?”
“Belum bisa apa-apa sama sekali Bu. Mau
dinaikkan nanti takut berat di kelas dua, mau tinggal kelas, saya kasihan. Mana
orang tuanya sudah saya panggil berkali-kali belum pernah datang”
“Orang tuanya sama-sama kerja ya Bu? Mungkin
pada sibuk”, terka saya.
“Gak juga Bu. Dekat dengan sekolah
padahal. Saya maunya ada kerja sama di sekolah dan di rumah, supaya anaknya ada
kemajuan. Kasihan saya lihat anaknya. Mungkin nanti kalau tiga kali gak datang
juga, saya yang ke sana”
“Iya Bu, mungkin begitu saja lebih baik.
Apalagi kalau anaknya baik, masuk sekolah terus, kan masih bisa diusahakan”
“Itulah Bu, kasihan kalau anak-anak itu
orang tuanya pisah. Jadi seperti tidak terurus”.
Itu cerita tentang Haikal (samaran),
salah satu teman sekelas Fifi.
Saya jadi ingat teman Fifi di kelas yang
satu lagi, namanya Kinar (samaran). Fifi sering bercerita tentang Kinar. Fifi
dan Kinar ini seringkali bermusuhan.
“Fifi tuh gak mau temenan sama Kinar”
“Kenapa?”
“Kinar tuh Bunda, giginya kuning, ada
hitam-hitamnya, banyak yang ompong, gak pernah gosok gigi dia”, Fifi ini anak
yang cukup memperhatikan penampilan memang. Tapi biasanya tidak sampai
segitunya.
“Jangan begitu Fi, Kinar itu gak punya
ibu di rumah, kasihan dia. Fifi harus berteman dengan semua”
“Kan Kinar bisa disikat gigiin sama
Ayahnya. Ayahnya kan ada..”
“Kan Ayah Kinar masih punya adik kecil, Ayahnya
masih urus adiknya yang kecil”
“Pokoknya gak mau”, Fifi terlihat sangat
kesal.
“Iya tapi kenapa? Harus ada alasannya. Kalau
yang gigi kuning kan teman Fifi banyak yang begitu”.
“Iya, tapi Kinar itu sudah curi pensil
Fifi Bunda!..”
Kapan hari Fifi cerita tentang Kinar
yang curi uang Nisa, nanti cerita tentang Kinar yang ambil ini, cerita tentang
Kinar yang dipukul temannya, nanti cerita tentang Kinar yang dimusuhi banyak
teman di kelas, cerita Kinar yang menangis di kelas. Yang kemudian hari saya
simpulkan bahwa Kinar ini terlihat seperti hanya mencari perhatian, karena
secara fisik saja terlihat tidak begitu diperhatikan di rumah. Jadi saat di
sekolah, Kinar seperti menjadi anak yang menyebalkan dan banyak tidak disukai
teman, dan yang paling mengkhawatirkan adalah rawan terkena bullying dari teman-temannya. Tapi meski
hubungan Fifi dan Kinar tidak begitu baik, belakangan saya mulai jarang
mendengar keluhan tentang Kinar, apalagi beberapa kali, pernah, ayah Kinar yang
mengantar Fifi pulang sampai rumah.
Saya tidak tahu bagaimana rasanya
melewati masa kanak-kanak tanpa seorang Ibu. Awal bulan lalu, saya bertemu
dengan kawan semasa SMP, namanya Nurani. Awalnya bertemu kembali di dunia maya,
jadi saat mendapatkan kesempatan bertemu langsung, saya jadi sedikit heboh,
bertanya banyak. Diantara banyak teman, saya dengan cepat mengingat Nurani. Itu
karena Nurani memberikan saya rok biru SMP setelah melihat saya sekolah dengan
menggunakan rok biru blontang blonteng akibat kecerdasan saya coba-coba
merendam rok biru dengan bayclin :p, waktu itu saya penasaran, kalau bayclin
digunakan merendam baju putih, bajunya jadi putih bersih. Kalau biru, jadi apa
ya? Haha... konyol sekali, lalu akibatnya saya ke sekolah dengan rok hasil
eksperimen itu berminggu-minggu, karena Bapak belum sanggup membelikan rok
baru, dan rok biru saya hanya ada satu. :p. Lalu datanglah Nurani menawarkan
rok biru bersih meskipun tidak baru, :). Ia datang seperti
malaikat yang menolong saya, setelah sekian lama saya harus pura-pura tidak
punya muka haha. :)
Saya bertanya pada Nurani kabar tentang
teman-teman semasa sekolah, Nurani hampir-hampir tahu semua kabar mereka,
bahkan saya juga bertanya padanya,
“Eh dulu aku kelas IPA berapa sih?”,
bahkan saya juga sudah lupa saya kelas berapa...:).
“Kamu kan IPA dua Rin”,
“Oh ya ya? Kok dulu kita jarang ketemu
ya kayaknya”,
“Ya iyalah, aku gak punya banyak waktu
untuk main, kumpul sama teman-teman, lagian kan aku di IPS”
“Memang kamu di mana?”
“Aku kerja Rin, pulang sekolah jadi
tukang cuci”,
“Hah? Masak sih? Kok aku gak tahu ya? Aku
ke mana ya waktu itu?”, teman macam apaah saya inihh? :p
“Aku tuh udah kerja dari jaman SD Rin,
cari uang tambahan”
“Oh ya? Ya ampun Nurani!, jaman-jaman
sekolah aku sibuk dengan belajar, sibuk mempersiapkan masa depan :p, aku sama
sekali gak tahu kabarmu”
“Iya Rin, yang lain belajar, aku pergi
kerja, yang lain kuliah, aku sudah pergi ke mana”.
Karena saya penasaran, saya terus
bertanya tentang kehidupan Nurani. Dari situlah saya mendapatkan cerita.
“Aku kan udah ditinggal Ibu sejak SD
kelas dua”
“Oh ya? Tapi setelah itu kan kamu punya
ibu lagi?”
“Gak terlihat seindah yang dibayangkan.
Apalagi Bapak kan punya riwayat nikah-cerai lebih dari satu kali. Sudah sibuk
dengan keluarganya sendiri, jadi aku tinggal sama nenek, sudah gitu di sana
juga banyak orang, jadi aku gak terlalu diperhatiin”.
Ada beberapa kisah
tentang ibu setelah kematian ibu kandung Nurani yang saya skip. Seperti yang
Fifi baru-baru ini katakan, “Bunda, ibu tiri itu jahat lho!”
“Haish, tahu dari mana?”
“Iya, aku nonton di sinetron, begitu
Bunda”, kadang di luar dunia sinetron ada banyak kemiripan kisah. :)
“Hal apa yang kamu ingat, paling
menyedihkan Nurani?”, saya bertanya padanya dengan hati-hati.
“Dulu, aku sedih kalau lihat anak yang
digandeng dua orang tuanya. Yang jalan-jalan sama ibunya, yang bermain sama
ayahnya. Tapi hal yang paling menyedihkan adalah saat pengambilan rapot”
“Kenapa?”
“Karena rapotku gak pernah diambilkan
Bapak atau Ibuku, sepanjang masa sekolah, aku selalu ambil rapotku sendiri, paling
belakangan, ambil sendirian di ruang guru”.
Saya menghela napas panjang, ingin
meneteskan air mata. Benar-benar hal di luar dugaan saya. Ternyata, hal yang
diinginkan oleh seorang anak, terkadang hal yang sederhana, kita hanya butuh
meluangkan waktu, sebentar, dan hadir benar-benar untuknya.
Jadi, bersikap baiklah, dan berkasih
sayang pada setiap anak, sebab masa kecil mereka tidak mungkin dapat terulang.
Karena tidak semua anak bisa merasakan
kasih sayang seorang ibu.
Dan tidak semua ibu bisa memiliki anak.
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
7 komentar
kok ya aku malah fokusnya ke "jangan jadi korban, nanti gila" :D
ReplyDeleteHihi, itu dia Milo. Aku aja ketawanya ampe ngakak seharian. :). Hadeuh Pak Polisi ngapa pulak anak kelas satu dikasih tahu narkoba! Hihi..
ReplyDeleteMudah-mudahan kinar dan yang bernasib sama bisa kuat menjalani garis tangannya.
ReplyDeleteAmin.
DeletePerkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
ReplyDeleteJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
So Inspiring
ReplyDeleteMakasih Mbak Dian telah berkunjung :)
Delete