Bismillahirrohmarrohim.
Tiga hari lalu, saya bertemu dan berkesempatan berkenalan dengan sepasang suami isteri. Suaminya seorang doktor lulusan Jepang, seorang peneliti di LIPI. Isterinya seorang dokter yang kini sedang menyelesaikan tesis. Saya lebih banyak berbincang dengan sang isteri, karena sesama perempuan tentu jauh lebih nyambung dan nyaman. :). Selain berbagi pengalaman tentang gonta-ganti asisten hingga dua puluh asisten rumah tangga, ada cerita menarik dari Bu Dokter saat ia berkisah tentang temannya, seorang dokter spesialis anak.
“Teman saya itu, dia praktik di 5 rumah sakit di Jakarta. Kerja dari senin sampai sabtu, berangkat pagi-pagi sekali, sampai rumah jam 1 malam. Suaminya kerja di perusahaan telekomunikasi, senin sampai sabtu juga, sampai rumah jam 1 malam. Anak mereka lima, masing-masing ada pembantunya sendiri. Coba bayangkan, itu kapan ketemu anaknya?”
Oke, saya mulai membayangkan.
“Kalau hari libur, akhir pekan, mereka lebih memilih jalan berdua, dia dengan suaminya. Yah, karena mereka berdua juga kan jarang ketemu, jarang ngobrol, sama-sama sibuk. Jadi kalau anak-anak minta jalan, anak-anaknya disuruh jalan tuh sama pembantu-pembantunya”
“Iya Bu, tapi mungkin, kalau hari libur, mereka (suami-isteri) itu butuh ‘me time’.”
“Nah iya, betul itu. Habis itu waktu untuk di rumah saja, belum ‘me time’, belum memenuhi suami, belum lagi anak-anak. Bayangkan betapa banyaknya waktu kebersamaan yang dikorbankan demi mengejar uang dan popularitas. Iya, oke, mereka punya rumah yang besar, harta yang cukup, tapi bagaimana dengan anak-anak? Urusan peer saja mungkin ibunya gak pernah tahu itu, apa saja yang dilakukan anaknya di sekolah”.
“Spesialis anak ya Bu?”
“Iya”.
Seketika saya langsung terdiam. Berfikir, lebih tepatnya berkaca. Pantas, waktu itu, saya pernah ditodong pertanyaan,
“Bu, saya itu lihat ibu saja sudah capek, banyak sekali aktivitasnya. Jadi ibu kapan ketemu dengan suami? Ada waktu gak ngobrol dengan suami?”
Kenalan saya yang bertanya seperti itu. Waktu dia bertanya seperti itu, pasti ia lupa, bahwa saya dan suami satu kantor, sehingga frekuensi untuk bertemu bisa jadi lebih intens. Tapi pertanyaannya waktu itu lebih kepada, bicara yang benar-benar bicara. Yang benar-benar nyaman, dua-duanya ada. Suami ada di situ, isteri ada di situ.
Jaman sekarang, betapa banyak pasangan yang hidup bersama, satu atap, satu dinding, satu lantai, tapi seperti terpisah seribu mil jaraknya. Mereka bertemu sekedarnya, saling melempar tatap seadanya, bicara seperlunya, itu pun disambi dengan menjawab chat, membalas email rekanan, atau sembari duduk di depan layar televisi atau sambil bermain game. Tidak ada kehangatan, kemesraan apalagi kedamaian. Semua berjalan atas dasar rutinitas.
Waktu itu saya jawab,
“Bu, saya baru benar-benar ketemu suami di malam hari (bertemu yang benar-benar bertemu ya, sebab kalau di kantor kita disibukkan dengan urusan masing-masing. Sampai di rumah, saya masih disibukkan dengan urusan rumah, berbenah, masak, urus anak dan yang lain) Paling cepat jam sembilan malam, selambat-lambatnya jam sepuluh malam. Di pertemuan yang benar-benar itu, saya dan suami biasanya baru bisa bicara, ngobrol dari hati ke hati. Jadi, kami terbiasa tidur larut, kadang sampai pagi, meski tidak setiap hari begitu, saat itulah baru bisa bicara”.
“Ada waktu khusus ya Bu?”
“Gak juga sebenarnya Bu. Tapi saya dan suami memang berusaha menyempatkan waktu khusus untuk bicara, setiap hari diusahakan ada”.
Di situlah saat itu kawan saya itu cerita.
“Iya saya lagi bingung Bu, lihat Winda, dua-duanya PNS, sama-sama sibuk, sekarang hampir pisah. Masalahnya sederhana sebenarnya, hanya karena kurang komunikasi. Makanya saya tanya ke Ibu, yang kondisinya hampir mirip, bagaimana cara membangun komunikasi yang baik”.
Komunikasi, sesuatu yang nampaknya sederhana, remeh, tapi cukup mendasar dalam kehidupan rumah tangga. Apa jadinya, kalau kita hidup dengan seseorang yang kita sayang, tapi bawaannya curiga saja, tidur tidak tenang, resah berkepanjangan. Apa jadinya, kalau kita hidup bersama, tapi tidak ada kenyamanan, masing-masing sibuk dengan urusannya, tidak ada salah satu yang siap mendengar, dan tidak ada salah satu yang siap bicara. Hidup bersama, tetapi seperti hidup berjauhan. Terlihat rukun dari luar, tetapi retak-retak di dalam.
Usahakan Bicara Terus Terang
Di awal-awal pernikahan, saya merasa cukup berat menjalaninya. Sebabnya satu, belum nyambung saja. Apa yang saya fikirkan belum tentu itu yang dikehendaki oleh suami, dan sebaliknya. Belum lagi benturan-benturan permasalahan lain. Beda pendapat, beda sifat, beda kesukaan. Butuh waktu yang agaknya cukup lama, untuk bagaimana menyambungkan komunikasi, agar berjalan mulus, tanpa hambatan.Yang pertama saya pelajari adalah bagaimana mengungkapkan sesuatu secara terus terang, tidak sekedar disimpan.
“Rin, gimana sih, suamiku tiap pulang kantor, maen mulu, sama temen-temennya, jarang di rumah. Padahalkan di rumah aku butuh dia”,
“Ya bilang aja sih sama suami langsung”,
“Kalau suami pulang, bawaannya udah kucemberutin mulu, dia gak ngerti-ngerti juga”.
“Ya pastilah dia gak ngerti, hehe”
“Bilang saja, Mas, aku gak suka kalau kamu keseringan main di luar. Aku butuh kamu, di rumah”. Selesai.
Terus terang, saya termasuk tipe yang begini, tipe yang kurang peka, hihi. Awal-awal menikah dulu, setiap saya tanya apa gitu dengan suami,
“Kalau menurutku sih bagusnya begini, ya tapi terserah kamu sih, kamu juga aku mau bilang apa, tetep aja pendapatmu yang kamu pake, ya udah terserah aja”.
“Kata-kata ya udah terserah kamu”, itu saya artikan oh berarti boleh ya terserah saya, suka-suka saya mau apa. Kan katanya terserah.
Tapi, seiring waktu saya jadi paham kalau sudah ada kata-kata “terserah” berarti sebenarnya suami saya tidak setuju, tidak suka. Akhirnya, saya katakan kepada suami,
“Kalau gak suka bilang gak suka. Gak setuju bilang gak setuju. Kalau mau bilang ‘kamu nurut dong sama aku’ ya bilang saja ‘sudah, nurut aku saja’”, begitu.
Berhubung, tipe suami saya ini tipe yang gak enakan, kalimatnya mulai diganti lagi. saat ia sedang tidak menyetujui sesuatu, jawabannya jadi seringkali menggantung.
“Sebentar ya, aku fikirkan dulu”, tapi lama kelamaan setelah saya pelajari, itu hanya cara suami untuk mengganti kalimat, “gak, aku gak setuju dengan kamu”.
Tapi, belajar mencerna makna dari kalimat ambigu seperti ‘terserah’, atau menggantung seperti “nanti aku fikirkan”, ini juga butuh waktu, lamaaa sekali saya baru paham dan 'ngeh', :) akhirnya hal ini bisa jadi sebuah masalah baru, apalagi jika pasangan yang diharapkan mengerti maksudnya ternyata tidak juga paham. Sehingga, pada akhirnya memang, untuk membangun komunikasi efektif dengan pasangan adalah membiasakan berbicara terus terang.
"Mas, sebaiknya jangan dulu deh beli rumah"
"Aku gak suka lihat potongan rambut yang begitu, coba ganti yang begini"
"Oh ya, kalau jalan, jangan cepet-cepet, saya ketinggalan. Terus kalau bisa, pegang tangan saya, supaya saya merasa aman di tengah keramaian, gak seperti orang hilang". Eh iya bener, saya utarakan ini kepada suami, bahkan wujud-wujud romantisme yang ingin saya dapatkan hadir dari suami, tapi dia tidak paham jika saya memerlukan itu, saya ungkapkan.
"Kalau jalan ke pasar, bawakan semua tentengan, perempuan akan merasa dihargai dengan itu"
"Saat akan berjauhan, cium kening saya, itu romantis"
"Kalau mau ajak makan di luar, tanya dulu ya saya maunya makan apa, kita kan beda selera, jadi biar sama-sama puas"
"Jangan terlalu deket ya ngobrol sama teman-teman perempuan di kantor"
"Kan cuma teman kantor"
"Iya, tapi saya cemburu"
"Kalau isteri masak, mau enak, setengah enak atau gak enak pun, ucapkanlah terima kasih, dan makan lahap di depannya. Jangan langsung mencela atau mengkoreksi. Bagi seorang perempuan, dapur itu istananya, dan hasil masakannya itu adalah perhiasannya yang paling ia cintai. Isteri yang memasak di dapur, itu penuh dengan usaha dan peluh, dia akan senang kalau kerja kerasnya itu dihargai.".
Saya belajar tentang menghargai masakan seorang isteri ini dari Bapak saya. Bapak saya selalu pulang, dan makan masakan ibu. Suatu siang, Bapak pulang dan langsung makan. Waktu itu, sayur yang ibu masak adalah sayur santan. Udara siang itu panas, gerah. Bapak langsung mengambil nasi dan sayur, dan langsung makan dengan lahap di samping ibu yang sedang duduk santai. Bapak makan dengan sangat lahap, bahkan sampai tambah nasi. Saya ingat sekali, waktu itu Bapak cuma bilang, "sayurnya asin", Bapak bilang begitu sambil tambah sayur dan tambah nasi. Lalu makan kembali, dengan lahap.
Setelah selesai makan dan Bapak pergi, Ibu buru-buru meminta saya mencicipi sayur. Saya langsung meludah, "Ibu, sayurnya asin banget, keasinan ini". Dan saya ingat sekali, saya menambahkan gula ke dalam sayur, bukan cuma satu dua sendok, tapi mungkin tiga atau empat. Saat itu saya belajar, bagaimana seorang suami menghargai isterinya.
Dengan berbicara terus terang, apa yang kita harapkan sampai, akan lebih mudah dipahami, tidak ke mana-mana, tepat sasaran dan efektif.
Belakangan, kalimat yang suami saya gunakan dalam keseharian menjadi jauh lebih efektif, meski tidak lugas dan terus terang seperti saya. Yang terpenting, saya cepat paham. Itu saja intinya. :).
"Kok dandanannya gitu?"
"Jelek ya?"
"Iya, ganti deh bajunya".
biasanya, masih ada tawar menawar nih, :p
"Tapi aku suka yang ini"
"Kamu dandan buat siapa sih? buat aku atau orang-orang?", sambil ngegodain manja, :) --ini kalimat skakmat, hihi--
"oke".
"Bagusnya yang A"
"Gak, B deh kayaknya B"
"Mau masuk surga dari pintu mana saja gak? :p" -oke, skakmat lagi- :).
Terbuka&Transparan
"Silvi siapa?""Teman"
"Teman di mana?"
"Kamu juga gak kenal"
"Ya, tapi kan aku harus tahu. Ngapain kamu malam-malam gini masih chattingan sama dia"
"Cuma urusan kerja"
"Kok malem sih? gak ada waktu lain apa"
"............."
Waduh, percakapan seperti ini sudahlah bertele-tele, panjang, tambah bikin masalah, ujung-ujungnya bisa melahirkan pertengkaran. Padahal masalahnya sepele, cuma tanya Silvi itu siapa.
Biasakanlah bersikap terbuka dan transparan terhadap pasangan. Jadikan pasangan sabagai seseorang yang paling kita percaya, dan buat ia merasa dipercayai, hal inilah yang akan melahirkan ketenangan. Lebih enak, jika jawabannya begini:
"Silvi siapa?"
"Oh, dia patner kerja aku selama Rudi gak ada. Kebetulan projek yang ditinggal Rudi harus selesai besok pagi sebelum meeting jam 7. Jadinya ya, harus intens nih ngawasin kerjaan yang lagi dikerjain Silvi. Kalau hpku bunyi tengah malam nanti, ada telpon atau sms dari Silvi gak papa ya, penting soalnya". Selesai.
Saya jadi ingat, dua minggu lalu, karena pekerjaan, saya bertemu dengan suami dari sahabat saya.
Saat berkesempatan makan bersama dan berkumpul satu meja dengan teman-teman yang lain, beliau langsung bertanya pada saya.
"Temen deket isteriku ya?'
"Kok bisa tahu?"
"Iya, aku baca semua wa isteriku. Lah dia juga suka buka-buka hpku, ya gantian to".
Saya yang sedang menghabiskan segelas minuman, langsung tersedak sambil mesem-mesem sendiri. Haduh apa aja ya yang sudah saya dan sahabat saya perbincangkan, ada yang aneh tidak ya, hihi. :).
Tiap pasangan punya cara masing-masing untuk membangun kepercayaan. Ada yang butuh semuanya terbuka, blak-blakan. Ada juga mungkin, yang merasa masih perlu main tebak misteri, tidak semua harus tahu, karena masing-masing butuh ruang privasi. Semuanya sah-sah saja, yang penting, dua belah pihak merasa nyaman dan enjoy dengan cara yang dipilih.
Tetapi, untuk hal-hal sederhana dan prinsipil, sebaiknya jangan ditutupi, terbuka saja. Sebaiknya, tiap pasangan memiliki akses untuk masuk dan mengetahui apa saja terkait pasangan hidupnya. Dan sebaliknya, kita harus rela berbagi dan mau terbuka terhadap apa saja yang ingin diketahui oleh pasangan. Tutupi apa yang ingin ditutup, jika itu untuk kebaikan, tetapi jika menyangkut urusan rumah tangga, dan berdampak terhadap masa depan, bercerita kepada pasangan hidup, tentu jauh lebih bijak, dan melegakan.
Jangan Ada Gadget di Antara Kita
Satu hal yang saya dan suami sepakati saat bersama adalah: kehadiran. Saya hadir di saat itu -jiwa dan raga- untuk suami, begitu pula sebaliknya. Tidak ada yang lain, termasuk: gadget. :). Ini tidak hanya kami lakukan saat ngobrol-ngobrol biasa, tapi juga biasa kami lakukan saat keluar bersama, jalan-jalan, nonton atau apapun aktivitas yang judulnya "waktu bersama". Terima telepon boleh-boleh saja, tapi tidak sibuk sendiri dengan gadgetnya. Ini membuat masing-masing kami menjadi fokus, lebih bisa menikmati dan waktu bersama menjadi sangat amat efektif.Aih, gadget ini seperti mainan yang bikin candu, seperti game yang kalau sudah selesai satu level, penasaran pengen fokus nyelesain level berikutnya, selesai lagi, penasaran lagi, terus buka lagi, lagi dan lagi. Apalagi, kalau kebetulan kita punya banyak komunitas dan grup. Belum lagi, kalau kita doyan socmed-an, punya banyak akun, rajin bikin status, demen selfian pulak. :). Lengkaplah sudah perih bahasa yang menyatakan, 'menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh'. Itulah bahayanya.
Pernah gak, melihat sebuah keluarga berkumpul, makan bareng di luar, terus masing-masing dari mereka sibuk dengan gadgetnya, suasana hening, tidak ada obrolan, garing. Sering kan melihat dua orang (suami -isteri) sedang menunggu, duduk di pojokan, masing-masing tidak ada suara, tertawa sendiri sambil memandangi layar hpnya. Ironi ya, kemajuan jaman telah merenggut kebersamaan kita. Atau sebenarnya, kebersamaan saat ini tidak lagi seperti dulu, kebersamaan cukup diekspresikan dengan emoticon, dan kehadiran itu tidak lagi menjadi penting. Lalu setelah kita tersadar, waktu kebersamaan itu telah habis, dan tidak lagi menyisakan ruang.
Jangan ada gadget diantara kita. Tinggalkan semua kesibukan dunia maya, dan hadirlah membersamai pasangan. Genggam tangannya, dan kemudian bicara. Ajaklah suami atau isteri untuk bercerita. Pancing ia untuk berbagi, apa saja. Meski itu hanya sekedar lelucon garing, basa-basi atau hanya sekedar bercerita tentang apa yang terjadi hari ini. Jadilah pengisah yang baik, dan jadilah pendengar yang baik pula. Banyak hubungan terasa hambar, hanya karena kurang di dengar. Banyak hubungan yang tidak lagi terasa menggairahkan hanya karena kurang cerita. Hadirlah bersama pasangan, dan sibukkanlah diri hanya dengannya.
Ciptakan Romantisme Dengan Canda
Saya sering mengulang pertanyaan yang sama terhadap suami. Karena saya senang mendengarkan jawabannya. Salah satu tema pertanyaan yang paling sering saya tanyakan, adalah tentang marah."Kok kamu gak pernah marah sih sama aku?"
"Karena saya khawatir, malaikat akan melaknatmu", ini jawaban yang sepertinya terus saya kenang, sepanjang pernikahan, karena waktu itu saya bertanya spontan, dan jawabannya juga spontan, :).
Lain waktu, saya bertanya lagi,
"Kok tahan sih dengerin aku ngomel dan marah?"
"Udah biasa. Aku udah terlatih", dengan jawaban datar, tanpa ekspresi. Tapi jawaban ini mampu membuat saya tertawa, "udah biasa diomelin ya?' :D.
Dibandingkan saya yang cenderung ekspresif, baik dalam ucapan ataupun perbuatan. Suami saya adalah tipe orang yang super hati-hati, dalam bicara maupun bertindak. Setelah usia pernikahan bertambah, saya semakin banyak belajar tentang kehati-hatian, dan suami banyak belajar tentang bagaimana bicara "to the point".
Canda-canda ringan antara suami dan isteri terbukti mampu mencairkan suasana dan menjernihkan kembali keadaan. Ciptakanlah romantisme dengan canda.
Bicara soal canda, sebenarnya kami bukan tipe manusia-manusia lucu yang mudah mengundang gelak tawa. Jadi, untuk mencairkan suasana, kadang salah satu dari kami membacakan kisah-kisah jenaka dari buku, lalu sibuk bertanya,
"Gimana, lucu gak? haha..." lalu tertawa bersama.
Atau yang lebih sering, menceritakan kembali kejadian lucu yang kami dapati dari keseharian.
"Tahu gak sih, tadi di jalan...bla...bla...bla", lalu tertawa bersama.
Cara yang paling mudah adalah menonton bersama. Saya suka tema roman, suami suka tema komedi. Jadi, kalau sedang ingin nonton, temanya pasti tidak jauh dari dua itu, roman komedi. Lalu tertawa bersama.
Lucu ya, bahkan di dalam pernikahan, menciptakan momen untuk tertawa bersama saja, butuh effort. hihi. Butuh belajar. Tapi asyik. :).
Jadi, romantisme dengan canda itu tidak hanya diciptakan, tetapi diupayakan.
Tak Perlu Kata Untuk Bicara
Kemudian ini menjadi penting. Membuktikan rasa sayang dan cinta, tanpa perlu banyak kata. Tunjukkan perhatian kepada pasangan dengan aksi nyata. Hal-hal sepele yang dilakukan, tetapi berkesan. Contohnya seperti: membuatkan teh manis setiap pagi, membukakan pintu mobil dan mempersilahkan pasangan untuk masuk terlebih dahulu, mencium kening pasangan sebelum tidur, menggamit lengan pasangan saat berjalan dan banyak lagi.Bapak saya selalu makan masakan ibu saya, bagaimanapun rasanya. Saya punya seorang teman yang tidak bisa minum kopi kecuali kopi buatan suaminya. Itu karena suaminya selalu membuatkannya kopi, minuman kesukaan sang isteri saat sedang menulis di depan komputer. Saya selalu merasa kesepian dan kehilangan saat sedang berkesempatan jalan sendirian. Karena, saat saya jalan berdua dengan suami. Ia adalah orang yang benar-benar ada untuk saya. Ia adalah orang yang akan memenuhi semua permintaan, kami akan menyusuri semua tempat yang saya pilih berdasarkan apa yang saya inginkan, kemana pun. Ia adalah orang yang akan memastikan saya naik kendaraan yang paling nyaman, tak jarang rela menyewakan kendaraan. Ia akan menjadi orang yang paling sabar menemani saya berbelanja, membawakan semua barang tanpa saya harus merasa repot keberatan, dan tentu saja, yang terakhir, yang tidak pernah dilupakan, semua barang yang saya beli, ia yang akan membayarkan. :)
Ada hal-hal dari pasangan yang mungkin sepele, sederhana, tetapi berkesan, dirindukan saat berjauhan dan saat sedang tidak bersama. Saya tidak begitu pandai memasak, tetapi saya tahu, ada jenis masakan tertentu dari saya yang dirindukan oleh suami, itu berkesan sekali, membahagiakan. Suami saya tidak begitu pandai melucu, tapi saya tahu, saya punya sesuatu yang saya rindukan saat berjauhan, itu berkesan sekali, membahagiakan. Saya juga bisa merasakan bentuk rasa cintanya, meskipun itu tidak perlu diucapkan seribu kali dalam sehari. :)
Pernikahan ini, pada akhirnya adalah sebuah ajang pembelajaran, yang sangat menyenangkan. Dua orang yang berbeda, kemudia disatukan. Jangan sering menengok perbedaan, lihatlah kesamaannya, pasti ada. Diantara ratusan perbedaan itu, pasti ada kesamaan, karena itu jangan pernah bosan untuk mengeksplorasi pasangan. Gali pasangan lebih dalam, gali apa saja kesukaannya, belajar bagaimana cara agar bisa tertawa bersama, belajar bagaimana cara bicara yang baik, belajar bagaimana cara menciptakan romantisme, belajar bagaimana cara mengungkapkan rasa sayang, belajar untuk senantiasa terus kuat, terus satu meski permasalahan datang menyerbu, belajar untuk saling menguatkan, belajar untuk terus saling mengingatkan. Indah, subhanallah indahnya pernikahan jika masing-masing mau untuk terus belajar dan tidak pernah merasa bosan. ^^.