Beberapa kali perempuan muda ini mencegat saya. Seringkali, kami berpapasan di pagi hari, saat saya hendak berangkat kerja.
"Bu, kapan ada di rumah?, saya mau cerita".
Raut wajahnya bingung, bimbang. Dan saya, hanya dapat memberikan kata "inshaallah Bu, kalau pintu rumah saya terbuka, datang saja".
Tetapi, apalah manusia. Meski sudah berencana, dapatlah terlewat juga.
Janji-janji yang saya susun dengannya, acapkali terlalui. Hingga pada suatu senja, beroleh cakap juga saya dengannya.
"Saya cinta dengan dia Bu.." ucapannya tercekat, nafasnya sedikit tertahan.
"Jadi, Ibu mau menungguinya, sampai kembali, sampai kapan Bu?"
Hening, tidak ada jawaban.
Bagaimana hendak mengurai cerita. Perempuan muda di hadapan saya, dengan dua anak kecilnya yang masih balita. Menunggui lelaki (mantan suaminya), yang dulu pernah menyakitinya, mencampakkannya, menduakannya dengan cara yang sulit rasanya untuk dimaafkan. Selingkuh. Menghamili perempuan lain. Lalu pergi, menikahi perempuan selingkuhannya.
Lalu, dengan cara yang serupa pula, ia meninggalkan perempuan selingkuhannya, datang kembali, menemui mantan isterinya, meminta penerimaan. Atas nama cinta (?).
"Saya tinggalkan suami saya yang sekarang Bu, saya fikir dengan menikah lagi, saya bisa memiliki kehidupan yang lebih baik, bisa melupakan dia. Tapi, saya tidak bisa Bu. Saya selalu mengingatnya"
Haaaah. Saya hanya dapat menghirup napas panjang. Lebih banyak mendengarkan, dibanding menyela.
"Saya bingung Bu, benar-benar bingung"
Iya. Sama. Saya juga sama bingungnya, memahami ibu.
"Mantan suami Ibu sekarang di mana?"
"Masih di penjara Bu".
"Kasus apa?"
"Minum-minum, sama narkoba"
Haaaah. Helaan nafas saya jauh lebih panjang.
Seperti tahu apa yang saya fikirkan, buru-buru ia menyela,
"Tapi selama bersama saya dia baik Bu. Dia itu sebenarnya baik... Dia itu bla...bla...bla..."
Saya hanya bisa tersenyum simpul, sembari mencerna kalimat 'selama bersama saya'.
"Jadi Ibu maunya bagaimana?"
"Nah, itu Bu yang membuat saya bingung, saya gak tahu...tapi katanya, saya harus nunggu sampai dia keluar dulu".
Perbincangan kami terhenti, sebab azan maghrib kemudian berkumandang. Keresahannya belum usai, kisah yang ingin dibaginya, sebenarnya tidak menemui kata selesai.
Saat itu, saya benar-benar hanya mendengarkan. Tidak memberi saran, tidak menyela, tidak pula menjatuhkan semua harapannya.
Karena, perempuan muda di hadapan saya, sedang berselimut dengan cinta. Saya sedang berhadapan dengan perasaan, tidak ada akal, apalagi tempat bagi logika di dalamnya.
Begitulah, hebatnya perasaan.
Perempuan baik, tidak pernah mensyaratkan kesuksesan hadir terlebih dahulu. Tidak perlu menunggu segunung emas, rumah apalagi jabatan. Perempuan baik, bahkan rela hidup membersamai orang yang dicintainya, dengan angka 'nol' atau bahkan minus kesuksesan.
Para perempuan penggenggam cinta bahkan bersedia menunggu, bilangan tahun, jika ia telah diberi janji.
Tetapi lelaki yang baik, tidak pernah membuat perempuannya menunggu. Tidak pernah hanya sekedar mengumbar janji, mengobral kata-kata. Lelaki yang baik, akan datang dengan gagah, menyatakan cinta, mengajak menikah, meski belum mampu membawakan seperangkat berlian yang wah.
Namun, kita tidak sedang membicarakan para perempuan baik, atau para lelaki baik.
Kita sedang ingin membicarakan perjalanan yang lebih panjang.
- - Pernikahan--
Maka, di akhir pertemuan saya dengan perempuan muda berwajah bimbang itu, saya ajukan pertanyaan,
"Ibu, mantan suami Ibu salat?"
Ia hanya terdiam. Tak menjawab. Masih berkilah,
"Tapi dia akan berubah. Dia janji akan berubah kalau saya kembali. Dia gak akan minum-minum lagi".
Ya, percakapan senja hari itu tertunda, sampai saya dapat menemukan celah untuk menghadirkan logika. .
---------- -
Sebab cinta bukan satu-satunya dasar yang akan menguatkan ikatan pernikahan.Cinta itu penting,
Namun cinta, bukanlah faktor penentu utama.
Untuk urusan perjalanan yang lebih panjang dalam pernikahan,
Cinta, dengan sifatnya yang melahap habis akal dan logika, terlampau rapuh untuk dijadikan pondasi perjalanan yang panjang...
_____________________________________________________ ###
Seorang Supir Taksi & Kriteria Jodoh
Bismillahirrohmanirrohim,
Suatu waktu dalam sebuah perjalanan
dari Balikpapan ke Samarinda, kami (saya dan suami) memilih menggunakan taksi.
Di kota ini, penyebutan taksi juga digunakan untuk menyebut angkot, sehingga
taksi di sini perlu diperjelas. Taksi yang kami gunakan adalah taksi argo,
jenis angkutan yang biasa di carter untuk perjalanan yang cukup memakan waktu
seperti ini. Meski lebih mahal jika dibandingkan menggunakan transportasi umum
seperti bus, tetapi pilihan di hari itu lebih karena kami ada urusan di
beberapa tempat sepanjang perjalanan itu, dan dengan tentengan barang yang
begitu banyak, rasa-rasanya menggunakan taksi jauh lebih praktis dibandingkan
naik-turun kendaraan umum.
Supir taksi yang membawa kami pada
hari itu, berumur kira-kira lebih dari setengah abad, ramah dan sabar. Ia tak
keberatan menunggui kami menyelesaikan suatu urusan di suatu tempat lebih dari
satu jam lamanya. Cara membawa taksinya juga tidak terburu-buru, halus, pelan
dan saya yang biasanya tidak tahan naik mobil, di hari itu sampai dengan
selamat dan sehat, mengalahkan rekor di perjalanan-perjalanan sebelumnya.
Pernah, dalam perjalanan
sebelumnya, saya mabuk berat, dalam tiga jam perjalanan, saya muntah tiap lima
belas menit sekali, benar-benar menyiksa. Sampai-sampai supir yang membawa saya
waktu itu merasa iba dan hendak membawa saya ke rumah sakit. Saya menolaknya
sebab saya tahu satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan saya adalah sampai di
tempat tujuan secepat mungkin dan keluar dari mobil yang saya tumpangi saat
itu. Entahlah, saya merasa kurang nyaman dengan supirnya,
dengan cara dia membawa mobil, juga jalanan yang berkelok-kelok membuat saya
semakin pusing. Tapi, saya tidak bisa protes banyak, sebab di dalam mobil itu
tidak hanya ada saya. Dan benar saja,
setibanya di tempat tujuan, rasanya badan saya terasa jauh lebih segar
dibandingkan sebelumnya. Akibat itu, saya
jadi cukup trauma untuk kembali naik kendaraan darat saat itu, jadi untuk
pertama kalinya, perjalanan pulang dari Samarinda menuju Balikpapan yang
bisa ditempuh tiga sampai empat jam itu, saya tempuh menggunakan jalur udara, pesawat,
dengan harga tiket yang tentu saja jauh lebih mahal. Benar-benar!.
Kembali pada cerita
perjalanan saya di awal tadi, Pak Tarno, sebut saja
namanya demikian, supir taksi yang
membawa kami. Sepanjang perjalanan, Pak Tarno yang
ramah itu banyak berbincang dengan suami saya, tentang keluarganya, isteri dan
anak-anaknya, dan perjalanan malang melintang kehidupannya di Balikpapan. Isterinya adalah seorang ibu pejabat di salah satu instansi Pemkot Balikpapan, anak-anaknya penerima beasiswa, salah satunya sedang kuliah di luar negeri. Saya
hanya mendengarkan, sesekali menyela dan lebih memilih memejamkan mata dengan
harapan agar saya tidak mabuk sepanjang perjalanan. Sampai tiba azan asar berkumandang, Pak
Tarno mengagetkan saya karena tiba-tiba berhenti di pinggir jalan,
“Mbak, saya izin mau salat asar
dulu, sudah azan”
“Oh ya Pak, silahkan Pak, kita ke
masjid yang di sebelah sana saja”, antara kaget, heran dan takjub. Ini untuk
pertama kalinya dalam hidup saya, mendapatkan supir taksi yang meminta izin
untuk salat saat azan memanggil. Saya belum pernah mendapatkannya selama ini,
belum pernah. Biasanya, penumpang yang sungkan dan malu-malu meminta izin supir
untuk berhenti di masjid, itu pun terasa tidak nyaman dan buru-buru karena sang
supir menunggu dengan tatapan tajam
menyeringai, seolah merasa sangat terusik dengan waktunya yang terganggu. Atau,
penumpang lebih memilih mengakhirkan waktu salat, nanti saat tiba di tempat
tujuan. Sungguh, ini pengalaman yang sangat tidak biasa untuk saya. Langka!.
Saat itu, sebagai musafir kami
sudah menjamak sholat di waktu zuhur sebelumnya. Kebetulan sekali, karena kami
belum sempat makan siang, jadi kami memutuskan untuk menunggui Pak Tarno di
warung makan sebelah masjid. Saat melintasi masjid, saya melihat Pak Tarno
salat sunnah qobliyah dengan sangat tenang, nyaris tidak terlihat seperti
orang yang diburu waktu, atau takut waktu untuk mencari penumpang lagi setelah
kami jadi terpotong dengan waktu salatnya.
Perjalanan berlanjut, sebelum
jembatan penyeberangan Sungai Mahakam, lalu lintas padat merayap, apalagi pada
jam-jam sepulang kantor, jalanan macet parah. Sayup-sayup terdengar kumandang
azan magrib. Saya memperhatikan Pak Tarno yang gelisah luar biasa -tidak
setenang sebelumnya-, saya mulai tahu penyebabnya demi menyaksikan Pak Tarno yang
beberapa kali menoleh ke belakang, matanya tertuju pada masjid yang sedang
mengumandangkan azan yang hampir habis, letaknya beberapa meter saja, tetapi
tidak ada ruang untuk memutar balik, satu-satunya pilihan adalah melanjutkan
perjalanan. Sesampainya di seberang, saya masih bisa mendengar suara dari
beberapa masjid yang sudah mulai melaksanakan salat magrib. Jarak dari tempat
kami saat itu ke tempat tujuan sebenarnya tidak jauh-jauh amat. Saya fikir,
waktu itu Pak Tarno akan mengantar kami terlebih dahulu, tetapi tidak disangka,
saat jalanan perlahan longgar, Pak Tarno menepikan taksinya, dan berhenti di
sebuah musala kecil di kiri jalan.
“Jamak takdim saja Mbak, jadi nanti
enak, sampai di hotel bisa langsung istirahat”,
Saat itu, setengah berbisik saya menyeletuk
kepada suami,
“saya yakin, Pak Tarno ini,
memiliki kehidupan keluarga yang sangat mendamaikan di rumah”
“kok bisa gitu?”
“sebab saya yang ikut menumpang
bersamanya beberapa jam saja, merasakan damai, tenang dan nyaman, apalagi
isteri dan anak-anaknya”
Ya, kedamaian, ketenangan, sakinah,
sesuatu yang abstrak itu, inshaAllah bisa kita rasakan saat membersamai
seseorang yang hatinya terpaut kepada Allah. Seperti saat membersamai Pak Tarno, masyaalllah nyaman sekali rasanya. Pembawaannya tenang, tidak grasa-grusu, ramah dan sabar. Belakangan, di perjalanan-perjalanan selanjutnya, meski hanya untuk perjalanan seputar Kota Balikpapan, sulit sekali mendapatkan Pak Tarno kembali, sebab setiap kali dihubungi, acap kali Pak Tarno sedang ada penumpang. Jarang sekali Pak Tarno ini sepi pelanggan. Dan, kami tidak pernah lagi berjodoh. Pertemuan pertama yang berkesan itu belum pernah terulang kembali. Juga, menemukan supir yang bergetar hatinya ketika disebut nama Allah seperti Pak Tarno ini, belum pernah saya temukan sebelum atau sesudah pertemuan dengan Pak Tarno. Ini mengingatkan saya pada Firman Allah dalam Q.S Al-Hajj ayat 34-35:
"Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allah hati mereka bergetar..."
Kabar gembira ini diperuntukkan untuk mereka yang terusik hatinya, bergetar, untuk bersegera datang menemui Robb-Nya, ada kerinduan yang menggebu untuk segera bertemu, ada ketidaktenangan saat mengulur waktu, ada keinginan kuat untuk terus menerus dekat, menjaga hubungan dengan erat. Orang-orang jenis seperti ini, adalah mereka yang dirindui surga, sebab kabar gembira itu digambarkan berupa surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai.
Sehingga, dalam perjalanan yang jauh lebih panjang -bukan lagi urusan hanya tiga sampai empat jam saja- dalam sebuah pernikahan, kriteria memilih orang-orang seperti ini mendapatkan porsi yang lebih
utama dibandingkan paras, kekayaan, jabatan, dan juga nasab/keturunan.
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda : “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dalam sebuah buku ‘Karakteristik
Lelaki Saleh’ yang pernah saya baca, bahwa ukuran saleh/salehah itu dapat
diukur dengan menggunakan parameter salat. Dan sebelum lebih jauh melihat
bermacam ukuran dan kriteria sholat, maka batasan nilai minimal yang dapat
dijadikan sebagai pengujian adalah dengan melihat bagaimana salat lima
waktunya. Ringkasnya, saleh atau salehah itu ialah bahwa minimal ia
mengerjakan salat lima waktu. Lebih dari itu, jika kualitas ibadahnya yang lain
baik, pemahaman terhadap agamanya baik, hubungan dengan manusianya baik, maka
itu jauh lebih sempurna, saleh di atas batas minimal, saleh di atas
rata-rata.
Saya pernah mengenal seorang
perempuan yang dicintai dan jatuh cinta kepada lelaki jenis seperti ini, ia
pemuda yang menjaga salat lima waktunya, pemuda cerdas yang saya prediksi
dalam jangka waktu yang lebih cepat dibanding teman-temannya akan segera
menjadi seorang profesor muda yang brilian, humanis, juga berwajah tampan.
Tetapi, dalam suatu waktu saya cukup terkesan dengan perkataan perempuan ini,
“Saya menyukainya, secara duniawi
dia sempurna, tapi suatu waktu saya melihatnya beberapa kali mengabaikan
panggilan azan, mengakhirkan salatnya, dan lebih memilih menyelesaikan urusan
keilmuannya, tugas-tugas eksaktanya, berkutat dengan rumus-rumusnya, karena itu
saya tidak bisa memilihnya menjadi pendamping. Menyukainya, mengaguminya, sudah
lebih dari cukup”.
Lebih lanjut, ia mengatakan,
“Saya butuh seseorang yang
mendahulukan urusan Tuhannya, dibandingkan urusannya. Sebab, kebahagiaan tidak
pernah bergantung pada ketenaran, kecerdasan, ketampanan atau kekayaan orang
yang kita bersamai”
Ia telah memilih, menetapkan
standar yang lebih tinggi di atas standar batas minimal, tetapi yang
menggelitik, adalah bahwa saat itu, ia mengatakan, tidak ingin membawa ‘peer’
dalam rumah tangganya.
“Mungkin saja saya akan membuatnya
lebih sukses di kemudian hari, tetapi saya tidak bisa menjamin, saya bisa mengubah kebiasaannya itu –mendahulukan Allah, red-, terkecuali hidayah itu
benar-benar datang kepadanya, dan saya juga tidak yakin saya mampu menjadi
penyebab datangnya hidayah itu kepadanya”.
Itu definisi ‘peer’ yang ia
maksudkan. Karena pilihannya ialah mencari pendamping saleh di atas minimal,
maka ia pun menetapkannya, sedari awal, sedini mungkin. Saya jadi ingat beberapa kalimat yang seringkali terdengar di telinga saya,
“Bu, bagaimana ya caranya, saya
pengen sekali punya suami yang sabar, yang mau sholat Bu”
"nah, sebelumnya, sebelum menikah, calon suami Ibu salat gak?"
"gak Bu, memang gak salat dia"
Nah, itulah peer yang dibawa si ibu tadi. Ia menginginkan seorang imam yang baik, yang rajin salat, lantas ia memilih seseorang yang sejak awal tidak pernah menjaga salatnya. Entah dengan alasan apapun -kedudukan, paras, harta atau cinta-, maka sepanjang pernikahannya, sang ibu membawa peer ini, dengan terus mengharapkan agar suaminya berubah, berharap atau mungkin juga terlalu percaya diri bahwa ia dapat menjadi pencetus perubahan suaminya. Sementara, setelah menikah, sepasang suami isteri telah banyak disibukkan oleh urusan yang lain. Urusan anak yang kemudian lahir, urusan mendidik anak, mengurus anak, mengurus rumah, mencari nafkah, membangun rumah, dan banyak lagi. Sementara urusan ubah-mengubah ini seterusnya hanya akan tetap menjadi peer yang belum rampung-rampung terselesaikan, tidak ada ketenangan dan kedamaian di dalamnya, kecuali Allah sendiri yang datang menuntun dalam bentuk hidayah.
Atau untuk kasus yang lebih ringan,
"Bu, gimana ya caranya, supaya suami saya gak merokok, saya pengen punya suami yang tidak merokok"
"Sebelum menikah, Ibu tahu, dia merokok apa gak?"
"Merokok Bu, dia perokok berat, satu hari bisa dua bungkus, habis"
Nah, itu sudah tahu. Kenapa tidak dari awal memilih yang tidak merokok? karena urusan mengubah kebiasaan seseorang ini sulit sekali, sulit!. Karena itu, selalu, selalu kriteria pemilihan pertama menekankan pada agama, pada iman dan akhlak. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang lain yang berbunyi,
Dari Ibnu Majah, dari Umar, hadits marfu’, bahwasanya Rasulullah saw pernah berkata: “Janganlah kalian menikahi perempuan karena keelokannya, karena boleh jadi keelokannya itu akan binasa, jangan pula kalian menikahi perempuan karena hartanya, karena boleh jadi hartanya itu akan membuatnya berlaku angkuh/sombong/melampaui batas, tapi nikahilah seorang wanita karena agamanya, dan (ketahuilah) bahwa budak wanita yang hitam legam namun beragama lebih baik.”
Ketahuilah bahwa budak wanita hitam legam namun beragama lebih baik.
Hadits ini berikut hadits sebelumnya menekankan pilihan agama sebagai pilihan yang lebih baik, meskipun ada hal lain yang lebih menarik hati. Bahkan seorang budak wanita hitam legam tetapi beragama masih lebih baik dibanding wanita dengan paras menawan namun tidak beragama. Hadits ini memiliki penekanan terhadap laki-laki yang hendak memilih seorang perempuan, sekaligus juga berlaku untuk sebaliknya.
Untuk urusan perjalanan yang lebih panjang, kita membutuhkan teman perjalanan yang mampu menenangkan, mendamaikan. Kita menginginkan perjalanan yang barokah, membahagiakan. Cinta itu perlu, tetapi dalam perjalanan yang lebih panjang, cinta itu bukan satu-satunya fondasi terkuat dan utama. Cinta, seiring waktu, bisa memudar, atau mungkin hanya tinggal kata-kata yang layak untuk dikenang.
Tetapi, ketenangan, selalu, selalu dapat kita rasakan saat membersamai seseorang yang hatinya dekat dengan Tuhannya.
Karena itu, pilihlah 'seseorang' itu karena agamanya.
Wallohu a'lam bishshowab,
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
10 komentar
setuju sama kalimat terakhir ini Mbak
ReplyDelete"Cinta itu perlu, tetapi dalam perjalanan yang lebih panjang, cinta itu bukan satu-satunya fondasi terkuat dan utama. Cinta, seiring waktu, bisa memudar, atau mungkin hanya tinggal kata-kata yang layak untuk dikenang"
:)
DeleteMasya Allah tulisannya. Inspiratif. Sampai-sampai saya screenshoot, supaya jadi reminder terus..
ReplyDeletealhamdulillah, semoga manfaat ya Mbak, :)
DeleteMak sayaanggg... kece bgt ceritanya, pengingat buat para jomblowati ni mak, Tq tq mak syg :)
ReplyDeletehaih, peluk dari jauh yang lagi jenjalan gratis di Cina,,,,:) pengeeeennnn, mupeng, iri berat sama hadiah ngeblog yang model jalan2 ke luar negeri,,,,
ReplyDeleteSuka banget dengan tulisan nurin yang ni, pembuka fikiran banget, kita jangan. Jadi org yg kepedean dpt mengubah watak atau kebiasaan. Seseorang, kecuali Allah benar2 masuk dan turut campur dlm ikhtiar kita.. (jempol) buat Nurin..
ReplyDeleteKarena urusan ubah mengubah itu di luar kendali ranah kekuatan manusia. :).
DeleteBagus sekali mba tulisannya ^^, menjadi pengingat dan legowo atas pilihan yang sudah ada, kita ga bisa maksai berubah hingga sang Pemilik yang mendatangkan hidayahnya y mba maka jangan pernah mengeluh karena "PEER" yang dibawa y mba
ReplyDeleteNama saya vernesa wilson, dan saya berbasis di USA ... hidup saya kembali !!! Setelah 1 tahun berpisah, suami saya meninggalkan saya dengan dua anak. Saya merasa hidup saya akan berakhir, saya hampir bunuh diri, secara emosi saya turun untuk waktu yang sangat lama. Berkat kru mantra yang disebut Dr odudu yang saya temui secara online. Dalam satu hari yang setia, saat saya browsing melalui internet, saya menemukan banyak kesaksian tentang pemeran kastor ini. Beberapa orang bersaksi bahwa dia membawa kekasih Ex mereka ke belakang, beberapa bersaksi bahwa dia memulihkan rahim, menyembuhkan kanker, dan penyakit lainnya, beberapa memberi kesaksian bahwa dia bisa memberi mantra untuk menghentikan perceraian dan sebagainya. Saya juga menemukan satu kesaksian khusus, ini tentang seorang wanita bernama Sonia, dia memberi kesaksian tentang bagaimana dia mengembalikan kekasih Ex-nya dalam waktu kurang dari 2 hari, dan pada akhir kesaksiannya dia menjatuhkan alamat e-mail Dr. odudu. Setelah membaca semua ini, saya memutuskan untuk mencobanya. Saya menghubungi dia via email dan menjelaskan masalah saya padanya. Hanya dalam 48 jam, suami saya kembali kepada saya. Kami memecahkan masalah kami, dan kami bahkan lebih bahagia dari sebelumnya, Dr odudu benar-benar orang yang berbakat dan saya tidak akan berhenti mempublikasikannya karena dia adalah orang yang hebat ... Jika Anda memiliki masalah dan Anda mencari Caster Charms asli dan asli Untuk memecahkan semua masalah Anda untuk Anda Cobalah Tinggi kapan saja untuk menghubungi dia melalui email, dia mungkin adalah jawaban atas masalah Anda. Inilah kontaknya: odudumaraba@yahoo.com
ReplyDelete