Review
-178- #Andrea Hirata [Ayah]: Kegilaan Sabari Pada Marlena dan Kecintaan Mendalamnya Pada Amiru
Monday, December 28, 2015
Bismillahirrohmanirrohim,
Sudah lama sekali saya tidak membaca
novel. November lalu, di Balikpapan, di ruang tunggu sebuah rumah sakit, sembari
menunggu mobil jemputan datang, sepintas saya melewati sebuah toko buku, tak
ada waktu bagi saya untuk menyusur semua pajangan di rak-rak buku, tetapi mata
saya segera tertuju pada satu buku di jajaran kumpulan novel. Satu buku yang
berdaya magnet sangat kuat, dengan judul yang dengan segera membuat saya jatuh
cinta, juga cover buku yang menawan.
Tidak perlu membaca endorsenya, atau
sekedar melihat sampul belakangnya. Aih! cukup lihat besaran font nama penulisnya yang lebih besar
dari pada font judul bukunya, sudah
tahu kan alasan kenapa saya dengan cepat langsung membayar lunas buku ini di
meja kasir? :)
Dalam
diam riakmu tertawan, katanya pelan.
Amiru tersenyum. Karena bahagia yang tak dapat kau
sembunyikan, balas Amiru.
Sabari menyambung:
Engkaukah
itu sungai?
Yang
berbicara kepadaku
Bersekutu
dengan waktu
Membuatku
malu?
Amiru menyambut:
Aku
adalah sungai
Aku
adalah anak belibis
Aku
adalah awan-awan sisik Januari
Tak
ada, tak ada
Meski
kau tenggelamkan aku di dasarmu
Tak
ada bahagia yang dapat kau sembunyikan dariku
(Ayah: hlm 385)
Sesuai judulnya, novel Ayah ini
mengisahkan kisah hubungan antara Ayah dan anak. Antara Sabari dan Zorro atau
Amiru. Ada banyak memori dan kedekatan setiap anak terhadap ayahnya, begitu
pula yang saya rasakan. Sehingga, novel ini dengan sekali lihat segera membawa
magnet tersendiri yang begitu kuat. Jujur, saya sangat menyukai ilustrasi pada
sampul buku. Pilihan warna dasar serta gradasinya juga sangat pas, menawan
sekaligus elegan. Setelah menamatkan buku ini, saya semakin menyukainya, sebab
tahu ilustrasi pada sampul ternyata sangat mewakili isi cerita. Penggambaran seorang
ayah dan anak dengan hubungan yang hangat, penuh kasih sayang, dan memori masa
kecil yang indah. Pemilihan theme font
pada tulisan Ayah menurut saya sangat cantik, pas, paduan warna kuning langsat
semakin mengesankan sosok ayah yang hangat, sabar dan amat pencinta. Ah mau
bagaimana lagi saya jelaskan, saya jatuh cinta pada novel Ayah ini pada pandang
pertama lantaran sampulnya!. Jadi, selain kepada penulisnya, saya juga ingin
memberikan apresiasi mendalam untuk perancang sampul yang namanya tertulis di
dalam: Andreas Kusumahadi.
Tadinya saya fikir, novel ini akan
seratus persen mengisahkan tentang hubungan seorang ayah yang hangat dan
anaknya. Dengan cerita yang demikian mengharu biru dan menguras air mata. Tapi
ternyata tidak begitu, kisah ini secara garis besar dimonopoli oleh dua kisah
perihal Sabari sang tokoh utama. Tentang kegilaannya pada Marlena, cinta
pertamanya, belahan jiwanya, segala-galanya. Dan tentang Sabari dan Amiru, anak
tirinya, anak kandung dari Marlena.
Sabari mulai mengenal Marlena saat
mengikuti ujian seleksi masuk SMA selama tiga hari yang bertempat di Markas
Pertemuan Buruh (MPB).
“Sabari menerima pensil dengan tangan yang
dirasakannya tak lagi merupakan bagian dari tubuhnya. Dia tertegun karena tak
pernah melihat mata manusia seindah mata anak perempuan itu. Begitu indah,
teduh tetapi berkilau, bak purnama kedua belas”
“Usai ujian itu, sepanjang sore dan
malam, Sabari terus menggenggam pensil pemberian anak perempuan yang tak
dikenalinya itu. Tak pernah sedetik pun melepaskannya. Keesokannya dia
terbangun, pensil itu masih berada di dalam genggamannya”. (Ayah, hlm 13).
Begitulah kisah Sabari dan Marlena
dimulai. Hampir persis mirip dengan novel Andrea Hirata yang pernah saya baca
sebelumnya, kisah cinta Sabari adalah kisah cinta yang mengenaskan, cinta
seorang lelaki yang tak kesampaian, bertepuk sebelah tangan. Majenun! Begitu selalu makian Marlena
pada Sabari. Tidak pernah sekalipun Marlena menerima Sabari, tidak juga meski
hanya sebagai kawan. Sementara Sabari, sesuai namanya, dengan sabar berusaha
meluluhkan dan memenangkan hati Marlena, meski penolakan datang berkali-kali.
Sabari adalah tipe lelaki yang hanya bisa terobsesi pada satu wanita, yang
pertama kali ia cintai.
“Jiwamu sudah dikecoh cinta. Waspada,
Ri, bisa-bisa kau kena gangguan jiwa, masuk Panti Amanah pimpinan Doktoranda
Ida Nuraini!”. Sabari pucat. Itulah yang paling ditakutkannya.
“Mau?!”
“Tidak mau, Kun,”
“Maka, perbaiki dirimu! Lihatlah, Lena
telah membuatmu opsedon!”. Barangkali maksudnya up side down, jungkir balik.
---
“Mulai sekarang hapus nama perempuan
itu!” Sabari ragu, Ukun geram.
“Hapus nama perempuan itu!” Ukun tak
main-main.
“Akan kuhapus Kun.”
“Tekadkan niatmu!”
“Aku bertekad, Kun.”
“Janji?”
“Janji, Kun,”
Sabari tampak muak kepada dirinya
sendiri, wajahnya penuh tekad. Dia ingin menyudahi dominasi Marlena dalam
hidupnya.
“Buang puisi-puisi konyol itu!”
“Akan kubuang!”
“Hancurkan fotonya!”
“Akan kubumi hanguskan!”
“Jangan biarkan seorang perempuan
membuatmu terlena!”
Sabari terpaku. “Apa katamu? Marlena…?”
(Ayah, hlm 121).
Selain kisah cinta Sabari, ada begitu
banyak tokoh dan cerita lain yang disisipkan di dalam novel ini. Salah satunya
adalah kisah persahabatan antara Sabari, Ukun, Tamat dan Toharun. Ada juga
Izmi, Zuraida teman sekelas Marlena sekaligus kawan baiknya. Ada banyak tokoh
sampingan di sini, beberapa diceritakan secara detail, ada yang dikhususkan
satu bab tersendiri, yang mana nama-nama mereka tidak hanya sebagai pampangan
figuran saja, tetapi masuk menjadi bagian cerita inti. Untuk saya, novel ini
terlalu banyak tokoh!. Dan dengan alur maju-mundur berulang, membuat saya agak kerepotan
lantaran daya ingat saya terhadap nama-nama orang agak payah. Saya seringkali
kerepotan harus membolak-balik halaman hanya karena ingin tahu, ini tadi siapa
ya? Dia sebagai apa? Kenapa namanya muncul lagi? karena itu tepat pada halaman
128 saya berhenti, dan saya putuskan untuk membaca ulang lagi dari depan. Agak
merepotkan, dan akhirnya saya pun tahu setidaknya ada 20 (bisa jadi lebih) yang
saya catat sebagai tokoh pemeran pembantu di cerita ini, yang kisahnya
meloncat-loncat dari halaman depan hingga ke belakang, yang kesemuanya bersangkut
paut dengan Sabari, Marlena dan Zorro, fiuh..
Selain kisah persahabatan, juga ada kisah
antara ayah dan anak yang lain, seperti kisah Sabari dan Insyafi ayahnya,
seorang pensiunan guru SD, guru Bahasa Indonesia, penyuka puisi. Insyafi
terkena stroke, saban sore, jika ada
waktu, Sabari mendorong kursi roda ayahnya, mengajaknya jalan-jalan. Dari
Insyafi lah kemudian Sabari belajar dan menjadi penyuka puisi.
“Tak ada lagi yang perlu diceritakan.
Sabari telah diajari ayahnya untuk membaca tanda-tanda, sebagai bagian dari
istimewanya puisi, bahwa apa yang diceritakan mata lebih terang daripada apa
yang diucapkan mulut. Ayahnya menatap angkasa lalu berkata:
Waktu
dikejar
Waktu
menunggu
Waktu
berlari
Waktu
bersembunyi
Biarkan
aku mencintaimu
Dan
biarkan waktu menguji
(Ayah, hlm 64)
Ada pula kisah Markoni (ayah Marlena)
dan ayahnya, Tuan Razak, dan sudah barang tentu, kisah Marlena sendiri dengan
ayahnya, Markoni.
Entah mengapa, saya merasa cerita “Ayah”
ini berjalan sangat lambat, ekspektasi saya tentang ilustrasi di sampul depan
tak kunjung saya dapatkan, mungkin karena terlalu banyak bumbu, terlalu banyak
tokoh yang dikisahkan, atau mungkin penulisnya menginginkan demikian. Inti sari
cerita di novel ini baru saya dapatkan setelah saya membaca hampir setengah
buku, itupun masih berkutat soal cerita cinta Sabari dan Marlena!.
“Si sulung angin mengarak si bungsu awan
ke timur. Awan mengambang dan mengintip ke
dapur rumah Markoni melalui terali jendela. Awan takjub melihat seorang lelaki
yang mencintai perempuan di seberang meja itu lebih baik dari apa pun di dunia
ini, sedangkan perempuan itu membenci lelaki itu, lebih dari apa pun di dunia
ini, dan mereka akan segera menikah. Cinta sungguh, sungguh ajaib.” (Ayah, hlm
170).
Sabari dan Marlena akhirnya menikah.
“Dan Lena, karena satu dan lain hal yang
kurang sopan dibahas di dalam novel, bingung menetapkan keputusan. Ditanyai
Markoni, dia disorientasi. Semuanya gampang diduga, yaitu diperlukan seseorang
untuk menyelamatkan situasi.”, (Ayah, hlm 167).
Satu hal yang saya garis bawahi di
halaman 167 ini ialah tidak perlu menceritakan cerita fantasi yang kotor untuk
menggambarkan suatu perbuatan kotor. Cukup hanya dengan “karena satu dan lain hal yang kurang sopan dibahas di dalam novel”,
pesannya dapat tersampaikan dengan jelas, dan sama sekali tidak mengganggu.
Jika akhirnya Sabari dapat menikahi
Marlena, sesungguhnya itu bukanlah karena Sabari yang akhirnya memenangkan hati
Marlena. Rumah tangga keduanya sangat unik, sebab tak juga hati Marlena jatuh
pada Sabari.
“Sayangnya perasaan Lena berbeda dengan
Sabari. Dia segera kembali ke hobi lamanya. Mulanya dia pergi sebentar, lalu
pergi lama, lalu menginap, lalu tak pulang-pulang. Untuk membuat cerita panjang
menjadi pendek. Dia tak bahagia. Jiwanya terlalu rebellious, penuh pemberontakan, untuk terikat kepada seorang suami
dan anak. Apalagi, suami itu tak pernah diinginkannya. Baginya, tak ada hal
yang lebih mengerikan di dunia ini selain terjebak dalam pernikahan yang tak
bahagia.” (Ayah, hlm 182).
Tetapi kemudian, Sabari menemukan
pengganti Lena. Dia memang selalu merindui Lena, tetapi Zorro telah menjadi
pengganti Lena, dengan kegembiraan yang berlipat-lipat.
“Betapa Sabari menyayangi Zorro. Ingin
dia memeluknya sepanjang waktu. Dia terpesona melihat makhluk kecil yang sangat
indah dan seluruh kebaikan yang terpancar darinya. Diciuminya anak itu dari
kepala sampai ke jari jemari kakinya yang mungil. Kalau malam, Sabari susah
tidur lantaran membayangkan bermacam rencana yang akan dia lalui dengan anaknya
jika besar nanti. Dia ingin mengajaknya melihat pawai 17 Agustus, mengunjungi
pasar malam, membelikannya mainan, menggandengnya ke masjid, mengajarinya
berpuasa dan mengaji, dan memboncengkannya naik sepeda saban sore ke taman
balai kota”. (Ayah, hlm 183).
Begitu dalam rasa cinta Sabari kepada Zorro,
hingga akhirnya perpisahannya dengan Zorro membuat Sabari hampir benar-benar Majenun. Majenun berkali-kali lipat dari pada kemajenunannya kepada Marlena.
“Dari Amiru, aku belajar bahwa tak semua
orang mendapat berkah untuk mengabdi kepada orangtua. Karena Amiru, ke mana pun
aku merantau, setiap ada kesempatan, sesingkat apa pun, aku pulang untuk
melihat ayah ibuku.” (Ayah, hlm 393). Begitu ucap Andrea Hirata pada bab
terakhir novelnya. Andrea membuka novel ini dengan tulisan “Seperti dikisahkan
Amiru kepadaku”, dan kemudian menutup novel ini kembali dengan percakapannya
dengan Amiru. Sehingga jelas benar menguatkan bahwa cerita di dalam novel ini
adalah cerita milik Amiru.
Ini untuk pertama kalinya, saya tidak hanya membaca novel untuk menikmati, tetapi saya membacanya untuk mempelajari, untuk belajar, untuk memperkaya pengetahuan. Saya banyak belajar dari novel ‘Ayah’ ini, selain hampir tidak ada typo (mungkin memang tidak ada, sebab saya tidak melihat secara detail keseluruhannya), penulisan aksara yang mengikuti kaidah EYD dengan sempurna sehingga enak dibaca, banyak kosa kata baru yang saya dapatkan. Juga, bagaimana cara Andrea Hirata mengemas cerita. Cerdas, kaya, berbobot dan saya tahu tulisan ini pasti memusingkannya dengan riset yang benar-benar matang. Pilihan latar Belitong sepertinya sudah menjadi ciri khas dari seorang Andrea Hirata. Di buku ini, bahkan Andrea secara terang-terangan mengajak pembaca untuk mencintai bahasa Indonesia. Ini dikisahkan saat Ukun dan Tamat bepergian mengelilingi Pulau Sumatera dengan membawa-bawa Kamus Besar Bahasa Indonesia.
“Cukup dengan berbahasa Indonesia secara
baik dan baku, kau akan terbebas dari sikap tidak sopan, akan lancar berbicara
dengan orang dari daerah manapun!”
“Maksud Ibu?”
“Misalnya, kau mau duduk di depan
orang-orang lain, dalam bahasa Belitong, ringkas saja, kuang ke aku dudok de sinek? Dalam Bahasa Indonesia, dapatlah kau
katakan, ‘Bapak atau Ibu, berkenankah seandainya saya duduk di sini?’ Hmmm,
elok bukan?”
“Elok nian, Bu.”
“Jangan sungkan berpantun, berpepatah.
Pantun adalah madu bahasa, pepatah adalah harta bahasa. Pakailah kata-kata
seperti wahai, kiranya, seandainya,
bilamana, manakala, sudikah, berkenankah, sediakala, gerangan, semua itu
perbendaharaan bahasa Indonesia yang megah dan bermutu tinggi. Kata-kata itu
mencerminkan kualitas watak orang yang mengucapkannya!”, (Ayah, hlm 296).
Selain itu, novel ini bertabur puisi,
kaya akan kalimat-kalimat sederhana namun sarat makna. Meski bagi saya, terlalu
banyak hal yang ingin disampaikan oleh novel ini, entah mana yang ingin
difokuskan, cerita Sabari yang menggilai Marlena, cerita persahabatan Ukun,
Tamat dan Sabari, cerita perjalanan Marlena mencari filosofi hidup, atau cerita
beberapa ‘Ayah’ dan anak. Sejak awal, saya berharap, cerita di dalam novel
‘Ayah’ mengerucut saja pada cerita ‘Sabari dan Amiru’, dari awal hingga akhir. Mungkin saja Andrea memiliki sudut pandang yang berbeda dengan menghadirkan dan
mengisahkan sosok ayah dan anak berikut hubungan mereka yang beraneka rupa.
Tetapi, bagi saya, ceritanya jadi melebar, sehingga ada bagian cerita yang
menurut saya jika tidak dimasukkan pun tidak akan memengaruhi keseluruhan
cerita. Meski terlihat kebetulan berhubungan, kisah seorang Ayah bernama Neil
kemudian agak terasa janggal, dan terlihat dipaksakan untuk bertemu dengan
kisah Sabari.
Beberapa halaman juga saya lompati untuk
saya baca, diantaranya karena terdapat kalimat-kalimat pengulangan, juga
kalimat yang terkesan berlebihan seperti misalnya ucapan terimakasih Sabari
(halaman 101-102) yang hampir memenuhi dua halaman, atau seperti penjelasan
sesuatu yang bertele-tele hingga satu halaman seperti yang ada di halaman 289. Selain harus dibingungkan dan sedikit bosan di awal, saya baru menemukan ritme alur cerita dan baru benar-benar mengerti apa yang hendak disampaikan oleh novel ini di bab-bab akhir dari novelnya. Berikutnya, saya masih saja terusik oleh
pencitraan tokoh yang digambarkan oleh Andrea Hirata seperti pada novel-novel terdahulunya yang menurut saya (lagi-lagi)
ditokohkan sebagai lelaki yang terlampau terobsesi pada satu wanita, cinta yang
tak terbalas, cinta bertepuk sebelah tangan, lalu menggila (dalam artian
sebenarnya). Jatuh cinta itu sakit, patah hati jauh lebih sakit, tapi kita
tidak harus menggila karenanya.
Kulalui
sungai yang berliku
Jalan
panjang sejauh pandang
Debur
ombak yang menerjang
Kukejar
bayangan sayap elang
Di
situlah kutemukan jejak-jejak untuk pulang
Ayahku,
kini aku telah datang
Ayahku,
lihatlah, aku sudah pulang
(Ayah, hlm 384)
Judul
Novel : Ayah
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Jumlah Halaman : 412 halaman
Cetakan keempat, Juni 2015
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Jumlah Halaman : 412 halaman
Cetakan keempat, Juni 2015
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
10 komentar
Jadi ingat Ayah punya saya. Masih di segel. Heuheun.. Belum dibaca. Hiks
ReplyDeleteHayuk Mbak dibaca...:)
DeleteAku belum baca ini, padahal dah masuk list belanja. Secepatnya mudah2an
ReplyDeleteIya Mbak,saya malah baru tahu ada novel Andrea yang ini, gak sengaja banget nemunya...
DeletePenasaran sama bukunya Andrea yang "Ayah" ini,mudah-mudahan bisa segera saya miliki, amin..
ReplyDeleteAmiin...
DeleteBelum bacaaaa...
ReplyDeleteBest seller ini yah. Keren. Mudah2an bisa baca secepatnya
Belum ada segel best sellernya Mbak..
DeleteBelum ada segel best sellernya Mbak..
DeleteBaca buku ini ketawa iya sedih juga iya sampe bener2 aku menghayati banget ceritanya mba *bukan lebay* tapi memang gaya bahasanya yang begitu enak dibaca ^^ favorit ni mba
ReplyDelete