Bismillahirrohmanirrohim,
Beberapa waktu yang lalu, setelah sekian lama, -mungkin
setahun atau dua tahun tidak lagi berhubungan- sahabat lama saya menelpon. Saya
mulai mengenalnya sejak kira-kira pertengahan tahun 2004, selepas SMA atau
sebelum itu ya, saya agak lupa. Yang pasti, sudah lama sekali jika dihitung
mundur dari tahun 2015. Uniknya, saat saya mengenalnya, waktu itu saya bertemu
di Samarinda, sebagai lulusan SMA yang masih luntang-lantung berusaha mengejar
mimpi sebagai anak kuliahan, dia adalah seorang mahasiswi semester awal. Dan,
kini saat ia menelpon saya, statusnya juga masih sama. Mahasiswi!. Bukan..
bukan karena ia mahasiswi abadi, yang kuliahnya gak kelar-kelar, kali ini ia
sedang menyelesaikan studi doktoralnya. Subhanallah, keren, salut dan bangga
tentunya. Waktu di telepon, sahabat saya itu sedang semangat-semangatnya
bercerita tentang mimpi terdekatnya, membangun sebuah universitas, saya
langsung nyeletuk, "gratisan gak masuk di situ?", "enak aja lu
maunya gratisan mulu..", jawabnya.. “makin banyak amal kan makin bagus..”,
canda saya. “Iya, ada rencana jangka panjang untuk meringankan yatim piatu”.
Subhanallah…
Paling nikmat memang, kalau yang diobrolin tentang yang
indah-indah di masa depan. Tentang rencana sekolah, impian pernikahan dan mimpi-mimpi
menakjubkan lainnya. Apalagi, jikalau kita turut menyaksikan perubahan
kesuksesan seseorang from zero to hero. Luar biasa!. Itu
juga yang membuat saya selalu betah bersahabat dengan para pemimpi. Bersahabat
dengan mereka, seperti menambah energi baru untuk hidup setiap waktunya, hidup
jadi lebih bergairah dan bersemangat. Saya juga baru akhir-akhir ini
menyadarinya, bahwa semenyebalkan bagaimanapun bentuk persahabatan saya dengan
si tipe pemimpi ini, selalu ada ikatan yang membuat kami tetap dekat, dan
membuat rasa persahabatan itu seperti berbeda dengan tipe sahabat yang lain,
rasanya lebih berkesan.
Saya pernah punya sahabat semacam ini semasa kuliah, sebut
saja namanya Raisa. kami pernah bertengkar sampai-sampai ia pernah menginap di
tempat lain dan tidak kembali ke kosan selama lebih dari satu malam. Kami juga
sering beradu pendapat, berdebat tidak jelas tentang hal yang kalau saya
fikirkan sekarang, itu bukanlah hal prinsipil yang seharusnya didebatkan. Tapi
untuknya, kenangan saya selalu terpaut pada malam-malam sebelum tidur (saat
kami sedang akur) saat kami mulai berbicara tentang mimpi. Dia seorang pemimpi
yang gila!, begitu juga saya. Dimanapun jika ada kesempatan, kami selalu
membicarakan tentang hal-hal di masa depan yang kelihatannya saat itu
imposibble, omong kosong, atau seperti yang pernah dia teriakkan, “gila lu,
mana ada yang seperti itu, semua itu harus dari bawah lah..”, waktu itu saya
punya mimpi, saya gak mau jadi penulis yang ngoyo, nulis di sana, nulis di
sini, lempar tulisan ke penerbit ini, lempar tulisan ke penerbit itu, saya
pikir itu akan begitu repot dan menguras energi, sementara saya ingin energi
saya terkuras untuk cita-cita besar saya yang lain. Saya ingin menulis apa yang
ingin saya tulis, tanpa tekanan, santai tapi bermakna, punya manfaat. Jadi,
waktu itu saya bermimpi suatu ketika saya pasti akan punya buku yang fenomenal,
bermanfaat untuk banyak orang, yang akan dicari, awet dikenang puluhan tahun
generasi, tapi bukan karena memang saya penulis yang sudah dikenal, dadakan
saja gitu, tiba-tiba, tanpa angin tanpa hujan,, haha...
Untuknya, yang saya
kenang adalah saat kami bermimpi mengunjungi semua museum di Jakarta, lalu kami
benar-benar datang ke perpustakaan berhari-hari untuk mencatat nama-nama museum
(waktu itu kami mahasiswi kere, warnet juga lumayan jauh). Jadi, atas nama
kekerean, ups penghematan, datanglah kami ke perpustakaan, dan ternyata mencari
nama-nama museum di perpustakaan yang isinya penuh buku statistika itu lumayan
capek dan ribet. Tapi waktu itu, rasanya asyik-asyik saja dan semangat. Dan,
setelah sudah dapat nama-nama museum plus alamatnya, apakah yang terjadi? Tak
satupun museum yang kami datangi. Haha… itu karena kesibukan masing-masing dan
jadwal kuliah yang tidak sama. Tapi semua itu terbayarkan dengan realisasi
mimpi jalan-jalan ke Bogor dan Bandung, itu terjadi begitu saja, sepulang ujian
mid semester, tanpa direncana. Iya sih, mimpinya memang sudah dibicarakan
berhari-hari, tapi karena khawatir mimpi tidak terealisasi gara-gara terlalu
memperhitungkan waktu, akhirnya waktu itu deal-dealannya, yuk jalan yuk,, kalau
gak kapan lagi? Mumpung bisa rame-rame. Susah nih nentuin waktu… tanpa pikir
panjang, pulang dari kampus, ganti baju, bawa pakaian secukupnya, uang
seadanya, langsung berangkat. Wuih, waktu itu rasanya senang tak terkira.
Boro-boro mau ke Bandung, keliling Jakarta saja belum pernah. Exited bangetlah
pokoknya. Untuk ukuran mahasiswi seperti saya yang biasa hidup pas-pasan, bisa
pergi jauh ke tempat yang diimpikan, luar biasa sekali. Ah ya, kami juga membawa
bekal roti dan minum dari rumah, supaya saat bis berhenti di rumah makan, kami
bisa tetap makan tanpa perlu keluar uang (teteup ya…). Sepanjang perjalanan,
yang kami bicarakan adalah tempat-tempat apa saja yang mau dikunjungi, mencatat
nama-nama jalan yang dilewati dan lagi-lagi memperbanyak mimpi (pokoknya mimpi
dulu lah). Masalah realisasi urusan
belakangan. Sampai saat bus berjalan, kami (waktu itu berangkat bertiga) sama
sekali belum punya rencana apapun
tentang penginapan. Yang pasti, tidak ada rencana untuk menginap di hotel. Dana
yang ada dicukup-cukupkan untuk biaya perjalanan dan makan. Jalan terpendek
yang terfikirkan adalah, menginap di masjid. Masjid Darut Tauhid, itu adalah
masjid pilihan kami. Alasannya, simple, Darut Tauhid menjadi destinasi wisata
religi yang sedang naik daun saat itu, di sana juga disediakan penginapan, kami
berencana mencari tahu biaya penginapan di sana (tapi sepertinya uang kami
memang tidak cukup), jadi rencananya kami akan keliling DT, mengikuti serangkaian
kegiatan di sana, kemudian malamnya ikut menginap di masjid, karena perkiraan
kami, di masjid DT pasti ada kegiatan Qiyamul Lail bersama, jadi itu bisa
menjadi alasan yang cukup untuk menginap. Pagi sampai sore hari berikutnya kami
bisa keliling Bandung, malamnya kembali lagi ke DT. Itu rencananya. Di dalam
bus, Raisa punya rencana kedua. Daripada nyasar dan tak punya tempat
tujuan yang pasti, ia menghubungi teman SMAnya yang kebetulan sedang kuliah di
Bandung. Paling tidak, kalau ada teman di sana, ada tempat bertanya, mau naik
kendaraan apa, arahnya ke mana pasti tidak akan bingung.
Voila, Jakarta-Bandung macet total, bus yang kami tumpangi
membutuhkan waktu lima jam lebih untuk akhirnya sampai di tempat pemberhentian yang
di beritahukan oleh teman Raisa. Hari itu, setelah mendengar rencana aneh kami
yang akan menginap di DT. Teman Raisa hanya tertegun cukup lama sembari mengernyitkan dahi. “Beneran yakin masjidu nginap di sana? Mau ke sana sekarang?
Geger Kalong itu jauh dari kota lho? Bakalan repot kalau nginapnya di sana..
sementara tempat-tempat yang ingin kalian kunjungi semuanya di sekitaran kota.”,
waktu itu kami juga agak kurang yakin, tapi tiga orang yang menumpang di kosan
teman agaknya juga bukanlah ide yang baik. Waktu itu belum bilang ke teman
Raisa sih kalau kami mau nginapnya di masjid, tengsin lah ya.. haha. Baiklah, karena
kami sampai di Bandung menjelang senja, kami
menuruti ajakan Raisa untuk menginap di kosannya. Ia juga berjanji besok akan
mengantar kami ke Darut Tauhid. Esoknya, setelah puas berwisata di DT, dan
setelah melihat kondisi di sana, dan tentunya jarak tempuh dari DT ke kota,
kamipun akhirnya memutuskan untuk menyetujui tawaran teman Raisa menginap di
kosannya sampai kami selesai berkeliling Bandung. Bisa
dikatakan kosan teman Raisa ini kosan borju, 360 derajat dibandingkan kos-kosan kami sendiri.
Lumayan, kosan rasa hotel. Kos dengan fasilitas lengkap, spring bed, kamar
mandi dalam, ac, disediakan makan, bisa mencuci pakai mesin cuci. Dan, itu
semua fasilitas itu kami dapatkan gratis selama beberapa hari di sana. Mimpi
yang sempurna!. Kami sangat terbantu oleh teman Raisa, sehingga pada akhirnya
kami bisa pulang dengan naik kereta eksekutif. Alhamdulillah…
Bisa mewujudkan mimpi bersama seseorang yang dekat dengan
kita, itu menjadi kesempatan luar biasa yang Allah berikan, dan itu sangat
berkesan. Banyak mimpi yang dulu saya dan Raisa perbincangkan setiap malam,
atau di setiap kesempatan jika bisa. Suatu waktu, saking semangatnya, di suatu
pagi kami pernah memperbincangkan sesuatu, dari sejak bangun tidur sampai
hendak berangkat menuju kampus, saking semangatnya, sesampainya di pintu
gerbang kampus, Raisa baru sadar ada yang aneh pada kakinya. Olala!, ternyata
kaki kanannya memakai sepatu hak, sementara kaki kirinya dengan sangat cantik
menggunakan sandal jepit!, dan kami berdua sama sekali tidak menyadari itu.
haha. Mimpi-mimpi yang lain tentang ide bisnis, ide membuat film dokumenter,
kami bahkan sudah merencanakan jalan ceritanya, di mana lokasinya, dan banyak
lagi sampai tak terhitung. Diantara semua itu, tidak semua memang terwujud. Tapi
waktu itu rasanya masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa itu semua adalah
kegagalan. Waktu itu, saya sedang diberi kesempatan Allah untuk belajar
bermimpi. Salah bermimpi, ya ganti dengan mimpi yang lain. Semacam belajar
untuk berani bermimpi. Mimpi dululah, urusan terwujud atau tidak, itu urusan
belakangan.
Di tahun ketiga kuliah, hubungan kami mulai berjarak. Selain
kesibukan, itu juga karena masing-masing kami memutuskan untuk pindah kosan. Saya
memutuskan untuk mencari kos, sedang Raisa memutuskan untuk tinggal di rumah kontrakan
bersama teman-teman yang lain. Hubungan menjadi semakin parah di permulaan
tahun keempat, Raisa berubah. 180 derajat, sangat fantastis, saya seperti tidak
pernah mengenalnya. Saya tidak bisa menggambarkan, apakah itu karena perubahan
pemikirannya, atau kadar keimanan, di mana pada usia-usia muda kami saat itu,
iman masih seperti gelas setengah isi setengah kosong. Raisa menjadi sangat
pendiam, penampilannya berubah, pergaulannya juga berubah. Kami sempat tidak bertegur sapa lama sekali,
meski sesekali bertemu di kampus. Saya merasa ia menjauh. Sampai kemudian di
suatu hari, saat sedang berpapasan, ia menyapa saya dengan senyuman yang sangat
hangat, dan menyentuh. Pertemuan itu saya abadikan dalam sebuah puisi yang saya
buat khusus untuknya, meski tidak pernah saya sampaikan. Sampai akhir
kelulusan, persahabatan kemudian menjadi biasa saja. Dan setelah beberapa tahun
kemudian, Raisa sempat menghubungi saya, kemudian saya beranikan diri untuk
bertanya padanya. Tentang kejadian di tahun ketiga itu, apakah yang sebenarnya
terjadi? Lalu Raisa menjawab, “entahlah, mungkin waktu itu aku merasa
terguncang, menghadapi masalahku, sementara aku merasa, tidak ada siapa-siapa,
aku sendiri”. Rasanya batin saya agak terguncang, iya, kemana kami semua waktu
itu, sementara Raisa menghadapi semua tekanan pihak kampus sendirian. “Kenapa
diam saja? Kenapa tidak cerita?”, “aku juga gak tahu, harus gimana, gimana mau
ceritanya, aku juga bingung”.
Begitulah, kenangan pada salah satu sahabat saya yang
berkesan hingga saat ini. Setelah menikah, frekuensi ketergantungan saya
terhadap sahabat-sahabat saya tentu jauh berkurang. Saya tidak begitu
membutuhkan tempat curhat atau berbagi mimpi di luar, sebab saya sudah
memilikinya di rumah, dengan hubungan yang jauh lebih dekat daripada sahabat. Tetapi,
sesekali tentu saja, saya masih bersahabat, berhubungan dengan sahabat-sahabat
lama atau menjalin persahabatan baru. Sahabat datang silih berganti, ada yang
datang cukup saat ia sedang mengalami musibah dan masalah. Ada beberapa yang
dekat dengan saya, saat ia sedang terpuruk, belum bertemu jodoh, gagal menikah,
masalah rumah tangga, masalah pekerjaan, pertengkaran dan banyak lagi. Kemudian
tiba-tiba menghilang dan tidak pernah memberi kabar saat masalah sudah
terselesaikan. Sudah bahagia berkeluarga, bahagia bersama suami dan anak-anak,
bahagia dengan pekerjaannya dan banyak lagi. Jikapun saya menghubungi lebih
dulu, jawaban sapaan hanya sekedarnya saja, “ya, baik, kamu apa kabar?”, titik.
Sudah. Seolah tidak ada lagi topik pembicaraan lain. Jadi, biasanya saya
memutuskan untuk tidak menghubungi lagi. Saya sudah cukup bahagia, paling
tidak, ia saat ini sedang dalam keadaan bahagia, tidak terkena masalah yang
rumit lagi. Saya jadi ingat bunyi petikan ayat di dalam Al-Quran yang artinya:
manusia itu bersifat keluh kesah saat susah, tetapi kemudian menjadi kikir saat
lapang. Jadi, tipe sahabat seperti ini, dia akan datang saat susah kemudian
saat senang tak hendak berbagi. Tidak salah memang, hanya saja, nilai
persahabatan seperti ini, bagi saya, masih kalah jauh berkesan dengan
sahabat-sahabat saya yang masih bersedia berbagi kebahagiaan, berbagi mimpi
bersama saya. Seperti yang saya katakan, itu seperti memberikan dorongan energi
dan semangat untuk semakin mensyukuri kehidupan. Karena itu, saya hendak
berterimakasih kepada mereka. Kepada Raisa dan sahabat-sahabat saya yang lain
yang mungkin belum bisa dituliskan satu-satu di sini. Terimakasih pada Allah
yang telah mengijinkan pertemuan itu terjadi. Dan semoga kita semua senantiasa
berada dalam penjagaan-Nya. Amin.. :)
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
0 komentar