Bismillahirrohmanirrohim,,
Suatu sore, menjelang maghrib, di luar rumah ramai sekali, orang-orang berteriak, saya kira ada kejadian heboh seperti kebakaran, kemalingan atau hal lain apa, rupanya sedang ada adu mulut hebat antar tetangga. Kejadiannya persis pukul enam sore, saat saya masih sibuk mengambil jemuran di belakang. Mulanya, tidak begitu saya hiraukan, tetapi melihat gelagat yang tidak baik, di mana salah satu pihak mulai membawa tombak panjang, dan mulai membawa-bawa suku, saya segera meminta anak-anak yang sedang heboh bermain di teras untuk segera pulang ke rumah masing-masing. Saya agak sedikit ngeri kalau sudah ada kejadian yang mulai seret-menyeret suku. Tapi di sini, sepertinya hal itu lumrah, biasa. Saya sudah pernah merasakan kejadian horor terkait itu. Waktu itu, kejadiannya ya mirip-mirip seperti ini. Pertikaian masalah pribadi antara dua orang, entah bagaimana rupanya, lalu merembet ke pertikaian antar suku. Mau salah atau tidak, kalau kebetulan kita satu suku dengan salah satu dari yang bertikai, tamatlah kita. Mungkin sekitar dua atau tiga tahun lalu, waktu itu mendadak ibu kota jadi sepi, sesepi-sepinya. Toko-toko banyak yang tutup, di jalanan saya beberapa kali melihat rombongan-rombongan truk membawa tombak dan sejenisnya, dan beberapa truk-truk polisi serta tentara pengaman. Di beberapa tempat strategis seperti pelabuhan atau tempat umum lainnya bisa jadi lebih mengerikan, karena biasanya para suku yang bertikai akan melakukan 'sweeping' dengan bertanya-tanya kita suku apa. Bersyukur, waktu itu kejadiannya tidak semakin parah, tidak seperti di kota yang bersebelahan dengan tempat tinggal saya (waktu itu beritanya ramai di televisi), pertikaiannya meluas dan membesar, hingga menelan korban.
Tetapi, kejadian
kemarin, beruntung tidak sampai merembet ke pertikaian yang lebih luas. Usut
punya usut, ternyata inti permasalahannya adalah hutang-piutang. Jadi, intinya
seperti ini, si A punya hutang kepada si B. Menurut si A hutangnya belum jatuh
tempo, tapi B sudah menagihnya. A marah dan tersinggung, merasa tidak
dipercayai bahwa hutang akan dibayar, sementara menurut B, A tidak juga
membayar. Kira-kira begitu gambarannya.
Berhutang, entah itu
dalam bentuk pinjaman uang ataupun barang, sudah lumrah terjadi pada realita
kehidupan sosial kita. Meminjamkan sesuatu terhadap orang lain yang membutuhkan
juga menjadi sebuah keutamaan yang diperbolehkan dalam islam, sebagaimana
diriwayatkan dalam sebuah hadits shohih dikatakan:
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda, "Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan di antara sekian banyak kesusahan dunia dari seorang muslim, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan dari sekian banyak kesusahan hari kiamat; barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang didera kesulitan, niscaya Allah memberi kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut selalu menolong saudaranya." (Shahih: Mukhtasar Muslim no:1888, Muslim IV: 2074 no: 2699, Tirmizi IV: 265 no:4015, 'Aunul Ma'bud XIII: 289 no: 4925).
Keutamaan yang besar
bagi siapa saja yang menghilangkan satu kesusahan yang dialami oleh saudaranya.
Perbuatan baik ini bahkan telah menjadi tradisi dalam bagian kehidupan
masyarakat kita. Menjenguk orang sakit, takziah, bahu-membahu menolong orang
yang sedang ditimpa musibah, mengumpulkan sumbangan, dan banyak lagi. Diantara
sekian banyak itu, memberikan pinjaman atau hutang adalah salah satunya.
Dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi bersabda, “Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada orang muslim yang lain dua kali, melainkan pinjaman itu (berkedudukan) seperti shodaqoh sekali.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no:1389 dan Ibnu Majah II: 812 no: 2430).
Saya punya beberapa
pengalaman –mungkin juga pernah dialami oleh yang lain- tentang perkara hutang
ini, terutama yang berkaitan dengan teman, saudara dan tetangga. Suatu ketika,
seorang teman mendadak menghubungi saya, rupanya ia sedang membutuhkan pinjaman
uang untuk beli beras, saya mempercayainya karena ia adalah teman saya, saya
mengenalnya dengan cukup baik. Selain itu, pinjamnya juga tidak banyak, seratus
ribu, katanya hanya untuk membeli beras bulan ini, sebab gajinya dari mengajar
belum cair, dan suaminya yang bekerja sebagai tukang belum mendapatkan order
pekerjaan. Satu bulan, dua bulan, sampai berbulan-bulan berlalu, uang tidak
pernah kembali, janji tinggallah janji. Mendadak, saya jadi jarang bertemu
dengannya –atau memang ia yang mulai tidak aktif di beberapa pertemuan di mana
seharusnya kami terlibat bersama-, salah saya, saya tidak pernah menagih dan
bertanya langsung, pertama, karena tidak enak menagih teman sendiri, kedua,
khawatir teman saya tersinggung kalau saya menagih karena jumlah uangnya yang
tidak seberapa besar. Ketiga, saya selalu berharap teman saya itu sadar dengan
sendirinya. Dan ternyata, keempat, sampai berganti tahunpun teman saya itu
tidak pernah sadar –atau sengaja pura-pura lupa-, dan kesimpulannya, kelima,
akhirnya saya merelakannya dan percaya bahwa teman saya itu belum dapat
dipercaya.
Pengalaman yang lain
juga ada. Pernah, suami saya –tanpa sepengetahuan saya- meminjamkan uang kepada
temannya dalam jumlah yang cukup besar. Biasanya saya mendadak tahu, karena
istri si peminjam datang dan bertanya pada saya apakah suaminya datang kepada
kami untuk meminjam uang. Jadi, ternyata sang isteri ini juga tidak tahu kalau
suaminya berhutang, ia juga mendadak tahu karena tidak sengaja membuka
percakapan via sms suaminya dan suami saya. Aih, lingkaran yang cukup rumit,,. Pengalaman seperti ini lebih dari satu kali
dengan orang yang berbeda. Selain menyisakan para isteri yang tak tahu menahu
perihal hutang-piutang suaminya, kejadian selanjutnya bisa terjadi
kesalahpahaman antara kita dengan pasangan. Atau, bila ternyata hutang tak
dibayarkan, yang akan turut menanggung akibatnya juga pasangan. Dan, suatu
saat, ketika salah satu pasangan meninggal dunia terlebih dahulu dengan
meninggalkan setumpuk hutang yang tidak pernah diketahui oleh pasangannya, hal
ini akan jauh lebih merepotkan dan menyulitkan. Setelah kejadian terakhir kali,
saat saya tahu bahwa teman suami saya itu tidak kunjung bersegera menunaikan hutangnya,
sementara ia mampu membeli perabotan rumah baru,
pengalaman itu pada akhirnya menyadarkan saya dan suami untuk senantiasa
mendiskusikan keputusan apapun terkait permasalahan hutang-piutang.
Pengalaman selanjutnya,
silih berganti. Selain menerima pengalaman pahit soal uang pinjaman yang tak
pernah kembali, dan hutang yang semestinya bisa disegerakan dibayar tetapi
terus ditunda-tunda. Saya juga pernah berhubungan dengan peminjam hutang baik
hati yang melunasi hutangnya sesuai janji. Kami meminjamkannya uang karena kami
percaya dengan kualitas akhlaknya. Kedua, karena kami tahu ia memiliki
kebutuhan mendesak. Kedua persyaratan ini saat ini telah menjadi pertimbangan
tersendiri bagi saya dan suami untuk mempertimbangkan pinjaman. Sebab, bagi
kami menjaga persaudaraan itu jauh lebih utama. Jangan sampai hanya karena
pinjam meminjam yang tidak seberapa, hubungan jadi renggang atau malah
bermusuhan. Jadi, manakala ada orang yang datang meminjam uang, jika memang ia
sedang dalam keadaan terdesak, tetapi orang ini masyur dengan sifat suka
berhutang dan malas membayar, maka kami lebih memilih bershodaqoh kepadanya.
Sebaliknya, jika ada orang yang datang, di mana orang tersebut bisa kami
percayai, tetapi kebutuhannya tidak begitu mendesak, dalam arti sesungguhnya ia
masih bisa menghidupi kehidupannya dengan berusaha lebih giat lagi tanpa harus
berhutang, maka kami menolak keinginannya untuk meminjam. Hal ini semata-mata
menjaga agar tidak terjadi lagi sikap perbuatan yang tidak diinginkan dari si
peminjam seperti tidak membayar hutang atau menunda-nunda pengembalian hutang. Tetapi, lebih sering, pertimbangan-pertimbangan yang lain juga turut serta.
Terkait masalah hutang-piutang ini, tidak sengaja saya menemukan kitab ensiklopedi Fiqih Islam di rak buku (saya punya tumpukan hutang membaca banyak buku yang kini tergeletak rapi di rak, ^^), ada banyak hadits yang membahas tentang hutang-piutang ini, tetapi ada beberapa yang ingin saya ingat. Ingatan yang paling baik seusai dibaca adalah dengan diikat dengan tulisan, dihafalkan kemudian diamalkan. Nah, ini termasuk beberapa yang penting menurut saya, sebab berhutang bagi sebagian orang ada juga yang menjadi semacam hobi/kebiasaan atau yang lebih parah lagi menjadi candu.
- Orang yang masih berhutang terhalang masuk dari surga
Dari Tsauban, mantan budak Rasulullah bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1956, Ibnu Majah II: 806 no: 2412, Tirmidzi III: 68 no: 1084).
Dari Abu Qatadah bahwasanya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, "Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu, jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus dariku?" Maka jawab Rasulullah kepadanya, "Ya, jika engkaugugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri kemudian Rasulullah bersabda melainkan hutang; karena sesungguhnya Jibril alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku." (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1197, Muslim III: 1501 no: 1885 Tirmidzi III: 127 no: 1765 dan Nasa'i VI: 34).Ini adalah peringatan keras tentang hutang, sebab hutang tidak dapat otomatis tertunaikan meskipun dengan kematian. Untuk itu, meskipun berhutang adalah hal yang diperbolehkan, ada baiknya kita berhati-hati agar tidak mudah berhutang, dan jikapun harus berhutang, kita berkeyakinan mampu mengembalikan sesuai jangka waktu yang telah diperjanjikan.
- Orang yang bertekad tidak membayar hutang, kelak akan bertemu Allah sebagai pencuri
Dari Syuaib bin Amr, ia berkata: Shuhaibul Khair r.a telah bercerita kepada kami, dari Rasulullah S.A.W bahwasanya beliau bersabda, "Setiap orang yang menerima pinjaman dan ia bertekad untuk tidak membayarnya, niscaya ia bertemu Allah (kelak) sebagai pencuri." (Hasan Shahih: Shahihul Ibnu Majah no: 1954 dan Ibnu Majah II: 805 no:2410).
- Penundaan Orang Yang Mampu Adalah Dzalim
Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Penundaan orang yang mampu adalah satu kedzaliman." (Muttafaqun alaih: Muslim III:1197)Hal ini dapat menjadi pegangan sebagai langkah kehati-hatian, jangan sampai penundaan pembayaran hutang selagi mampu yang kita lakukan menjadikan kita sebagai bagian dari orang- orang yang dzolim.
Tiga ini dulu, mudah-mudahan bisa menjadi bahan pengingat saya, dan juga bagi yang membaca, semoga kita semua dapat berhati-hati dalam urusan ini, dan menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari. Amin.
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
2 komentar
waduh,ngeri juga ya mbak,sampai bawa2 alat gitu..astaghfrullahaladzim....
ReplyDeleteiya Mbak, :(
ReplyDelete