Review
Bismillahirrohmanirrohim,
Hari ini saya tidak kemana-mana. Ceritanya, saya sedang ingin istirahat, badan sedang tidak enak, bawaan pengen tiduran aja. Hihi :). Tapi akhirnya, pada jarum jam ke delapan, saya bangun juga, kelaparan. :p. Untuk Kak (suami saya) dan Fifi, roti dan teh sudah cukup untuk sarapan, tapi saya tidak bisa sarapan roti -udikan akut soalnya..:p-. Sebenarnya, hari ini sudah dapat izin dari Kak untuk istirahat saja, gak usah riweuh di dapur, nanti beli makan jadi aja, tapi rasanya kok gak enak, libur-libur begini gak masak, :).
Begitu tengok kulkas, ealah... Kulkas bersih, gak ada isi apa-apa, sisa tomat 1 biji, lombok merah besar 3 biji sama cabe rawit -udah lama gak nyetok bahan sejak lampu byar pet-, ini kulkas juga baru hitungan hari mulai diaktifkan kembali.
Bismillahirrohmanirrohim,
Di tempat saya, Tideng Pale (ibu kota Tana Tidung, Kalimantan Utara), seringkali ide memasak baru tercetus setelah datang ke pasar. Maklum, sebagai Kabupaten yang baru berkembang, belum semua kebutuhan tersedia dengan mudah di sini. Kadang pengen bikin ini, bikin itu, eh bahan-bahannya ternyata tidak ada. Jadi sore ini, sepulang kantor saya langsung meluncur ke pasar, mencari ide. :).
Senja mulai bertandang,
Nisa yang sedari tadi bolak-balik mengambil jemuran di belakang, tak dapat
menyembunyikan keresahannya. Apa kata Mas Joko barusan? Mencarikan asisten
rumah tangga? Nisa mengambil segelas minuman dingin di kulkas, mencoba
menenangkan perasaan.
“Hah, aku gak lagi
bermimpi kan?”, bangun Nisa, bangun, Nisa mencubit lengannya beberapa kali,
aih, ini jelas bukan mimpi. Aaaaa… senangnya, Nisa senyum-senyum sendiri,
“akhirnya Mas Joko sadar
juga betapa menderitanya aku selama ini, ihihi”, uhuk, Nisa tersedak,
“aduh, aduh, tapi
gimana ya, kalau ada orang lain di rumah, kan jadi gak leluasa mau
ngapa-ngapain, gak leluasa juga kalau lagi pengen dandan ala-ala cat woman gitu loh”, pikiran Nisa
mendadak kalut.
Mencintai selalu butuh konsekuensi, pembuktian. Seseorang yang mencintai Tuhannya, membuktikannya dengan kedekatannya kepada Tuhan, kepemilikannya, harapannya, dan keinginannya ia gantungkan hanya kepada-Nya saja. Seorang pencinta buku, membuktikan cintanya dengan kepemilikannya terhadap buku.
Tidaklah seorang pencinta bunga dikatakan pencinta bunga jika ia tidak memiliki bunga, tidaklah seorang pencinta kucing dikatakan pencinta kucing jika ia tidak memelihara kucing. Seorang pencinta selalu dekat dengan apa yang ia cintai. Sebab cinta menumbuhkan beribu keinginan untuk memiliki. Cinta itu, pada dasarnya memiliki.
-Istikmalia-
Bismillahirrohmanirrohim,
Beberapa hari yang lalu, di timeline FB saya berseliweran dengan sebuah status yang di share banyak orang. Isi statusnya membahas tentang Long Distance Marriage (LDR), menurut sang pembuat status, sebenarnya apapun persoalannya (sekolah lagi, pekerjaan atau apapun) semuanya bisa disiasati tanpa harus memilih hubungan jarak jauh. Saya sependapat dengan status ini, secara saya termasuk orang yang tidak tahan jika harus lama-lama berpisah dengan kekasih hati, #tsah, seminggu saja rasanya sudah sangat tersiksa #apa sih, :). Karenanya waktu saya bertemu seorang sahabat lama, saya katakan padanya,
Rumah Makan Torani tampak depan |
Bismillahirrohmanirohim,
Untuk urusan makanan, kami (saya dan suami) bukan tipe yang suka jajan sebenarnya. Tapi bolehlah, sesekali makan di luar sekedar untuk icip-icip dan dapat pengalaman wisata kuliner. :). Ini kedua kalinya kami mencoba makan di Torani. Waktu itu saya sengaja searching di internet untuk mendapatkan info restoran yang recomended di wilayah Balikpapan. Masak iya, lahir dan besar di Balikpapan, saya tidak tahu apa-apa tentang di mana tempat makan yang enak. Dan, keluarlah nama Rumah Makan Torani, sebagai rumah makan penyedia olahan seafood. Hal yang pertama kali kami tanyakan saat mengunjungi rumah makan biasanya adalah mengenai menu favorit yang ditawarkan, dan untuk menu favorit yang diburu para penjaja rumah makan ini adalah bandeng tanpa tulang yang di masak dengan beberapa pilihan menu olahan.
Rumah makan Torani berawal dari Tenda Toranifood pada Festival Food Balikpapan yang menjual Ikan Bandeng Tanpa Duri Bakar dan Pepes Kepiting pada November 2006. kemudian pada April 2007, berpindah ke Komplek Lembaga Pemasyarakatan No 73 Stall Kuda, Balikpapan dengan nama Rumah Makan Torani yang dapat menampung ratusan pengunjung setiap hari. Semua orang sudah tahu lezat dan sehatnya Bandeng di Torani. Pengunjung bisa menikmati bandeng tanpa kerepotan dengan tulangnya. Hal ini membuat Bandeng Tanpa Duri Torani terus menjuarai pilihan menu yang paling dicari di Rumah Makan Torani. (Sejarah Torani yang saya baca di buku menu).
Bismillahirrahmanirrahim.
Saya juga tidak tahu mengapa, perubahan jadwal penerbangan yang saya ajukan ke panitia, diterima, tetapi perubahan maskapainya tidak. Tadinya saya bermaksud menggunakan maskapai penerbangan langsung Jogja-Balikpapan, dengan harapan sore hari saya sudah sampai di Balikpapan. Tapi, karena tiket kepulangan sudah dibelikan dengan rute Jogja-Jakarta-Balikpapan. Ya sudahlah, dijalani saja, hitung-hitung bisa melintas dan singgah di bandara Jakarta, kota kenangan.
Saya juga tidak tahu mengapa, perubahan jadwal penerbangan yang saya ajukan ke panitia, diterima, tetapi perubahan maskapainya tidak. Tadinya saya bermaksud menggunakan maskapai penerbangan langsung Jogja-Balikpapan, dengan harapan sore hari saya sudah sampai di Balikpapan. Tapi, karena tiket kepulangan sudah dibelikan dengan rute Jogja-Jakarta-Balikpapan. Ya sudahlah, dijalani saja, hitung-hitung bisa melintas dan singgah di bandara Jakarta, kota kenangan.
Sejak sebelum lepas landas dari Jogja, banyak orang yang sekilas saya kenali, tapi saya tidak ingat siapa namanya. Saya tidak sempat berbincang, karena saya tiba di bandar udara Adi Sucipto tepat setengah jam sebelum pesawat take off. Jadi, semuanya serba terburu-buru, beruntung saya tidak tertinggal. Sesampainya di Soekarno Hatta, seseorang menyapa saya,
"Siapa ya? siapa ya?"
“Hai Mbak Nurin, apakabar? Tadi mau nyapa takut salah orang, setelah dari dekat baru yakin ini Mbak”.
Saya membalas sapaan dan membuka percakapan, sembari terus berpikir keras siapakah orang yang sedang saya ajak berbincang ini. Saya mengenali wajahnya, tapi saya tidak ingat siapa namanya. Manusia pada dasarnya bersifat pelupa, dan saya, sejak dulu, memiliki kekurangan sulit mengingat nama orang lain, kecuali nama itu unik, atau saya memiliki kedekatan emosional dengan orang tersebut, berteman dekat, pernah satu kegiatan, pernah satu kos-kosan atau yang lainnya. Setelah berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing, saya masih terus berpikir keras, mencoba mengingat, sembari menghitung waktu. Tepat saat saya menunggu bagasi di bandara Aji Sulaiman Balikpapan, saya menemukannya, saya mengingat namanya yang terdiri dari dua suku kata, saya mengingatnya setelah 4 jam berpikir dengan sangat keras. Alhamdulillah, ini prestasi, pencapaian yang luar biasa untuk saya. .
Tingkat keparahan saya dalam mengingat terjadi sekitar dua bulan lalu. Waktu itu saya bertemu seorang perawat di salah satu RS Swasta di Balikpapan, yang tiba-tiba menegur saya.
“Nurin bukan? ”,
“Iya, Mbak siapa ya?”, waktu itu perawat ini sedang menggunakan masker.
“Aku Sasi (samaran), tadi mau negur takut salah orang”, Sasi dengan spontan membuka masker.
Waktu itu saya bener-bener bingung, linglung, gak tahu mau ngomong apa, masalahnya saya bukan hanya lupa namanya, tapi saya juga lupa dengan wajahnya, saya tidak ingat apapun tentang dia.
“SMA 1 kan? Angkatan 2004?” Sasi masih mencoba menguak ingatan saya.
“Iya. Sasi dulu di IPS ya?”
“Aku IPA”. What? Sasi anak IPA? haduh yang mana ya… kok saya benar-benar nge-blank, gak ingat apapun. Waktu saya kelas 3, IPA cuma ada dua kelas, dan itu sebelahan. Tadinya saya berharap Sasi IPS karena jumlah kelasnya lebih banyak, jadi wajarlah ya kalau saya lupa. *pembelaan.
“Kayaknya kita sekelas deh Rin”, hah? Please! masak guwe lupa sama temen sekelas? parah nih parah
“Gak ah, kayaknya beda kelas deh”, *ngeles mode on, hehe.
Sampai saya menuliskan ini, saya masih mencoba mengingat memori saya tentang Sasi. Dan, saya belum bisa mengingat apapun tentang Sasi.
Sudah tidak ada harapan bagi saya mencari peluang bahwa Sasi yang sedang salah alamat, karena sejak saya SMP sampai dengan SMA, hanya saya pemilik nama Nurin, belum ada kembarannya. Di keluarga, nama panggilan saya sebenarnya Lia, tetapi saat SMP, ternyata nama Lia itu begitu banyak. Jadi, kawan-kawan sepakat memanggil saya dengan nama depan saya, agar mudah dikenali dan tidak membingungkan, dan ini berlanjut hingga sekarang.
“Jadi kamu gimana, kemarin kamu jadi kuliah di Jogja sama-sama yang lain?”
“Gak Sas, aku kuliahnya di Jakarta”
“Oh gitu…”, obrolanpun berlanjut tentang kuliah, pekerjaan dan keluarga.
Pertanyaan Sasi tentang Jogja menandakan benar bahwa Sasi memang teman SMA saya, haha. Jogja, adalah kota impian saya sejak dulu untuk melanjutkan sekolah. Butuh waktu 12 tahun, sejak saya merencanakan, mencita-citakan, bermimpi tentang Jogja, hingga saya benar-benar bisa datang ke Jogja. Alhamdulillah, itupun berkah dari tugas perjalanan dinas saya ke Solo yang beririsan dengan perjalanan dinas suami ke Jogja. Sebenarnya saya sudah melupakan semua hal tentang Jogja, tetapi demi mengetahui bahwa saya akhirnya bisa berkunjung ke tempat-tempat yang mungkin dulu hanya ada di benak saja, membuat saya cukup bergembira menyambut perjalanan ini.
Kisah tentang saya dan kota Yogyakarta.
Saya sudah mulai memimpikan sebuah cita-cita sejak SMP, sejak kelas dua SMA, mulailah saya menentukan tempat dimana saya akan menimba ilmu untuk meraih cita-cita itu. Ya, di Yogyakarta. Waktu itu, mungkin karena keseringan bertemu orang-orang hebat dan pintar, dimana setiap kali saya bertanya,
"lulusan mana Kak?",
"lulusan Jogja"
Jadi, di benak saya, kota Jogja itu hebat, bisa melahirkan orang-orang hebat, dan saya kemudian mulai tertarik untuk pergi ke sana. Tetapi ternyata, jalan menuju ke sana sangatlah berliku, tajam, dan terjal. Kegagalan pertama dalam hidup yang saya rasakan adalah saat saya gagal meraih cita-cita yang saya impikan. Rasanya seperti menyusun buku yang sudah hampir tinggi menjulang hingga ke langit-langit rumah, tinggal menaruh satu buku lagi, tetapi yang terjadi tumpukan buku-buku itu jatuh berserakan dan mengenai saya, rasanya sakit sekali. Jadi, semua yang saya siapkan, saya rencanakan, saya usahakan tak menghasilkan kesuksesan (versi saya).
Ini masih bukan soal Jogja, masih tentang cita-cita.
Tentang Jogja, sebelas dua belas juga sebenarnya. Dimulai dari saat saya mengajukan diri ikut masuk tanpa tes, PMDK atau PBUD ya waktu itu namanya, dengan pilihan Universitas di Yogyakarta. Intinya, pengajuan saya ditolak oleh guru sekolah dengan alasan yang tidak bisa saya terima. Kalau dulu ya, rasanya sakit hati sekali jika mengingat Bapak Guru yang satu ini, karena menurut saya, seorang guru seharusnya mendukung, menyokong, menampung, semua yang diimpikan oleh anak-anak muridnya dan bukan sebaliknya. Kalau sekarang, sudah tidak lagi. Kalau sekarang, saya sudah bisa melihatnya sebagai salah satu cara Allah saja, bahwa pada akhirnya saya memang tidak bisa meraihnya.
Berikutnya, saya merasa 'dikhianati' sahabat, karena mereka diam-diam mendaftar ikut tes jalur khusus di universitas Jogja tanpa memberitahu dan mengajak saya. Sementara, mereka tahu, betapa besarnya keinginan saya menuju ke sana. Entah saya lupa bagaimana persisnya, akhirnya saya jadi tahu, tapi itupun di detik-detik terakhir pendaftaran, dan saya terlambat mendaftarkan diri. Berikutnya, dan ini cara Allah yang paling cantik menurut saya, di kesempatan terakhir, yakni di SPMB, Allah membuat saya pada akhirnya tidak bisa ikut SPMB di tahun tersebut. Lengkap sudah, tidak ada kesempatan menuju Yogyakarta.
Ini yang saya ceritakan hanya kejadian yang besar-besar saja, yang kecil-kecil, yang mengganjal lebih banyak.
Saya kira urusan soal Jogja ini sudah selesai, ternyata belum sepenuhnya. Perjalanan ke Jogja kali ini saya rasakan sebagai perjalanan yang tak semenyenangkan seperti ke Derawan atau Makassar. Tadinya saya berfikir, bisa menambah perbendaharaan posting wisata atau kuliner, tapi saya tidak bisa mendapatkan keduanya. Satu hari yang saya kira cukup untuk berwisata, mengelilingi tempat-tempat yang dahulu hanya saya impikan saja, jadi lain cerita.
Terus terang selama di Jawa, saya mengalami jet lag dengan waktu. Saya merasa pagi datang terlalu cepat, kepagian, tetapi aktivitas perekonomian begitu lambat. Biasanya, jam 6 di tempat saya, masih agak gelap, di sini sudah terang sekali, seperti jam 7 di tempat saya. Tetapi, toko-toko rata-rata baru buka jam 9 atau jam 10 an. Pagi hari, jadi bingung sendiri, mengunjungi beberapa tempat, rata-rata juga masih tutup. Kami sudah memutuskan untuk berbelanja semua titipan dulu, maklum kan ya, orang jauh kalau sudah datang ke kota, banyak titipan..
Jauh-jauh hari sebelum berangkat, teman-teman saya yang asli Jawa sudah wanti-wanti,
"pokok'e Mbak ojo ketoen wong Kalimantan. Opo-opo kuwi mesti nawar, kudu wani banting harga",
-pokoknya Mbak jangan kelihatan kalau dari Kalimantan. Apa-apa itu mesti ditawar, harus berani banting harga- Haha, dan ini ternyata yang membuat proses berbelanja jadi sedikit lebih lama dan melelahkan.
-pokoknya Mbak jangan kelihatan kalau dari Kalimantan. Apa-apa itu mesti ditawar, harus berani banting harga- Haha, dan ini ternyata yang membuat proses berbelanja jadi sedikit lebih lama dan melelahkan.
Di Kalimantan, bukan berarti orangnya kaya-kaya ya, tapi seringkali apa yang kita butuhkan sulit didapat. Di tempat saya, orang tidak akan mempermasalahkan harga, selama barangnya ada, biasanya akan di beli. Yang jadi masalah, biasanya barang-barang kebutuhan sulit, tidak ada. Jadi di tempat saya, gak terbiasa nawar-nawar harga sampe segitunya, ada barang, tanya berapa harganya, bisa kurang apa gak, sekali nawar gak dapat, ya sudah, kalau kita memang butuh, oke, bungkus, angkut.
Akhirnya urusan belanja-belenji ini selesai jam 11 siang. Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil sewaan, sampai di tempat tujuan pertama, Candi Borobudur, hujan deras melanda. Setiap orang yang saya tanya mengatakan, ini hujan berkah, hujan pertama setelah lama tidak hujan.
Tadinya kalau sesuai rencana, kami bisa lanjut seusai dzuhur, dan mencari kuliner yang enak. Berhubung terjebak hujan deras, dan kami masih di pelataran, belum sampai masuk, daripada kelamaan, akhirnya memutuskan makan mie instan di warung terdekat. Tapi, sampai jam dua kurang, hujan tidak juga berhenti, kami akhirnya memutuskan untuk tetap masuk (sudah jauh-jauh kan ya?), sewa payung, dan ujug-ujug keluar sudah lepas ashar. Mana saya tahu, kalau ternyata, di jalan pulang, berderet penjual oleh-oleh. Meskipun kami sudah saling sikut-menyikut, "pandangan tetep lurus ke depan ya,", eh ada saja salah satu dari kami gantian terjebak untuk lihat-lihat. Padahal yang di beli gak seberapa dibanding yang dilihat.
Hujan masih berlanjut, hari semakin senja. Rata-rata tempat wisata sudah akan tutup, tapi saya masih memaksakan diri, sudah gak papa kalau tutup, tempatnya dilewatin saja, yang penting tahu itu tempatnya. Perjalanan dilanjutkan hanya berkeliling jalanan sampai hampir jam sembilan malam. Perasaan saya sudah tidak karuan, mual, mungkin karena makan makanan yang seadanya, ditambah kedinginan karena kehujanan, jadi sepanjang perjalanan saya tidak terlalu berselera memotret. Lagi pula apa yang hendak dipotret? hari semakin gelap.
Sebelum sampai di hotel, kami bertanya kuliner mana yang enak pada supir yang membawa kami. Diskripsi Pak Supir sepertinya enak, lezat dan khas sekali, jadi saya mengiyakan. Ternyata, itu makanan mihun yang direbus bercampur telur bebek dan ayam kampung. Dalam hati saya berfikir, "oalah..mie lagi... , selera Om Supir ini mah", haha.
Rencana Allah yang lebih cantik terjadi keesokan harinya. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Solo, semua barang titipan yang sudah dibeli sudah di packing dan siap di kirim. Satu kardus besar yang lumayanlah kalau dibawa-bawa. Kalau sudah di kirim barang yang harus saya bawa jadi tidak terlalu banyak dan lebih ringkas. Hari itu hari ahad, dengan menggunakan becak, saya mencari tempat pengiriman, dan yuhuu... tempat pengiriman yang saya cari tutup. Berkeliling cari yang lain, tutup juga. Aneh sekali kota ini, di kota sebesar ini, tutup. Ya sudahlah, karena tiket kereta sudah dibeli, dan kereta akan berangkat sekitar setengah jam lagi, saya kembali ke hotel mengambil barang bawaan yang cukup memenuhi becak yang saya tumpangi.
Di tengah perjalanan menuju stasiun, hujan tiba-tiba datang dengan sangat derasnya. Pernah kan, merasakan hujan tiba-tiba melintas tanpa tanda-tanda?. Dan, becak yang saya tumpangi tidak membawa plastik penutup hujan, belum siap katanya. Bingung antara mau berhenti atau lanjut. Tapi daripada saya harus bingung lagi karena ketinggalan kereta dan menunggu jadwal beikutnya. Sudah kepalang basah, ya sudahlah lanjut saja. Dan apakah yang terjadi? saya basah kusup, termasuk sebagian barang-barang yang saya bawa, yang sudah mirip seperti orang mau mudik saja. Saya tidak punya banyak waktu berfikir, kereta sudah mau berangkat. Sampai di dalam kereta, teman sebangku saya, dengan ekspresi terheran-heran menatap saya,
"Mbak, bener naik kereta ini? gerbong nomor dua kan?"
"Iya, bener", saya langsung buru-buru cari tiket kereta. Haduh jangan sampai salah masuk kereta lagi, bisa apes dua kali.
"Coba dilihat, bener gak nama keretanya. Ini kereta mau ke Solo lho Mbak.."
"Iya udah bener, saya memang mau ke Solo",
"Oh, saya kira Mbak mau pergi jauh, ke Surabaya atau kemana gitu. Soalnya barang Mbak kok banyak banget..",
"Hahaha...", saya hanya tertawa dalam hati, menertawakan hari yang paling bersejarah ini. Kehujanan lagi, dua hari berturut-turut di Jogja kehujanan terus, kali ini basah kusup pula, kedinginan. Oh Allah, cuma pengen jalan-jalan doang nih, saya sudah move on dari yang dulu-dulu, masak masih gak dikasih kemudahan juga?
Saat Allah berkehendak terhadap sesuatu yang akan terjadi pada diri kita, seluruh makhluknya, penghuni langit dan bumi akan bertasbih, memudahkan jalan agar kita dapat meraihnya. Sebaliknya, saat Allah tidak berkehendak itu terjadi, seluruh makhluknya, penghuni langit dan bumi, tidak ada yang kuasa memberikan kemudahan jalan. Meski kita benar-benar menginginkannya, benar-benar mengharapkannya, jalan menuju ke sana akan terasa terjal, curam dan sulit.
Jadi, dari Jogja dapat apa? gak dapat banyak, hasil fotonya gak ada yang bagus. Kulinernya gak dapat, jalan-jalannya kenyang angin saja. Tapi soal foto, lumayanlah foto-foto yang koleksi pribadi sebagian ada yang bagus. Bolehlah, buat pembuktian kalau honeymoonnya lancar jaya, gak ngenes-ngenes amat. *pencitraan
Tapi, dari Jogja, saya bertemu beberapa sahabat lama, ada sebagian yang benar-benar tidak saya kenali karena itu pertemuan pertama saya, tetapi mereka mengenali saya, menyalami saya dengan erat,
"Mbak, aku selalu ikutin blog Mbak...isinya menginspirasi."
Bahkan di Solo, saya bertemu seseorang yang baru saja saya kenal di hari itu *hayuk,,siapa yo namanya? haha...rahasia ah, yang pada akhirnya mengantar kepulangan saya sampai di bandara Jogja,
"Ini Nurin ya, Nurin Ainistikmalia kan ya kalau gak salah"
"Iya Mbak,"
"Aku baca lho isi blognya...seru-seru ya..."
Di Solo, saya bertemu lebih banyak orang, yang mana, sebagian besar saya tidak ingat siapa namanya, tetapi biasanya mereka mengingat saya, mengingat nama saya. Maaf kalau saya keseringan bertanya, "Ayuklah beritahu saya, belum tentu setiap tahun kita bisa bertemu...", dengan sedikit gombalan maut. Sulit bagi saya, kalau harus menyisihkan waktu berjam-jam untuk berfikir keras mengingat nama-nama orang dengan jumlah sebanyak itu. *alesyan...
Diantara yang bertemu saya itu, di hotel, di dalam bus antara Paragon-Sunan, di tempat acara,
"Rin, aku silent readermu lho..."
Diantara yang bertemu saya itu, di hotel, di dalam bus antara Paragon-Sunan, di tempat acara,
"Rin, aku silent readermu lho..."
"Mbak, aku selalu baca... aku ngikutin.."
Terakhir, alhamdulillah, saya masih menemukan satu foto yang bagus nih untuk pencitraan, #penting. Sebagai bukti, saya pernah juga bertandang ke sana.
Jadi, rencana Allah yang cantik itu berakhir di blog ini. Blog yang saya rencanakan akan saya tutup ini, sebulan terakhir bahkan blog ini sudah tidak bisa diakses lagi. Blog ini saya buka kembali, dan saya seriusin *Serius!, dengan ganti alamat menjadi: www.istikmalia.com. Saya fikir, ada baiknya jika ini masih bermanfaat, tetap saya pertahankan. Hitung-hitung sebagai tabungan amal jariyah jika saya sudah tiada lagi. Saya sangat berterimakasih pada orang-orang yang saya temui di hari itu. Terimakasih telah turut membawa perubahan pada apa yang hendak saya lakukan. Semoga menjadi kebaikan.
Tentang nama, sejak dulu nama saya dibilang unik (aslinya sih suka dibilang nama yang aneh, hihi), saya sering mendapat pertanyaan, itu dari bahasa sanskerta ya? atau dibilang mirip banget ya sama bidang pekerjaannya, bau-bau statistik gitu..*ea..^^. Tapi kemudian, saya bersyukur, dengan keunikan atau keanehan ya? :nama saya jadi mudah diingat dan dikenali.
Nama saya berasal dari bahasa arab. Istikmalia pemberian dari bapak, tambahannya dari ibu, jadinya Nurin Ainistikmalia. Waktu saya SD, Bapak suka diam-diam menulis di buku saya: Buku ini milik Istikmalia. Waktu masih kecil saja, Bapak dan Ibu masih suka nanya, kamu suka nama Istikmalia atau Nurin Ainistikmalia? anak kecil ditanya, saya sih waktu itu pilih yang paling panjang, karena menurut saya nama itu semakin panjang semakin keren. "Nah tuh, anaknya aja suka kok", biasanya ibu bakalan merasa menang kalau sudah dengar saya memilih nama pemberian ibu. Jadi, kedua namanya saya gunakan. Karena kedua nama tersebut memiliki makna dan pengharapan yang baik.
Mudah-mudahan ke depan blog ini bisa membawa banyak manfaat untuk yang membaca. Amin.
Apa yang terbaik menurut kita belum tentu itu yang benar-benar terbaik menurut Allah. Penting sekali mengikut sertakan Allah dalam setiap urusan. Agar kita tidak terlalu kecewa jika tak bersesuaian, dan agar Allah memudahkan, melapangkan setiap urusan yang ingin kita wujudkan.
Bismillahirrahmanirrahim.
"Rin, kamu tahu gak gimana ya caranya misahin si Mbak F itu supaya gak deket-deket sama suamiku?"
"Sampaikan saja sama suami, jaga jarak, bicara seperlunya, beres, masalah selesai"
"Tapi Mas Gilang itu malah marah sama aku. Katanya aku lebay, gak percaya sama dia, meragukan kesetiaan dia. Duh, padahal kalau kamu mau tahu, setiap aku ke ruangan Mas Gilang, Mbak F itu seperti sengaja gitu deket-deket sama Mas Gilang, pura-pura tanya ini tanya itu, dengan pose duduk yang aduh... kayak gak ada kursi lain aja di ruangan, masak iya harus nempel-nempel deket meja Mas Gilang...yang kutangkap ya, Mbak F itu sengaja pengen nunjukin ke aku kalau dia itu emang deket sama Mas Gilang... sebel banget gak sih.."
"Trus?"
"Aku ilfeel banget deh pokoknya sama Mbak F itu, kenapa sih harus dia yang jadi rekan kerja Mas Gilang? di rumah aku jadi sering uring-uringan gak jelas sekarang...bawaannya gak mood aja, apalagi kalau lihat Mas Gilang, bawaan jadi curiga mulu"
"Mas Gilang sendiri gimana?"
"Ya gak gimana-gimana, dia biasa aja tuh, masih suka balesin sms sama terima telefonnya Mbak F, padahal gak penting-penting amat, bisa dibahas di kantor juga, gak harus di rumah gitu... kalau ku ingetin, katanya nanti gak enak sama Mbak F, dikira lagi ada apa. Trus aku? aku lho Rin... aku kan isterinya... emang gak cukup gitu ya rapat-rapat di kantor? sampai harus rapat lanjutan di telefon? hhhhh.... rasanya tuh..."
---------------------------
Saya jadi ingat percakapan saya dengan Carra (nama samaran) yang resah perihal Mas Gilangnya. Waktu itu, saya menyarankan padanya untuk mencari saat yang tepat untuk mengungkapkan 'ketidaknyamannya' itu pada Mas Gilang.
"Jangan diluapkan saat masih 'panas' atau saat Mas Gilang baru pulang kantor, tunggu saat rileksnya...tunggu sampai ada waktu yang pas berdua saja..."
Saya mencoba mengingat-ingat peristiwa Carra ini dengan yang dialami seorang ibu muda dengan kisah yang hampir mirip, dengan level yang lebih terbuka dan berani, tentang bagaimana menghadapi seorang perempuan yang secara terang-terangan menyatakan perasaan suka terhadap suaminya, terang-terangan mendekati suaminya, sementara suaminya tak enak hati melakukan penolakan. Juga dengan pernyataan yang hampir mirip dengan apa yang dikatakan Mas Gilang,
"Kamu jangan berlebihan dek, aku bukan tipe suami yang begitu, masak kamu gak percaya sama aku, lagipula biar bagaimanapun dia itu kan sahabat kamu juga".
Setelah menikah, pasangan kita adalah orang yang paling berhak dicemburui, dipertahankan, dan dijaga. Sementara kita, kita adalah orang yang paling berhak mencemburui.
Banyak dari pasangan yang setelah menikah, merasa risih saat isteri atau suaminya mengungkapkan kecemburuannya, terutama pada hal-hal kecil yang menurutnya tidak perlu dipermasalahkan. Seperti kasus Carra misalnya. Sementara, banyak yang lupa, bahwa setelah menikah, apapun yang melekat pada diri seorang isteri, mulai ujung rambut hingga ujung kaki adalah hak dari suaminya. Suaminya adalah orang yang paling berhak menikmati kecantikannya, kecerdasannya, kelihaiannya, dan segala sesuatu yang melekat pada itu, luar dalam. Sehingga dalam sebuah pernikahan, pandangan seorang suami terhadap isterinya bernilai ibadah, senyuman seorang isteri terhadap suaminya bernilai ibadah, menyenangkan pasangannya bernilai ibadah, lebih dari itu apalagi, semuanya bernilai ibadah.
Sebaliknya, tidak hanya isteri, seorang suami juga bahkan dituntut untuk menyenangkan pandangan isterinya. Menjaga dirinya dari hal-hal yang tidak disukai oleh isterinya, sebab hak seorang isteri sepadan dengan kewajibannya terhadap suaminya. Karena itu, adalah penting membangun komunikasi antara suami-isteri tentang apa-apa yang meresahkan dan mengganggu terhadap hubungan yang terjalin. Tidak perlu merasa risih atau mengganggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan, sebab setelah menikah, pasangan kita adalah orang yang paling berhak dicemburui, dipertahankan dan dijaga. Sementara kita, kita adalah orang yang paling berhak mencemburui. Bukan yang lebih berhak, atau yang berhak, tapi yang paling berhak.
Sensitivitas pasangan saat mengungkapkan kecemburuan juga bukan serta merta adalah hal yang berlebihan, sebab bisa jadi hal itu tumbuh seiring dengan pertumbuhan perasaan, cinta dan kedekatan hubungan. Saya mengenal seseorang yang bahkan tidak mengizinkan suaminya mengangkat handphone miliknya jika nama yang tertera di sana adalah nama teman wanitanya, meski saat itu ia sedang tidak dapat mengangkat handphone, sedang memasak di dapur atau sedang di kamar mandi. Saya juga mengenal seorang suami yang tidak mengizinkan isterinya mengupload foto-foto selfie, foto-foto pribadi di akun jejaring sosialnya karena bagi suaminya kecantikan isterinya itu hanya untuk dinikmatinya saja, bukan dipajang bebas di tempat umum. Kesannya berlebihan? tidak juga, bagi saya, semestinya memang begitu, selama itu dikomunikasikan, dan keduanya merasa nyaman, sah-sah saja, halalan, dan sekali lagi, semuanya bernilai ibadah.
Aneh dan janggal rasanya, jika seorang isteri mengumbar aurat, tidak ada rasa cemburu pada suaminya. Atau ada perempuan yang sedang menggoda suaminya, lantas tidak ada rasa cemburu pada isterinya.
Pada dasarnya perasaan cemburu adalah sebuah anugerah, jika dapat dikelola dengan baik. Masalahnya, adalah saat pasangan yang dicemburui ternyata tidak menerima itu, marah atau melakukan penolakan. Seperti Mas Gilang misalnya, maka hal yang dapat dilakukan adalah mencoba memutar balik keadaan. Untuk saya, cara ini sangat efektif. Sebagai permisalan, saat sedang berjauhan, kami sering bertanya satu sama lain tentang apa saja yang sudah terjadi hari ini, percakapan yang sering terjadi biasanya seperti ini,
"Tadi ketemu siapa aja?"
"Ketemu si A...si B...si C..."
"Gimana kabarnya mereka?"
"Sepertinya baik.."
"Lho emang kalian gak ngobrol.."
"Cuma say hello dan senyum. Memangnya kamu mau aku ngobrol kesana kemari, cekikikan gitu..."
hening cukup lama,
"Ya gak lah, aku gak mau kamu ngobrol dengan non mahrom tanpa ada aku di sana"
atau misalnya, saat salah satu dari kami menerima pesan pribadi dari kawan lain jenis,
"Udah gak usah dibalas, entar keterusan.. "
"Gak enak, ini temen lama..."
"Emangnya kamu mau kalau gak ada kamu, aku asyik bbm-an sama yang lain?"
"Ya jelas gak maulah.."
Jadi, untuk kasus Carra atau ibu muda tadi, saat berkomunikasi dengan pasangannya, bisa mencoba memutar balik keadaan, memisalkan seandainya dirinya yang berada pada posisi suaminya.
"Kamu gimana kalau ada laki-laki yang ternyata ngejar aku, dan suka sama aku..."
"Enak aja, ya pasti udah aku labrak dia..."
Itu permisalan saja, hasilnya juga permisalan saja, yang ada dibenak saya seperti itu, karena biasanya laki-laki lebih frontal saat cemburu.
Setelah terbiasa berkomunikasi dengan pasangan, yang terjadi selanjutnya adalah pembiasaan. Seorang isteri akan terbiasa dengan penjagaan dirinya terhadap hal-hal yang tidak disukai oleh suaminya. Seorang suami akan terbiasa dengan penjagaan dirinya terhadap hal-hal yang tidak disukai oleh isterinya. Saling menjaga, saling mempertahankan, saling mengingatkan, saling menguatkan.
Di lain tempat, saya pernah mendapati seorang isteri yang sedang bersedih lantaran suaminya ternyata berhubungan lagi dengan seseorang di masa lalunya. Ini bisa terjadi bukan hanya di pihak suami, tetapi juga bisa menimpa isteri. Adalah perlu untuk mengingat, bahwa ketika akad pernikahan telah terucap, lupakan semua hal, kejadian, seseorang yang terjadi di masa yang lalu, dan buka lembaran baru dengan harapan yang baik bersama pasangan di masa depan. InshaAllah akan ada barokah di balik pernikahan dengan awalan niat yang baik, apalagi jika niatan itu lillah, karena Allah, dan mengharap ridlo Allah. Tetapi jika seseorang di masa lalu pada akhirnya menjadi batu sandungan dalam bahtera pernikahan, ingatlah bahwa kebaikan pasangan, apa yang telah dilakukannya, kerja kerasnya, perjuangannya, di hari ini, tidak pernah sebanding dengan orang yang tiba-tiba datang hanya sekejap. Syaithon biasanya akan membisikkan keindahan, dan menguji dengan bayangan-bayangan indah dengan bungkus 'mengenang masa lalu'. Sementara, kenyataannya bisa saja tak seindah perkiraan. Ingat, bahwa seorang suami adalah pakaian bagi isterinya, seorang isteri adalah pakaian untuk suaminya. Jadilah sebaik-baik pakaian untuk pasangan, yang melindungi, menghangatkan, dan mengindahkan. Jaga diri, inshaAllah Allah akan menjagakan pasangan kita untuk kita.
Sedang sendiri atau sudah menikah, berjauhan atau berdekatan, semuanya bukan jaminan kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan bagi hati yang tidak pernah bersyukur
Semoga bermanfaat. Semoga tidak ada lagi dilema-dilema seperti dilema Mas Gilang. ^^. Semoga Allah menjadikan pernikahan kita sakinah, mawaddah warohmah. Amin.
Credit |
-Bismillahirrohmanirrohim-
Jangan terlalu stres, having fun menjalani hidup, banyak tersenyum, dan berbahagialah
Sering mendengar nasihat seperti itu? kalimat-kalimat positif -setidaknya- tidak terlalu menggurui bagi yang menerimanya, tapi ternyata menjalaninya seringkali tidak mudah. Saya sempat berpikir, bagaimana caranya agar tidak terlalu stres? simpel, ada yang mengatakan jawabannya mudah, "ya jangan stres, jangan terlalu banyak pikiran, kosongkan pikiran dari hal-hal yang tidak perlu". Lantas bagaimana caranya agar kita terhindar dari terlalu banyak berpikir? sebab, selama kita masih bernafas, kita pasti berpikir, butuh berpikir dan tidak bisa hidup tanpa berpikir.
Saya pernah menjalani istirahat total, selama beberapa hari saya tidak boleh melakukan banyak aktifitas fisik, tidak boleh berkendara, dan melakukan aktifitas berat lainnya. Tidak beraktifitas sama sekali ternyata bukanlah sebuah kesenangan. Untuk seorang perempuan seperti saya yang terbiasa mobile, hal itu menjadi siksaan yang cukup berat. Pikiran rasanya buntu, hidup jadi tidak membahagiakan. Bagaimana bisa bahagia, jika hidup hanya berbaring di atas ranjang saja? :)
lantas bagaimana dengan jangan terlalu banyak berpikir? rasanya pasti menyiksa, seperti halnya anjuran untuk jangan terlalu banyak bergerak.
Bismillahirrohmanirrohim.
Namanya Harum. Perempuan berwajah cantik, oriental. Lisannya sangat fasih berbicara, menarik, meski usianya tak lagi muda.
"Maaf Bu, saya gak bisa ikutan datang, maaf ya, suamiku nunggu, mau nyiapin makannya dulu, udah kangen eh", katanya pada saya siang itu sembari tersipu malu, menghaturkan permohonan maaf tidak bisa menghadiri undangan yang saya berikan.
"Kan cuma sebentar Bu, emang suaminya kerja di mana? pulang jam berapa?"
"Bu Harum suaminya kerja di sekitaran sini aja kok Mbak, siang pulang makan siang, sore juga nanti sudah di rumah", timpal ibu-ibu yang lain.
"Lah tapi gimana ya Bu... aduh.. sayang banget kalau gak bisa ketemu makan bareng suami, sudah kangen berat..", senyum di wajah Bu Harum merekah, pipinya bersemu merah, kedua telapak tangannya tertelangkup, menutup mulut, malu.
Saya ingin tertawa, terkekeh, tapi hanya cukup tertahan, sehingga hanya menanggalkan senyuman.
"Bu Harum seperti abege saja, maunya lengket terus...", kata saya menggoda.
Gambar dibuat di www.canva.com |
Hawa dingin menusuk, salju yang turun sejak semalam telah menutupi jalan-jalan kota. Saya membuka mata dengan malas, penghangat ruangan serta selimut tebal yang sengaja kami tumpuk-tumpuk untuk menghangatkan badan rasanya tak begitu membantu. California? Rasanya masih belum percaya. Sekarang kami berada di California? Di musim dingin yang sangat menggigil ini? padahal sebelumnya, saya tengah sibuk menggalau ria memilih sekolah yang terbaik untuk Fifi. Setidaknya masih ada pilihan, daripada tidak sama sekali. Dua SD Negeri, dan satu sekolah Madrasah.
Kami sudah bersepakat untuk tidak memasukkannya ke sekolah Madrasah yang ada. Satu-satunya alasan adalah karena sekolah swasta tersebut sekolah baru yang masih belajar, guru-gurunya tidak banyak, dan berdasarkan informasi yang kami peroleh, anak-anak belum terurus secara baik di sana. Dua sekolah negeri lagi, yang satu SDN 001, sudah pasti ini adalah cikal-bakal sekolah favorit, dengar-dengar, sekolah ini ke depannya akan menjadi sekolah unggulan. Suami saya sejak awal tidak setuju memasukkan Fifi ke sekolah ini, dengan berbagai pertimbangan dan pilihan, akhirnya saya mengikuti pilihan suami untuk memasukkan Fifi ke sekolah satu lagi, SDN 009, meskipun secara jarak, lebih jauh dibanding ke SDN 001.
Tapi sudahlah, sekarang saya harus fokus mencarikan sekolah yang terbaik untuk Fifi di California. Beberapa referensi sudah di dapatkan, tetapi masalah baru muncul. Fifi yang periang dan mudah bergaul, tiba-tiba menjadi sangat pemalu di sini. Kendala bahasa, terlebih culture shock berdampak pada perubahan sikap dan psikologinya. Mengingat usianya yang belum lagi genap enam tahun, telah saya putuskan untuk tidak terburu-buru memasukkannya sekolah. Setidaknya, membuatnya beradaptasi dan mengenal kota ini dengan baik lebih ia butuhkan saat ini. Pagi ini, ia sudah siap dengan sepatu boot barunya, rencananya hari ini saya ingin mengajaknya bermain salju sekaligus mengunjungi seorang kenalan dari Indonesia yang telah lama tinggal di sini, jaraknya hanya beberapa mil dari apartemen tempat kami tinggal. Kami berkenalan secara tidak sengaja, tetapi kehadiran mereka sangat membantu kami beradaptasi di lingkungan baru seperti ini. Saya sudah beberapa kali mengunjungi mereka, sekedar mencari tempat berbincang yang nyambung, dan sedikit mengobati kekagetan berada di tempat yang baru.
Fifi
tampak sangat ceria hari ini, saya mengajaknya berkeliling ke beberapa tempat. Termasuk
arena bermain indoor dengan beragam
permainan yang ia sukai. Saya jadi turut senang membersamainya. Sampai tiba-tiba
mata saya mendadak silau, ada sekilas cahaya yang mengenai mata saya. Ma-ta-ha-ri?
Sontak saya segera mengambil handphone dan melihat angka yang tertera di sana.
Pukul 7? Oh Allah!, saya bermimpi. Beautiful dream .. so beautiful … saya
segera mencuci muka, sambil menghibur diri, setidaknya mimpi saya mimpi yang mendunia,
meskipun kenyataannya saya tinggal di belantara, haha :D.
"Harusnya tadi tirainya jangan di buka, saya masih belum selesai mimpinya, masih seru!, lagi asyik jalan-jalan juga ...," kata saya pada Kak. Coba, tadi lamaan dikit ya, saya masih ingin mengenali nama-nama jalan dan tempat yang tadi dikunjungi :). Seusai sholat subuh tadi saya memang rada ngantuk berat, sadar-sadar sudah jam 7 saja, hihi ... bagaimana jika setelah ini, saya bersegera menyapa Paman Google, untuk mengetahui kondisi California sebenarnya, benarkah tempat-tempat yang saya datangi itu, nyata? :)
"Harusnya tadi tirainya jangan di buka, saya masih belum selesai mimpinya, masih seru!, lagi asyik jalan-jalan juga ...," kata saya pada Kak. Coba, tadi lamaan dikit ya, saya masih ingin mengenali nama-nama jalan dan tempat yang tadi dikunjungi :). Seusai sholat subuh tadi saya memang rada ngantuk berat, sadar-sadar sudah jam 7 saja, hihi ... bagaimana jika setelah ini, saya bersegera menyapa Paman Google, untuk mengetahui kondisi California sebenarnya, benarkah tempat-tempat yang saya datangi itu, nyata? :)
Mimpi yang aneh, sedikit konyol, tapi sangat menghibur. Semua ini pasti karena saya terlalu berpikir keras tentang sekolah Fifi. Mengetahui ada
beragam pilihan sekolah luar biasa di belahan tempat yang lain, membuat saya
memang cukup bimbang. Di sisi lain, saya belum berencana menyekolahkan Fifi
tanpa tinggal serumah. Untuk anak seumuran dia, kami merasa bahwa pendidikan
terbaik adalah di rumah, bersama keluarga.
Sebulan terakhir, saya juga sudah berupaya, memperbanyak doa agar ada jalan keluar untuk ini. Pindah tempat tugas? Itu satu-satunya pilihan yang terpikirkan oleh saya. Tapi, sampai hari pendaftaran sekolah sudah di buka. Tanda-tanda menuju ke sana belum terlihat.
Lalu saya, tiba-tiba …
menjadi …
panik…
.
.
sepanik-paniknya. Serius. :)
Antara keinginan, impian, harapan dan kenyataan ternyata tak berbanding lurus, haha … meski ibu saya meyakinkan, bahwa bukan masalah sekolahnya yang harus bagus, tapi bagaimana pendidikan di rumahnya yang harus di mantapin. Tapi tetap saja gimana gitu ya, barangkali saya saja yang berlebihan. :) kagok tiba-tiba Fifi sudah masuk SD aja.
Alhamdulillah, mimpi di pagi hari ini membuat saya bergembira, suasana hati saya mendadak menjadi riang, dan langkah kaki saya menjadi ringan. Mimpi yang baik benar-benar membawa berkah. Hari ini adalah hari pertama pendaftaran sekolah. Pendaftaran di buka selama satu minggu.
Untuk memenuhi persyaratan, pagi ini kami membawa Fifi ke toko baju untuk membelikannya seragam sekolah, memakaikannya dengan lengkap dan bersegera membawanya ke studio foto. Harga seragam lengkap dengan dasi dan topi, semuanya Rp 170.000; dengan sekuat tenaga menawar, tapi tidak bisa turun harga juga. Ya sudah, untuk sementara punya satu seragam dulu cukup, selebihnya nanti dibeli kalau ada kesempatan ke kota. Takjub juga, hari ini studio foto sekaligus toko alat tulis dan fotocopy penuh dengan anak-anak berseragam, untuk foto saja, kami harus antri. Kata suami saya, "berkah Ramadhan tuh buat pemilik toko". Ya, bagaimana lagi, ini satu-satunya studio foto yang tersedia di sini. Semua biaya foto dan cetak 3x4 sebanyak 6 lembar seharga Rp 35.000, Rp 25.000 jika tidak minta salinan foto dalam bentuk CD.
Bismillah, semoga semuanya lancar, dan Allah memberikan petunjuk, kekuatan, kesabaran dan kelapangan hati agar kami dapat menjadi pendidik yang baik untuk anak-anak kami kelak. Amin.
Jadi kapan, kita, ke California? haha. :D
Sebulan terakhir, saya juga sudah berupaya, memperbanyak doa agar ada jalan keluar untuk ini. Pindah tempat tugas? Itu satu-satunya pilihan yang terpikirkan oleh saya. Tapi, sampai hari pendaftaran sekolah sudah di buka. Tanda-tanda menuju ke sana belum terlihat.
Lalu saya, tiba-tiba …
menjadi …
panik…
.
.
sepanik-paniknya. Serius. :)
Antara keinginan, impian, harapan dan kenyataan ternyata tak berbanding lurus, haha … meski ibu saya meyakinkan, bahwa bukan masalah sekolahnya yang harus bagus, tapi bagaimana pendidikan di rumahnya yang harus di mantapin. Tapi tetap saja gimana gitu ya, barangkali saya saja yang berlebihan. :) kagok tiba-tiba Fifi sudah masuk SD aja.
Alhamdulillah, mimpi di pagi hari ini membuat saya bergembira, suasana hati saya mendadak menjadi riang, dan langkah kaki saya menjadi ringan. Mimpi yang baik benar-benar membawa berkah. Hari ini adalah hari pertama pendaftaran sekolah. Pendaftaran di buka selama satu minggu.
Untuk memenuhi persyaratan, pagi ini kami membawa Fifi ke toko baju untuk membelikannya seragam sekolah, memakaikannya dengan lengkap dan bersegera membawanya ke studio foto. Harga seragam lengkap dengan dasi dan topi, semuanya Rp 170.000; dengan sekuat tenaga menawar, tapi tidak bisa turun harga juga. Ya sudah, untuk sementara punya satu seragam dulu cukup, selebihnya nanti dibeli kalau ada kesempatan ke kota. Takjub juga, hari ini studio foto sekaligus toko alat tulis dan fotocopy penuh dengan anak-anak berseragam, untuk foto saja, kami harus antri. Kata suami saya, "berkah Ramadhan tuh buat pemilik toko". Ya, bagaimana lagi, ini satu-satunya studio foto yang tersedia di sini. Semua biaya foto dan cetak 3x4 sebanyak 6 lembar seharga Rp 35.000, Rp 25.000 jika tidak minta salinan foto dalam bentuk CD.
Bismillah, semoga semuanya lancar, dan Allah memberikan petunjuk, kekuatan, kesabaran dan kelapangan hati agar kami dapat menjadi pendidik yang baik untuk anak-anak kami kelak. Amin.
Jadi kapan, kita, ke California? haha. :D
Fifi (tengah) bersama Zalfa dan Khonsa |
Rasanya waktu berjalan begitu cepat saat hari pelepasan TK Fifi berlangsung di hari Sabtu, 06 Juni 2015 lalu. Tangannya yang mungil dan lemah yang biasa saya genggam di malam hari saat ia terlelap, sekarang sudah semakin besar dan kuat. Saya bersyukur Allah dengan 'caranya', dengan 'kuasanya', mengizinkan saya merasakan perasaan seperti ini. Begini ya rasanya menjadi orangtua, saya jadi paham mengapa Bapak bersikap dingin di hari pernikahan saya. Saya tahu Bapak menangis di kamarnya, saya tahu Bapak sedih, matanya berkaca, menahan isak saat saya di pelaminan. Kata ibu, bapak mengingat masa-masa kecil saya. Saat saya baru dilahirkan, katanya rasanya seperti baru kemarin bapak menggendong bayi perempuannya. Dan di hari itu, bapak harus melepaskan saya, yang kemudian hidup mandiri dan berkeluarga. Betapa cepatnya, waktu bergulir. Sekarang, setiap kali sambang, saya juga mulai merasakan hal yang sama. Menemui bapak dan ibu yang bertambah usia, bertambah renta. Saya mengingat masa-masa kecil saat membersamai mereka. Saya mengingat bagaimana mereka berjuang membesarkan saya dengan sangat baik. Jika mengingat semua, saya selalu ingin berusaha menjadi yang terbaik untuk bapak dan ibu. Rasanya tak ada balasan yang lebih baik untuk mereka dibanding menjadi anak yang sholehah, berbakti dan taat kepada Allah. Mudah-mudahan Allah memberi kekuatan dan mengizinkan saya memberikan mahkota terindah untuk bapak dan ibu di yaumil akhir nanti. Amiin.