Bismillahirrohmanirrohim.
"Kamu lihat sendiri kan, diantara semua teman yang ku kenal,
cuma dia saja yang lain"
"Lain bagaimana?"
"Ya... seperti itulah, macam kita tidak pernah berkawan saja.
Urusan mau minta data saja, ribetnya ampun-ampun. Susah deh."
Antara mau mengiyakan dan mengelak, tapi memang begitu adanya.
Kalau sudah berurusan dengan Ressy (bukan nama sebenarnya) ribetnya ampun-ampun
(untung bukan teman sekantor). Orangnya kaku dan dingin. Jangan harap bisa
leluasa berbincang dengan dia. Membuka percakapan dengannya, seperti sedang
melempar bola pimpong ke tembok. Lempar-lempar sendiri, ambil bola yang jatuh
sendiri. Saya sendiri ogah-ogahan kalau harus datang ke kantor Ressy berkaitan
dengan data.
-Alamak, alamat bakalan ribet, berminggu-minggu itu data belum
tentu dapet-.
Tapi, gimana ya, di luar urusan kedinasan, Ressy ini memang
sahabat kami. Bisa dibilang dekat, tapi tidak juga. Mungkin karena
masing-masing dari kami tanpa sadar cukup menjaga jarak. Bukan karena apa-apa,
tapi seperti sahabat saya katakan itu, dia "lain". Ressy bukan tipe
yang enak diajak ngobrol, bisa dibilang mengajaknya berbincang itu cukup
menguras energi, itu karena Ressy tidak akan memulai pembicaraan jika tidak
ditanya, dan jarang sekali bertanya balik. Ressy juga bukan tipe orang yang
ramah, mudah cair dan enak dimintai tolong. Dia terlalu kaku, agak birokratik
dan prosedural.
Ini mengingatkan saya pada sikap dua orang dokter jaga di ruang
UGD yang pernah saya temui. Dokter jaga pagi, saat saya datang, tanpa senyuman
langsung bertanya apa masalahnya, kemudian menuliskan laporan, dan meminta saya
menunggu hasil observasi. Sepanjang berada di ruangan, UGD, dokter bolak-balik
melewati saya, -seolah para pasien tidak ada di situ- tidak bertanya apapun, sampai
saya memulai bertanya lebih dahulu. Dokter jaga malam, yang mana waktu itu saya
sudah terlampau gugup karena dalam sehari mengunjungi ruang UGD dua kali.
Dengan senyuman penuh kehangatan, mempersilahkan saya duduk, bertanya dengan
teliti, mengajak saya berbincang, membesarkan hati saya, "tidak
perlu khawatir Bu, kita opname saja dulu dan lihat bagaimana
hasilnya". Benar saja, di malam itu, sikap kelembutan dan
keramahan dokter jaga malam membuat saya merasa lebih dihargai, istilah
tepatnya "lebih di wong ke", "lebih dimanusiakan", dan itu
membuat saya jauh merasa lebih nyaman, tanpa khawatir sedikitpun tentang apa
yang akan terjadi selanjutnya. Nah, Ressy ini, lebih mirip dengan dokter jaga
pagi. Kalau saya ibaratkan dia seorang dokter yang sedang menangani
pasien,
"Aduh.. sakit dokter.."
jawaban Ressy ini kira-kira:
"Sakit ya? ya iyalah namanya juga melahirkan. Tahan sedikit,
gak usah teriak-teriak berlebihan, nanti tambah sakit" dengan wajah datar
khasnya -tanpa ekspresi-.
Duh, dijamin bakalan tambah sakit rasanya. *pentung mana pentung?
:).
Tentu saja, ini hanya contoh, dan hanya perspektif "agak
jahat" saya saja. Kenyataannya, tidak seperti itu juga lah ya...:). Pada
akhirnya, dalam sebuah kesempatan, persepsi kami tentang Ressy berubah. Itu terjadi
saat salah satu dari kami jatuh sakit dan harus terbaring lemah selama beberapa
hari. Ressy adalah orang pertama yang datang menjenguk, datang berkunjung
beberapa kali, dan sibuk memastikan kondisi terkini. Aura negatif yang selama
ini terpatri dalam fikiran kami hanya karena urusan sederhana terkait pekerjaan
dan urusan sederhana lainnya terkait bincang-berbincang rupanya telah begitu
menyita dan menutup kebaikan-kebaikan yang telah kami terima dari Ressy selama
ini. Sikapnya itu akhirnya menyentuh hati kami, menguatkan kembali ikatan
persahabatan, yang mulanya hambar, menjadi lebih tulus dan dekat.
Saya jadi ingat petuah dari kekasih saya yang seringkali
diucapkannya pada saya, (maklum, manusia itu meski punya telinga, masih saja
suka bebal, jadi harus diingatkan berulang kali), katanya:
"Jangan pernah memaksakan orang lain harus mengerti kamu. Tapi kamu yang harus mengerti orang lain, kamu yang harus menyesuaikan diri"
Iya, itu seringkali terlupakan, terabaikan. Baik sadar ataupun
tidak, seringkali kita terkunkung dengan perasaan merasa diabaikan, merasa
ingin dimengerti. Berharap orang lain mengerti dan memahami, tanpa sadar,
seharusnya bukan begitu. Bisa jadi, dokter jaga pagi yang saya temui itu
sedang banyak fikiran, maklum waktu itu pasien sedang banyak-banyaknya, bisa
jadi saat saya mengajak Ressy berbincang, dia tidak punya bahan, dia pemalu
atau dia memang sedang malas berbincang. Fikiran-fikiran positif yang kita
bangun tentang orang lain akan sangat membantu kita senantiasa sehat dalam menjalin
hubungan. Dan menjadikan hidup ini lebih damai, nyaris tanpa beban. Sebaliknya,
fikiran negatif atau kesalahan kecil yang diperbuat orang lain hanya akan
menghapus kenangan baik kita bersamanya, dan membuat kita hidup tanpa pernah
merasa damai. Fikiran-fikiran seperti, “Kok dia begitu sih sama aku? Kalau
ketemu gak pernah senyum.” “Memang begitu orangnya, pemarah dan pendendam”,
“dia itu pasti gak akan mau kalau diajak jalan” itu kalau diteruskan bisa jadi
boomerang terutama untuk hati kita, yang harusnya penuh kasih, penuh sayang.
Hal ini juga mengingatkan saya, saat pernah begitu kesal pada
seseorang, hanya karena ‘salah memahami sikapnya terhadap saya’, seharusnya
tidak begitu, mungkin juga dia tidak bermaksud begitu, tapi saya menangkapnya
begitu. Kekesalan saya itu membutakan mata saya, bahwa sebelumnya saya pun
pernah tidak sengaja mengeluarkan perkataan yang kemudian saya tahu, bahwa itu
menyakiti hatinya, sementara saya tidak pernah merasa begitu, juga tidak pernah
merasa bermaksud mengeluarkan perkataan itu dengan tujuan begitu. Kelihatan
ruwet ya? Iya, dan akhirnya jadinya begitu, salah tanggap yang berujung pada
saling kesal, saling curiga dan itu memupus persahabatan. Pada saya, itu
membuat saya lupa pada jasa-jasanya, yang memberi tumpangan tinggal saat
pertama kali saya datang merantau ke tempat sejauh itu, menyambut saya dengan
sangat gembira, dengan harapan baru akan terwujudnya persahabatan baru,
membantu saya dalam banyak hal, dan banyak lagi. Lihat? Seharusnya saya tidak
begitu, tidak memenuhi fikiran dengan prasangka yang bukan-bukan, cukup mencari alasan-alasan
baik, kemudian memenuhi fikiran saya dengan fikiran yang positif dan baik.
Mulai saat ini, saya kembali belajar, belajar mendamaikan hati. Belajar
bahwa langkah terbaik untuk memulai hidup dengan damai adalah belajar memahami
dan mengerti orang lain dengan baik, bukan memaksakan kehendak untuk kemudian
berharap dimengerti, berharap dipahami oleh orang lain. Setiap manusia memiliki dua sisi, sisi baik dan sisi lemah. Saya tidak boleh
memaksa orang lain untuk bersikap persis sebaik seperti yang saya harapkan. Karena
sebuah harapan itu pada akhirnya bisa jadi melampaui kenyataan yang bisa
diberikan. Saya juga tidak boleh terlalu berfokus pada sisi lemah dari seseorang. Saya juga belajar tentang meraih kesuksesan. Jika ingin meraih
kesuksesan, jangan pernah menggunakan parameter kesuksesan orang lain. Karena
setiap orang itu berbeda, beda kemampuan, dan beda usahanya. Mampu mengalahkan
orang lain sejatinya bukan kesuksesan, tetapi mampu mengalahkan diri sendiri
itulah kesuksesan sejati.
Hari ini, saya belajar lagi, bahwa memiliki pandangan positif
tentang orang lain, tanpa tuntutan, prasangka dan harapan muluk-muluk
benar-benar membuat dunia ini terasa berbeda, sejuk, damai, tenteram, nyaman,
dan ringan. Meskipun, masalah akan selalu menyertai, gesekan, pertentangan,
ataupun kesalahan-kesalahan kecil yang akan mengganggu jalannya sebuah
hubungan. Seperti tempo hari, saat tetangga saya curhat berepisode (curhatan
panjang dan hampir selalu tema ini yang dibicarakan saat bertemu saya),
“sudahlah, maklumi sajalah, Bu Tun itu memang begitu Bu…
rada-rada, ndak genap otaknya…ini, ini, -sambil nunjuk lima rumah di sekitaran
saya- semuanya itu mana ada yang suka sama Bu Tun. Jadi orang kok orang
begitu…”
Nampaknya selalu saja akan ada kompor di setiap tempat. :) Dan selalu akan ada aura-aura negatif yang
mengganggu. Saya tentu saja tidak mudah begitu saja termakan kata-kata, juga
tidak berusaha menambah atau memihak siapapun, bisa tambah runyam perselisihan
antar tetangga ini jadinya. Saya tetap berusaha mendamaikan keduanya, tapi yang
pasti, saya tidak lagi menaruh harap terlalu tinggi pada sang ibu yang suka
curhat berepisode itu, :) hidayah itu bisa datang
kapan saja, dan dari sudut mana saja, bukan karena dipaksa. Saya, masih harus
berusaha untuk itu, semoga konflik antar tetangga ini segera usai.
Hari ini saya belajar lagi, usai bertemu dengan dokter jaga malam
itu, saya jadi belajar lagi, setelah memiliki cara pandang yang positif, hal
lain yang harus dipelajari adalah belajar ramah, menyenangkan, banyak tersenyum
dan berempati. Belajar menempatkan orang lain, bahwa menghormati diri sendiri
adalah berarti menghormati orang lain juga. Belajar ‘memanusiakan’ manusia. Karena
saat saya diperlakukan seperti itu, saya merasa nyaman, maka saya harus banyak
belajar juga untuk dapat bersikap seperti itu, memberi rasa nyaman pada orang
lain, terutama orang-orang terdekat yang senantiasa membersamai.
Tapi ya itu, memegah teguh nilai kebaikan seperti ini juga butuh
konsisten, keistiqomahan. Perlu terus dilatih, diusahakan. Juga perlu orang
lain untuk mengingatkan. Jadi benar ya, sebaik-baik orang yang beruntung adalah
orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, saling mengingatkan dalam
kebaikan, saling mengingatkan dalam kesabaran.
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
0 komentar