merunduk malu-malu
di bawah semilir pohon randu
kau tanya bagaimana kabarku
dan aku hanya bisu
sambil memainkan kancing baju
adakah engkau rindu?
pada secarik kertas biru
saat pertama kali aku buatkan engkau gambar kupu-kupu?
---
Rindu itu tak berwujud, tidak seperti dedaunan yang berguguran di musim kemarau panjang lalu, tertiup angin, salah satunya, mengenai matamu. Tidak pula, seperti rerintikan hujan, yang jatuh membasahi debu jalanan. Atau seperti bunga-bunga, bermekaran, menyebarkan wewangian. Aku tahu itu. Tetapi bagaimana, menyampaikan rindu, tanpa harus mengatakan rindu?
Apa aku harus berdiri, di persimpangan jalan, menungguimu dalam diam, berwindu-windu?
atau aku harus berlari, sekencang-kencangnya, lantas kehabisan nafas, mengejarmu?
Rindu itu tak beraroma, rindu itu tak bertanda, rindu itu tak bernada, rindu itu tak berirama. Aku tahu itu.
Tetapi rindu itulah yang mewujudkan, rindu itulah yang memberi aroma, rindu itulah yang akhirnya memberi tanda, membuat nada, lantas irama.
Rindu itu, yang membuat si gadis penyulam benang di pinggiran kota kita, mampu merajut berlembar-lembar pakaian. Ia merindui masa depan. Ia merindui istana kecil di tengah kota.
Rindu itu, yang membuat anak-anak penjaja koran, tak pernah bosan melahap bacaan. Mereka merindui masa depan. Mereka merindui kehidupan. Yang lebih baik dari yang bisa mereka rasakan sekarang.
Rindu itu, yang membuat ibu delapan anak itu, tak pernah bosan berjualan. Ia merindui kesuksesan. Ia merindui kebahagiaan, untuk masa depannya, untuk kedelapan anaknya.
ada segerombol burung, terbang
hinggap di tengah-tengah ilalang
saat petang, mereka juga rindu
mereka merindui jalan pulang
Seperti juga aku,
yang beratus-ratus kali mengatakan rindu,
karena aku tahu,
aku punya puluhan ribu alasan dibalik rindu
yang akan terwujud
bersamamu
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
0 komentar