Saya ingat seseorang, yang kehadirannya selalu mampu
membawa kesejukan, damai. Senyumannya ikhlas, menawan. Ia juga ringan tangan,
suka membantu setiap kawan yang kesulitan. Ada juga seorang lagi, yang Allah
karuniai kecerdasan luar biasa, serius menjalani hidup, selalu terdepan, dulu
saya kira akan sulit bagi saya untuk berkawan dengan orang sejenis ini. Suka bicara dengan tempo cepat, perfeksionis, dan terkesan sedikit menggurui. Tetapi, suatu
hari, saat sedang bersama dalam sebuah perjalanan, saya tertenyuh melihatnya dengan
sigap berdiri, mempersilahkan seorang nenek tua untuk menempati kursi busnya,
diantara puluhan orang yang tetap memilih duduk diam, mengamankan posisi. Tidak
hanya satu kali perjalanan, di perjalanan-perjalanan berikutnya, saya hampir
selalu melihat dia begitu, tidak hanya untuk nenek tua, tapi siapa saja, yang
dirasanya membutuhkan. Saya tidak pernah lupa, suatu ketika dalam sebuah perjalanan, ia sibuk memastikan kami mendapatkan kursi dan duduk di bus dengan nyaman, sementara ia sendiri, tidak berkecil hati karena kehabisan kursi, ia nampak terlihat riang dengan posisi berdiri.
Tempo hari, saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu paruh baya dalam perjalanan panjang di speed boat. Tanpa ba-bi-bu, ia langsung mengajak saya berbincang, saya cukup surprise dengan sikapnya yang ramah dan cair, bukan bermaksud sara, tapi ibu ini dari etnis Tionghoa. Di tempat saya bekerja, dulu kami seringkali saling melempar tanggung jawab jika harus melakukan pendataan ke toko-toko Cina yang kebanyakan menguasai perdagangan di suatu wilayah. Selain terkesan kurang ramah, entah mengapa biasanya mereka kurang begitu informatif dalam memberikan data. Memang tidak semua, tetapi rata-rata begitu. Ibu yang satu ini berbeda, ia begitu luwes, terbuka dan enak diajak berbincang. Meski kadang saya cukup menelan ludah saat ia berkisah tentang kebiasaannya berbelanja, hanya untuk pakaian saja, harus pergi ke luar propinsi atau bahkan ke luar negeri jika perlu, ahaha,, saya sih paling banter pergi ke pasar, :). Sejak dulu, saya memang salut dengan etnis Tionghoa, yang sangat ulet, tekun dan gigih bekerja. Tidak heran jika mereka hampir-hampir memenuhi seluruh perdagangan besar yang ada di Indonesia. Berbeda dengan kawan yang selalu ringan memberikan tempat duduk seperti yang saya ceritakan sebelumnya, ibu ramah ini benar-benar enggan untuk menggeser posisi duduknya meski sedikit, sementara penumpang-penumpang disekitarnya berdesakan untuk duduk.
Kebiasaan kawan saya yang selalu tersenyum, kebiasaan kawan saya yang selalu ringan memberikan tempat duduk, juga sikap ramah dan terbuka dari seorang ibu yang baru saya kenal, mengajarkan banyak hal. Di satu sisi, saya tertular kebaikan mereka. Karena tanpa disadari, saya pun ikut melakukan hal baik seperti yang mereka lakukan. Di lain sisi, saya juga belajar untuk tidak pernah menilai 'berat sebelah' kepada seseorang. Sifat baik dan buruk itu selalu ada dalam diri seseorang. Ibarat uang logam, manusia memiliki dua mata sisi yang bertolak belakang. Ketika kita mampu berfokus pada sisi-sisi baik dari seseorang, kehidupan ini akan lebih banyak mendatangkan kedamaian.
Saya ingat pernah berkawan dengan seseorang yang sangat menyebalkan, mudah marah, jutek, egois, dan suka menyalahkan orang lain. Tetapi di sisi lain, ia adalah orang yang sangat bersemangat menyelesaikan sebuah pekerjaan, bertanggung jawab dan memiliki dedikasi yang cukup tinggi. Itulah mengapa, dalam hal pekerjaan ia sangat disukai dan dipercaya, tetapi untuk urusan persahabatan, banyak dari kami yang memilih menjaga jarak dengannya. Saya juga berkawan dengan seseorang dari kalangan orang-orang berilmu, berkepribadian baik dan selalu mampu membantu memecahkan masalah. Tetapi sayangnya, saya cukup terganggu dengan sikapnya yang seringkali mengumbar aib orang lain.
Kita memang tidak dapat menafikkan keburukan sikap dan sifat orang lain, tetapi kita juga tidak boleh menghapus begitu saja kebaikan-kebaikannya. Tidak baik menyimpan luka-luka lama di masa lalu, perasaan tersakiti atas sikap buruk orang lain. Bukankah memaafkan menjadikan hari ini menjadi lebih indah dan damai? Jika memang tidak dapat melupakan keburukannya, maka kenanglah kebaikan-kebaikannya. Jika kebersamaan sejatinya hanya menorehkan luka yang terus menganga, maka bersahabat dengan menjaga jarak dan ritmenya, akan menjadi solusi yang terbaik.
Hari ini, saya belajar satu hal lagi, seusai menjenguk seseorang yang sudah saya anggap sebagai guru. Ia yang sedang bergelut dengan penyakit jantungnya, dimana di tahun-tahun sebelumnya, saya belum pernah berbincang senyaman dan selama itu. Dimana di tahun-tahun sebelumnya, saya tidak selalu bersesuaian dengan sikap dan keputusan yang diambilnya.
"Tetaplah menulis Mbak Nurin, supaya ada kemanfaatan" , dengan seutas senyuman yang diberikannya, saya tahu kalimat itu keluar dari lubuk hati yang terdalam. Saya tersetrum dengan kalimat itu, saya yang sebenarnya sudah benar-benar kehilangan semangat untuk menulis, seketika menjadi bersemangat lagi.
"Beri saya hasil-hasil karya Mbak yang terbaru, saya pasti akan membacanya"
Subhanalloh, kalimat penyemangat yang luar biasa, terimakasih Pak untuk satu kebaikan dari kalimat Bapak yang sungguh mendamaikan. "In sha Allah Pak, In sha Allah..."
Kebaikan itu menular,
dan kebaikan apapun yang datang dari lubuk hati yang terdalam
selalu mampu mendamaikan
-Istikmalia-
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
0 komentar