Bismillahirrohmanirrohim.
"Kalau sedang gemas, saya sering kepikiran untuk diseriusin sampai ke puncak. Jadi menteri atau apalah gitu yang tinggi-tinggi, biar bisa punya wewenang. Karena ternyata kewenangan itu juga perlu dimiliki, untuk diarahkan ke yang baik-baik. Tapi suka mikir juga, kalau sudah di puncak, bisa gak ya melihat ke bawah secara jelas. Di atas itu hembusan anginnya sejuk sekali, pemandangannya juga menyilaukan, bisa-bisa malah lupa tujuan".
Apalagi kalau setiap hari menyaksikan kewenangan yang berubah menjadi kesewenangan. Tambah gemas rasanya!, hanya pertanyaannya, bisakah kita menjadi seseorang yang kuat, yang berada pada jalur kebaikan di tengah-tengah kesemerawutan sistem? diantara tradisi-tradisi buruk turun-temurun nan mendarah daging itu? yakinkah kita (sebagai seseorang yang gemar sekali mendebat, mencela, menghujat) para pemegang kuasa, jika kita menggantikannya, semua akan menjadi lebih baik akhirnya?
Itulah salah satu alasan mengapa saya tidak begitu suka ikut-ikutan dalam komentar-komentar panas tentang kiprah seorang pemain. Ikut beradu argumen tentang siapa calon Presiden yang lebih baik, dengan menjelek-jelekkan calon lainnya. Atau ikut hujat-hujatan tentang identitas seorang calon, yang mana kadang subtansinya jauh daripada esensi, apa hubungannya (misalnya: harga baju yang dikenakan seorang capres dengan kinerjanya nanti dikemudian hari?). Belum lagi, banjir informasi dari berbagai lini media yang saya rasa semakin 'memperkeruh' keadaan. Media tidak lagi berimbang, tidak lagi dapat objektif dalam pemberitaan, yang satu terlalu ke kanan, yang satu terlalu ke kiri, saling berlomba adu kekuatan opini, tarik ulur informasi seperti sedang berlomba tujuh belasan. Pusing! jika itu dampaknya, lebih baik matikan saja semua saluran yang hanya membawa berita-berita sampah, tak bermutu.
Kemudian pertanyaannya, pilpres nanti, pilih siapa?
Itu juga pertanyaan yang sempat mendarat di telinga saya, yang waktu itu saya jawab dengan,
"kalau ada calon alternatif lain, saya masih ingin menunggu..."
dan ternyata dalam kenyataannya, calon presiden kita hanya dua, tidak ada calon ketiga, keempat atau kelima, seperti yang saya harapkan.
Jadi, beberapa waktu ini, saya melakukan itu, menghindar dari membaca dan menonton berita-berita sampah yang seringkali menjemukan, untuk kemudian mengubek-ubek kembali sejarah negeri ini, Indonesia. Seperti yang kawan saya katakan,
Jadi, pilpres nanti, pilih siapa?
Saya ingin menyudahi tulisan ini, tapi sudah terlanjur memberikan pertanyaan di awal. Baiklah, setelah perenungan, pengamatan dan menilik beberapa informasi dan sejarah, pilihan saya in sha Allah jatuh pada nomor tunggal. Bagaimana dengan anda?
#bukan tulisan kampanye
Apalagi kalau setiap hari menyaksikan kewenangan yang berubah menjadi kesewenangan. Tambah gemas rasanya!, hanya pertanyaannya, bisakah kita menjadi seseorang yang kuat, yang berada pada jalur kebaikan di tengah-tengah kesemerawutan sistem? diantara tradisi-tradisi buruk turun-temurun nan mendarah daging itu? yakinkah kita (sebagai seseorang yang gemar sekali mendebat, mencela, menghujat) para pemegang kuasa, jika kita menggantikannya, semua akan menjadi lebih baik akhirnya?
"Lihatlah para penonton sepakbola, sebagai pengamat, yang tahunya hanya melihat, suka sekali berlagak sok, merasa kurang inilah, kurang itulah, kalau perlu sampai menghajar saat tidak puas. Lucunya! sementara yang berkeringat, yang hampir kehabisan napas, yang tersengal-sengal, yang tertekan, adalah segelintir pemain yang berada di tengah lapangan"
Itulah salah satu alasan mengapa saya tidak begitu suka ikut-ikutan dalam komentar-komentar panas tentang kiprah seorang pemain. Ikut beradu argumen tentang siapa calon Presiden yang lebih baik, dengan menjelek-jelekkan calon lainnya. Atau ikut hujat-hujatan tentang identitas seorang calon, yang mana kadang subtansinya jauh daripada esensi, apa hubungannya (misalnya: harga baju yang dikenakan seorang capres dengan kinerjanya nanti dikemudian hari?). Belum lagi, banjir informasi dari berbagai lini media yang saya rasa semakin 'memperkeruh' keadaan. Media tidak lagi berimbang, tidak lagi dapat objektif dalam pemberitaan, yang satu terlalu ke kanan, yang satu terlalu ke kiri, saling berlomba adu kekuatan opini, tarik ulur informasi seperti sedang berlomba tujuh belasan. Pusing! jika itu dampaknya, lebih baik matikan saja semua saluran yang hanya membawa berita-berita sampah, tak bermutu.
Kemudian pertanyaannya, pilpres nanti, pilih siapa?
Itu juga pertanyaan yang sempat mendarat di telinga saya, yang waktu itu saya jawab dengan,
"kalau ada calon alternatif lain, saya masih ingin menunggu..."
dan ternyata dalam kenyataannya, calon presiden kita hanya dua, tidak ada calon ketiga, keempat atau kelima, seperti yang saya harapkan.
Jadi, beberapa waktu ini, saya melakukan itu, menghindar dari membaca dan menonton berita-berita sampah yang seringkali menjemukan, untuk kemudian mengubek-ubek kembali sejarah negeri ini, Indonesia. Seperti yang kawan saya katakan,
Ya, ijtihad politik boleh dan memang harus dilakukan, saya setuju dengan itu, dan saya juga setuju jika setidaknya itu dilakukan dengan cara yang 'berbeda'. Saya tidak setuju jika kekeruhan politik juga harus dilawan dengan kekeruhan politik yang sama. Lantas, apa bedanya? sama-sama kotor, dan tidak mendidik. Jenuh dan sedih juga jika melihat beberapa media dakwah yang kemudian akhirnya menjadi media ngibah dan fitnah, saling serang dan saling tuding, hanya karena pertarungan politik. Justru karena ini sebuah pertarungan, maka alangkah lebih baik angkat wacana-wacana kebangsaan, visi-misi ke depan, dan apa yang hendak di cita-citakan untuk bangsa dan negara ini puluhan tahun akan datang. Sebab, kita tidak sedang memilih sesuatu yang 'biasa', kita akan memilih petarung yang paling handal yang bisa membawa negeri ini ke arah yang lebih baik, pemimpin yang akan menjadi punggung harapan negeri, dan anak panah cita-cita bangsa."Ijtihad politik boleh saja dilakukan, tapi tak perlulah melakukan dengan cara yang sama. Bukankah pembeda itu adalah Islam dan bukan Islam. Maka sudahilah kampanye hitam ini dengan karya nyata bukan janji-janji manis yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Mulailah dengan memberikan wacana keindonesian dengan yang lebih baik dalam mengelola aset negara ini."
Jadi, pilpres nanti, pilih siapa?
Saya ingin menyudahi tulisan ini, tapi sudah terlanjur memberikan pertanyaan di awal. Baiklah, setelah perenungan, pengamatan dan menilik beberapa informasi dan sejarah, pilihan saya in sha Allah jatuh pada nomor tunggal. Bagaimana dengan anda?
#bukan tulisan kampanye
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
7 komentar
Sama, saya juga sebel lihat status2 ttg pilpres. Nomor tunggal itu no. 1 ya? :D
ReplyDeletepilpres kali ini, malah membentuk mental saling menghujat dan mencaci ya, Mba.
ReplyDelete@Leyla Hana Menulis: Ya Mbak, kok tahu sih,, :). Meski sejarah bangsa ini seperti halnya peristiwa 1998 dan G30-S PKI, kelam, simpang siur, tidak jelas bagian mana yang direkayasa, tapi...tapi... karena calon hanya dua,,, dan harus milih... jadi begitu..:D
ReplyDelete@Aisyah Al farisi:Hooh Mbak, ya, konflik kepentingan yang berbenturan, begitulah...
ReplyDelete@Aisyah Al farisi:Hooh Mbak, ya, konflik kepentingan yang berbenturan, begitulah...
ReplyDeleteKalau saya pilih nomor dua mak :p hehe..
ReplyDeleteSemakin tinggi kita semakin kencang ujiannya ya mak.
@Arifah Abdul Majid:salam dua jari!, bentar lagi dilantik, selamat atas terpilihnya pilihannya ya Mak, :D
ReplyDelete