Bismillahirrohmanirrohim,
"Wah, kayaknya tangan Mbak sekarang jauh lebih kasar ya, dibanding waktu kita pertama kali ketemu". Ungkapan spontan dari kawan saya sewaktu kami berjabat tangan, membuat saya cukup malu, dan tertohok. Demi menjaga wibawa dan fakta (halah), saya langsung berdalih.
"Aduh, maaf, saudara-saudara, saya sudah lama gak pakai lotion. Wah, sepertinya saya harus mulai rajin pakai lotion lagi nih". Padahal sih memang iya, saya sudah lama tidak merawat tangan, -sambil terisak memandang warna punggung telapak tangan yang mulai legam, akibat selalu lupa menggunakan kaus telapak tangan saat berkendara-.
"Bukan karena itu deh kayaknya... sekarang kan dia sudah jadi marbot di rumah", kawan saya yang lain ikut meledek. Tak mempan dan tak masuk akal pula alasan saya tentang lotion-melotion lagi.
Haha, kawan saya memang benar. Sepanjang bertambahnya usia pernikahan, sekarang saya sudah pandai menjadi marbot di rumah. Haaah! bukan! bukan itu! maksudnya saya sudah menjadi lebih ahli dan cukup terampil mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kata kawan saya lagi, cakap dan terampilnya seorang perempuan di dapur, bisa terlihat dari telapak tangannya. -langsung ke pojokan, ngamplas tangan,,hehe-.
Setelah menikah, saya belajar banyak ilmu baru. Ilmu psikologi, bagaimana mengenali perasaan suami, bagaimana berkolaborasi, bagaimana cara berkomunikasi, dan banyak lagi. Selain itu, saya juga baru sadar, bahwa ilmu ke-rumahtangga-an ternyata juga sangat penting. Jangan dikira ya, perkara mencuci-memasak-menyapu itu remeh. Saya ingat, sepasang suami isteri yang hampir bercerai, hanya karena sang suami merasa isterinya tidak pandai mencuci. Waktu itu, Bapak saya, langsung memberi nasihat,
"Makanya, semua itu ada ilmunya. Mencari suami juga, yang tahu ilmu, yang tahu agama. Itu bukan seratus persen kesalahan isteri. Lagipula, kata Bapak lagi, perihal mencuci-menyapu, itu bukan tugas utama isteri, kalau isteri ternyata tidak sanggup melakukannya dengan alasan yang syar'i, suami wajib mencarikan seorang khodimat". Nah, tapi bagaimana kalau ternyata tidak bisa mencuci karena tidak pernah melakukan? ya, belajar.
Ibu saya juga ikut-ikutan menasihati, katanya, "jika seorang isteri dengan suka hati dan ikhlas mencucikan selembar pakaian sang suami, maka pahalanya sekian. Mencucikan ini, pahalanya sekian, mencuci itu pahalanya sekian". Saya lupa berapa persisnya, yang pasti waktu itu ibu menjelaskan panjang lebar mengenai pahala-pahala yang diperoleh isteri saat mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang nampaknya remeh seperti mencuci-menyapu-memasak tadi. Maka dari itu, kata ibu lagi, jihadnya seorang isteri itu di rumah, sedang pintu menuju surga adalah suami. Hayo, mana yang ibu-ibu yang suka nunduk dengan malu saat ditanya, pekerjaannya apa Bu? ah, saya cuma ibu rumah tangga. Jangan lagi deh, bilang ibu rumah tangga itu 'cuma'. Itu pekerjaan yang berat, tapi juga bermutu sekaligus berbobot. Saya saja, saat hari libur suka rempong sendiri, haduh kenapa ya, pekerjaan rumah seperti gak ada habisnya. Beda sekali dengan ritme pekerjaan saya yang punya batas waktu penyelesaian. Kalau sudah diselesaikan, ya sudah, bisa santai. Lah, pekerjaan rumah, selesai satu-timbul lagi yang satu, habis yang ini-muncul lagi yang itu. Saya sampai berujar pada suami,
"kenapa ya, kalau hari libur gini, rasanya saya di dapur saja gak kelar-kelar seharian, sampai gak sempat ke teras",
"ah, kamu, kalau mau keluar, keluar aja kaleee", mungkin suami saya mau bilang, kamu lebay deh, hehe. Kalau sudah begitu, suami paling suka berujar, "lagian, siapa juga yang nyuruh kamu ngerjain ini-itu? tinggalin aja, entar juga beres sendiri", itu artinya, suami mau mengerjakan semua. Senangnya... *kipas-kipas di teras.
Tentang belajar ilmu rumahan, baru-baru ini, saya senang bertanya pada kawan saya itu, yang semasa kecil dididik secara cukup militer, sampai-sampai saya sering meledeknya dengan sebutan, "hai, Ibu Persit!", Persit tahukan ya? itu singkatan dari Persatuan Isteri Tentara. Ternyata ya, pekerjaan rumah tangga itu ada ilmunya, saya baru tahu, misalnya, bagaimana tata cara menjemur yang baik dan benar, sehabis mengambil jemuran, seharusnya baju segera dilipat di dalam keranjang, cara melipatnya pun ada tata caranya, cara menyusunnya pun sebisa mungkin disusun sesuai jenisnya, baju ya dengan baju, celana ya dengan celana. Setelah itu, baru di setrika. Mencuci sayur ada ilmunya, memotong sayur ada ilmunya, mencuci piring juga ada ilmunya, merapikan almari juga ada ilmunya. Itu baru masalah yang kecil, belum lagi soal memasak, "Yaelah, bukan guwe banget dah!" waktu mendapat penjelasan sedetil sesuai SOP, saya suka menyeletuk begitu. Tapi ya, namanya seorang pembelajar, harus berani bertanya tanpa malu, kalau ada ilmu baru, segera diserap dan diterapkan.
Hal ini juga berlaku untuk yang lain. Saya jadi kembali mengingat, tentang seorang sahabat lama saya yang tidak lagi saya hubungi. Bukan karena bermusuhan atau apa, tapi, karena saya kurang nyaman berbicara dengannya, yang mana ujung-ujungnya hampir selalu berakhir dengan perdebatan. Percakapan terakhir yang saya ingat, adalah perkataannya yang mengatakan saya sudah tidak bersesuaian lagi dengan tuntunan Rosulullah, hanya karena berbeda pendapat di masalah furu', dan perkataannya yang meminta saya untuk tidak menghubunginya lagi. Duh...duh...duh... saya pun mengakhiri dengan mengatakan, Rosululloh itu tidak pernah menganjurkan umatnya untuk memutus tali silaturohim. Jadi sebenarnya, siapa yang sedang bertentangan dengan ajaran Rosul?. Itu belum termasuk perdebatan-perdebatan lain seperti halnya buku bacaan yang saya baca, juga termasuk aktivitas saya sebagai seorang birokrat. Pokoknya ribet deh, semua hal yang tidak sejalan dengan pemikirannya, semua disalahkan.
Seperti yang saya gambarkan di awal, bahwa semua hal itu ada ilmunya. Jadi, alangkah baiknya kita tidak berbicara, manakala kita memang tidak tahu. Mudahnya, jangan sok tahu, kalau memang kita tidak tahu. Terus belajar dan tuntutlah ilmu, jangan mudah berpuas diri. Terutama sekali untuk ilmu-ilmu syar'i, ilmu-ilmu agama yang harus kita ketahui. Bukan karena kita sudah lancar membaca Al-Quran, kemudian tidak mau belajar lagi. Pelajari lagi makhrojnya, belajar lagi tajwidnya, belajar lagi maknanya, datangi seorang guru, sebab yang paling utama dari mendapatkan ilmu adalah dengan mendatanginya.
Ketika menuntut ilmu terasa berat, maka ingatlah bagaimana Allah memuliakan kedudukan para penuntut ilmu.
"kenapa ya, kalau hari libur gini, rasanya saya di dapur saja gak kelar-kelar seharian, sampai gak sempat ke teras",
"ah, kamu, kalau mau keluar, keluar aja kaleee", mungkin suami saya mau bilang, kamu lebay deh, hehe. Kalau sudah begitu, suami paling suka berujar, "lagian, siapa juga yang nyuruh kamu ngerjain ini-itu? tinggalin aja, entar juga beres sendiri", itu artinya, suami mau mengerjakan semua. Senangnya... *kipas-kipas di teras.
Tentang belajar ilmu rumahan, baru-baru ini, saya senang bertanya pada kawan saya itu, yang semasa kecil dididik secara cukup militer, sampai-sampai saya sering meledeknya dengan sebutan, "hai, Ibu Persit!", Persit tahukan ya? itu singkatan dari Persatuan Isteri Tentara. Ternyata ya, pekerjaan rumah tangga itu ada ilmunya, saya baru tahu, misalnya, bagaimana tata cara menjemur yang baik dan benar, sehabis mengambil jemuran, seharusnya baju segera dilipat di dalam keranjang, cara melipatnya pun ada tata caranya, cara menyusunnya pun sebisa mungkin disusun sesuai jenisnya, baju ya dengan baju, celana ya dengan celana. Setelah itu, baru di setrika. Mencuci sayur ada ilmunya, memotong sayur ada ilmunya, mencuci piring juga ada ilmunya, merapikan almari juga ada ilmunya. Itu baru masalah yang kecil, belum lagi soal memasak, "Yaelah, bukan guwe banget dah!" waktu mendapat penjelasan sedetil sesuai SOP, saya suka menyeletuk begitu. Tapi ya, namanya seorang pembelajar, harus berani bertanya tanpa malu, kalau ada ilmu baru, segera diserap dan diterapkan.
Hal ini juga berlaku untuk yang lain. Saya jadi kembali mengingat, tentang seorang sahabat lama saya yang tidak lagi saya hubungi. Bukan karena bermusuhan atau apa, tapi, karena saya kurang nyaman berbicara dengannya, yang mana ujung-ujungnya hampir selalu berakhir dengan perdebatan. Percakapan terakhir yang saya ingat, adalah perkataannya yang mengatakan saya sudah tidak bersesuaian lagi dengan tuntunan Rosulullah, hanya karena berbeda pendapat di masalah furu', dan perkataannya yang meminta saya untuk tidak menghubunginya lagi. Duh...duh...duh... saya pun mengakhiri dengan mengatakan, Rosululloh itu tidak pernah menganjurkan umatnya untuk memutus tali silaturohim. Jadi sebenarnya, siapa yang sedang bertentangan dengan ajaran Rosul?. Itu belum termasuk perdebatan-perdebatan lain seperti halnya buku bacaan yang saya baca, juga termasuk aktivitas saya sebagai seorang birokrat. Pokoknya ribet deh, semua hal yang tidak sejalan dengan pemikirannya, semua disalahkan.
“Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui? Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat
yang dapat menerima pelajaran”. (QS. 39: 9)
Seperti yang saya gambarkan di awal, bahwa semua hal itu ada ilmunya. Jadi, alangkah baiknya kita tidak berbicara, manakala kita memang tidak tahu. Mudahnya, jangan sok tahu, kalau memang kita tidak tahu. Terus belajar dan tuntutlah ilmu, jangan mudah berpuas diri. Terutama sekali untuk ilmu-ilmu syar'i, ilmu-ilmu agama yang harus kita ketahui. Bukan karena kita sudah lancar membaca Al-Quran, kemudian tidak mau belajar lagi. Pelajari lagi makhrojnya, belajar lagi tajwidnya, belajar lagi maknanya, datangi seorang guru, sebab yang paling utama dari mendapatkan ilmu adalah dengan mendatanginya.
"Barang siapa yang melalui suatu jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahlan baginya jalan menuju surga", Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Huroiroh. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi dari Abu Huroiroh, beliau mengatakan bahwa hadits ini hadits hasan.
Mencari ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ahamad dan Ibnu
Majah).
“Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman di antara
kalian dan yang diberi karunia ilmu sebanyak beberapa derajat. Allah
Maha mengetahui apa saja yang kalian kerjakan.”Q.S Al-Mujadilah:11.
Majah).
“Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman di antara
kalian dan yang diberi karunia ilmu sebanyak beberapa derajat. Allah
Maha mengetahui apa saja yang kalian kerjakan.”Q.S Al-Mujadilah:11.
Wallohua'lam bishshowab,,,
Semoga bermanfaat,,,
Jumat pertama di tahun 2014,,^^
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
11 komentar
Dunia rumah tangga memang dunia yg memiliki keunikan dan keasyikan tersendiri :D
ReplyDelete@Santi Dewi: hehe,, iya Mbak,,, :)
ReplyDeleteSemua ada ilmunya,tpi tdk semua didapat dr ilmunya....:)
ReplyDeleteSemua ada ilmunya,tpi tdk semua didapat dr ilmunya....:)
ReplyDeleteBeneeeer, semua harus ada ilmunya. BTW, saya selalu bangga menjadi Ibu Rumah Tangga. Nggak pernah nyebut kata "cuma" atau "hanya" :)
ReplyDeleteSemua memang ada ilmunya...klo g ya jd salah langkah...dah capek2 tp salah..ya mubadzir...ilmu bs dr mn sj dr buku,dr pengalaman, dr lingkungan, org tua tmn, dll...belajar hrs dilakukan trus tanpa henti selama anak adam msh bernafas gt kan mak...
ReplyDelete@Oci YM: Mbak Oci, bukunya sudah makin banyak ya? #kagum. :)
ReplyDeleteIya Mbak,,, harus bangga memang,,,:)
@Hafizah Sophia: benar sekali itu Bu, ilmu bisa di dapat juga dari praktek,,,:)
ReplyDelete@Irowati:
ReplyDeleteBeneeeeeeeeeeeerrrr bangets Mak...:)
marbot itu apa ya??
ReplyDelete@a.e.zen: itu tukang beberes Mbak, biasanya dipake untuk kata marbot masjid,,, :)
ReplyDelete