Bismillahirrohmanirrohim,,,
Paling enak itu ya, mengenang masa lalu, tentunya bagian yang indah-indah saja, saya seringkali begitu. Saya seringkali mengingat masa kecil, juga mengingat masa-masa sekolah dulu. Sekali waktu, mengingat masa-masa kampus yang rasanya nano-nano. Ehm,,, lupakan dulu tentang rumus-rumus yang memberatkan bak membawa seribu bata itu, lupakan sulitnya menaiki tangga demi tangga hingga sampai pada kelulusan. Hai hai, mari lihat betapa indahnya persaudaraan kami disana. Bersuku-suku, beragam budaya, campur jadi satu, menjadi satu lingkaran cinta yang indah.
Milha dan Jauhar. Kira-kira seumuran ini saya dan Nihlah ketika itu |
Suatu siang, menjelang sore, saya dan Nihlah, yang kebetulan sedang duduk-duduk bermain di teras rumah, melihat segerombolan orang, tentu saja mereka dari penduduk di bawah gunung. Ah ya, kami tinggal di atas gunung, di perumahan guru, di dekat sekolahan, di sini hanya ada dua perumahan guru, di belakang rumah kami masih hutan, (kenapa jadi banyak di- ya?) hutan tersebut sekaligus berfungsi sebagai kuburan. Konon katanya, di hutan belakang rumah ada pekuburan tentara Belanda dan Jepang yang dulu menjajah tempat ini. Nah, karena itu, setiap ada yang meninggal, rombongan yang akan menguburkan pasti akan melewati rumah kami. Tepat di rombongan belakang, saya mendapati satu-dua kawan main kami. Mereka dengan senyum yang mengembang –seolah hendak berangkat tamasya- melambai lambai,