Credit |
Masih ku ingat, saat
pertama kali bertemu Mira, gadis berjilbab merah muda di sudut teras masjid
kampusku. Matanya dan mataku, bersitatap tanpa disengaja. Hari itu, untuk
pertamakalinya aku merasakan sebuah desiran lain dihatiku, aku menikmati
tatapannya yang hangat. Hari itu, untuk pertamakalinya juga aku bisa melihat
sosok selain Neng Zakiyah. Neng Zakiyah, gadis yang namanya telah tersimpan
lama di hatiku, teman masa kecilku, putri Kiai Anshori, tempat dimana aku
pernah menimba ilmu.
“Menikahlah
denganku, Mira…”.
Suatu senja di sudut teras masjid, di tempat yang sama saat pertama kali kami bertemu, aku memberanikan diri melamar Mira. Mira yang kala itu bersama seorang teman perempuannya, terus menunduk dan diam.
Suatu senja di sudut teras masjid, di tempat yang sama saat pertama kali kami bertemu, aku memberanikan diri melamar Mira. Mira yang kala itu bersama seorang teman perempuannya, terus menunduk dan diam.
“Datanglah
ke rumahku Mas, temui orangtuaku…”
Sesederhana itu saja,
dan dua minggu kemudian pernikahan kamipun dilangsungkan. Dengan persiapan yang
sederhana, tanpa pesta meriah dan baju pengantin yang wah. Aku menggunakan baju
jas yang dulu pernah ku kenakan saat perpisahan di SMU, sementara Mira
menggunakan busana kebaya putih pinjaman dari sahabat karibnya. Umurku saat itu
21 tahun, dan Mira baru saja berulangtahun ke-20. Mira dengan riasan tipis,
tampak begitu cantik saat bersanding di dekatku seusai akad. Aku tertawa geli,
saat menyaksikan Mira yang hampir terus-terusan mengusap wajahnya dengan tisue. “Mira malu mas, Mira kelihatan kayak topeng monyet ya?”
Setelah
jeda yang begitu lama, lelaki itu menghabiskan isi gelasnya dengan sekali
tegukan.
“Mas…”, perempuan bermata sembap itu
mencoba membuka percakapan.
Tak ada suara, tak ada balasan. Lelaki itu bergeming.
“Mas…”, perempuan itu beringsut,
menjatuhkan badan, duduk menghamba, dengan gemetar hendak merengkuh telapak
kaki lelaki yang begitu dicintainya, air matanya jatuh, satu-satu.
“Jangan…”, lelaki itu membalikkan badan,
menyentuh pundak sang perempuan dengan segera.
Laiknya adegan drama yang diperlambat, lelaki
itu merangkulkan tangannya, perlahan, mendekatkan wajah sang perempuan yang tak
berani menatapnya, ke dadanya.
“Ma-af”, bibirnya kelu, gemetar.
“Maafkan aku, a…ku belum mampu,
melupakan Mira”
“Tidak. Akulah yang terlalu Mas, aku
terlalu cemburu”
“Tidak. Akulah yang tak mampu melihatmu…
Aku, yang masih sering membanding-bandingkanmu”, malam ini, bulan sabit seolah
menjadi penghias bagi sepasang kekasih yang beradu dalam tangis, saling
menyuarakan isi hati.
“Bagaimana kalau besok kita mengunjungi
Mira Mas?”, senyum sang perempuan kini mengembang, tak ada malam yang lebih
damai dibandingkan malam ini.
Lelaki itu menyentuh pipi sang perempuan
yang kemerahan, mengusap bekas airmatanya. Memejamkan mata, mendaratkan sebuah ciuman di dahi sang perempuan yang hangat, cukup lama.
“Kau yakin, tidak apa-apa?”
“Iya…” senyumnya kembali mengembang,
kali ini lebih manis.
“Baiklah, besok kita akan pergi ke
makamnya”, lelaki itu membalas senyuman, mesra. Menurunkan dagu, menghembuskan nafas, kemudian membisikkan sebuah kalimat di telinga sang perempuan.
"Terimakasih, Zakiyah..."
"Terimakasih, Zakiyah..."
Tulisan ini dibuat untuk Monday Flash Fiction, Prompt #20: Lelaki
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
26 komentar
Ending yang tak terduga.. Keren ueeyy... ^^
ReplyDeleteManis ^^
ReplyDeleteKayaknya endingnya lebih asyik kl berhenti di kalimat yang ada makamnya. Karena agak aneh mereka mesra-mesraan padahal sebelumnya dingin. Kayaknya adegan itu enggak lebur gitu.
ReplyDelete@Bunda Dzaky terimakasih Bunda,,, ^^
ReplyDelete@noichil
ReplyDeleteSiapa? maksudnya penulisnya yang manis ya? #geer..^^
@Evi Sri Rezeki Terimakasih masukannya Mbak. Iya Mbak, saya sudah coba baca ulang lagi, masukannya baik sekali, saya sedang memikirkan ulang dialog yang pas agar di ending tetap kebaca tentang Zakiyah. Atau mungkin Mbak ada saran dialog?
ReplyDeletewah si Mas dapat dua-duanya....:)
ReplyDeleteEh, iya. Ini kayaknya mending dipotong bagian mesra-mesraannya.
ReplyDelete@WidaAya
ReplyDeleteMau? :)
@Evi Sri Rezeki
ReplyDeletesetuju dengan mba Evi. lebih pas kalau sampai makam itu saja.
@空ã‚セノ terimakasih, sudah diperbaiki ^^
ReplyDelete@ry24
ReplyDeleteOkeh,,, yang sekarang sudah saya benahi,,,
Ini jadinya akhirnya nikah sama mira lalu setelah mira meninggal menikah dengan zakiyah ya? Agak lola nih saya. Hehe
ReplyDeletehehehehehe iya nih, dapet duaduanyah :D. setuju sama mbak evi juga :)
ReplyDeleteendingnya ga terdugaaaaa yaaaa :) huhu ada sisi islami juga aku suka, cuma ga happy ending :(
ReplyDelete@Karryna
ReplyDeleteBetul sekali Mbak,, seperti itu ceritanya... :)
@na' Hehe... iya Mbak, semoga gubahan yang sekarang lebih pas,, :)
ReplyDelete@bella citra Dinasti Iya Mbak, terima kasih sudah datang membaca. :)
ReplyDeleteLove it :)
ReplyDelete:) pengertian, kebesaran hati dan keihklasan..
ReplyDeletememang beda pernikahan sama pacaran ya mbak :D
ng... buatku ceritanya manis tapi twistnya kurang asik :)
ReplyDeleteLelaki itu tak bergeming.
ReplyDeletebergeming = diam saja.
tak bergeming berarti?
@noestyle
ReplyDeleteterimakasih,,, :)
@duniane8 ya, beda banget memang,,, :)
ReplyDelete@Latree supaya lebih asyik bagusnya bagaimana Mbak?
ReplyDelete@Red Carra oh iya, oke, -edited-
ReplyDelete