Sumber gambar: tnp2k.go.id |
“Kalau dinilai dari keekonomian, harga
BBM memang seharusnya naik, selain harga di Negara kita jauh lebih murah
dibanding Negara-negara lain, masak iya, kita beli satu botol minuman bisa
sampai Rp 10.000, sedangkan BBM Cuma Rp 4.500?
sementara BBM itu bahan yang tidak terbarukan, mengambilnya saja susah,
minyak yang kita gunakan hari ini, belum tentu besok ada gantinya…”
Begitu ungkapan salah seorang kawan, yang cukup mengerti tentang kajian ekonomi. Tetapi, dilematis sebuah kebijakan yang sedang di usung, di negeri kita, seringkali tidak hanya bergantung pada satu dimensi pokok saja, -ekonomi- seperti yang kawan saya katakan, masalahnya menjadi komplek sebab satu dimensi berhubungan dengan dimensi-dimensi lain, saling berhimpitan, saling bertubrukan, runyam. Tengok saja! Saat kebijakan ini sedang dirapatkan di parlemen, belum lagi palu diketuk, media ramai membicarakan soal bagi-bagi uang selisih anggaran subsidi BBM bagi partai-partai pendukung kenaikan BBM, begitulah siasat politik, katanya. Kemudian, di luar sana, ratusan (mungkin juga lebih) pendemo yang tertangkap kamera, sudah terlebih dahulu berbuat anarkis dengan merusak pelbagai atribut Negara, apa hubungannya? Menyandera kendaraan plat merah, apa hubungannya?, membakar gedung, membakar kantor, yang lagi-lagi membuat saya tidak habis fikir, apa hubungannya benda-benda mati yang dirusak itu dengan kenaikan BBM? sampai disini saja, kita sudah berbicara tiga dimensi, ekonomi-politik-sosial. Bahwa kebijakan ini telah dibicarakan dipucuk-pucuk pimpinan elit negeri dengan para ekonom, benar adanya. Bahwa dibalik kebijakan, selalu tercium aroma politik, dengan istilah ada udang dibalik batu, juga tak terhindarkan. Tetapi yang lebih tidak terhindarkan, adalah gejolak sosial yang akan muncul setelah adanya kenaikan harga BBM.
Setidaknya, setelah kebijakan kenaikan
BBM ini bergulir, ‘bola panas’ pun mulai bergulir. Harga barang naik, mulai
dari transportasi, harga bahan pangan, sampai dengan sektor jasa. Pasar mulai panas, kalangan menengah ke bawah mulai gerah. Ah, sebagai seorang Ibu Rumah
Tangga, saya pun mulai merasakan harga-harga bahan makanan yang mulai merangkak
naik, terlebih kenaikan BBM ini jatuh mendekati bulan puasa dan hari raya.
Tetapi, sebagai seorang birokrat, ada yang lebih membuat saya deg-degan dan
khawatir. Yakni saat pemerintah mulai akhir bulan Juni ini menggulirkan salah
satu Program Perlindungan Sosialnya yakni BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat).
Sebelumnya, kita diricuhkan oleh pemberitaan tentang politik impor sapi, yang
mana ketika itu saya juga turut khawatir, sebabnya, beberapa kali nama BPS
disangkutpautkan, dengan nada sedikit miring, yakni tentang diragukannya hasil
Pendataan Sapi Perah dan Kerbau (PSPK) 2011.
Kali ini, pemerintah mulai akan
menggulirkan beberapa program perlindungan sosial, dimana basis data yang
digunakan adalah hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang telah
dilakukan oleh BPS sebanyak 3 kali. Yakni, PSE 2005, PPLS 2008, terakhir yakni
PPLS 2011. Publik atau masyarakat tidak akan peduli, bagaimana asal-muasal BPS
dapat melakukan pendataan yang boleh dikatakan menyalahi kodratnya sendiri. Masyarakat juga tidak akan peduli dengan sistem
atau mekanisme yang telah dilakukan masing-masing pihak yang turut andil dalam
pengguliran program ini. Tetapi, yang ada dibenak masyarakat saat KPS (Kartu
Perlindungan Sosial) dibagikan sebagian besar adalah, “lho, kok saya tidak
dapat? Saya juga tidak mampu…”, “lho, kenapa yang kaya dapat, yang punya motor
dapat, saya tidak dapat?”. Ditambah lagi, mediapun mulai memblow-up dalam
berita-berita, seperti misalnya, “pembawa KPS yang sedang mengantri BLSM,
datang dengan motor baru, tanda tanya??”. Atau dengan headline yang lebih menantang, “Penerima BLSM tidak tepat
sasaran?”. Dan, yang paling saya khawatirkan, adalah saat masing-masing pihak
saling menyalahkan, saling lempar tanggung jawab tanpa mau tahu duduk
permasalahan, saling tuding, hingga berujung kepada anarkisme yang keliru dan tidak tepat sasaran. Termasuk, jika ada
pihak yang angkat tangan, kemudian tunjuk hidung, “kami tidak tahu apa-apa, ini
data dari BPS”, tanpa embel-embel, tanpa koma, titik.
Kekhawatiran yang sama, yang juga saya
rasakan dari kedua bola mata Bapak Petugas Pos, yang seminggu lalu datang ke kantor,
membawa kabar.
“Mbak,
data BLSM sudah datang, saya sudah mulai bagi-bagi kartu Mbak. Silahkan BPS
datang untuk mengawasi program ini”.
Saya tidak serta merta membantah
perkataan petugas pos yang hari ini datang tidak seperti biasa, ia datang
dengan kedua bola mata kantuk dan lelah yang teramat. Bagaimana tidak!
Dikabupaten tempat tugas saya, ini adalah satu-satunya kantor pos di pusat ibu
kota Kabupaten dengan dua orang pegawai. Satu sebagai pimpinan yang berdiam di
kantor mengurusi layanan masyarakat yang hendak melakukan transaksi pengiriman
dan yang lain. Sementara yang satu lagi, bertugas di lapangan, sebagai
pengantar surat atau paket. Kini, pekerjaannya bertambah, untuk membagikan KPS door to door sebanyak 583, untuk dua
kecamatan yakni Sesayap dan Sesayap Hilir sisanya, sebanyak 394 dibagikan oleh
petugas pos dari Tarakan, mengingat wilayah Tanah Lia yang dekat dengan Tarakan.
“Wah
Mbak, Desa ndak mau tahu, nih ada yang meninggal, ada yang gak sesuai, dimana-mana
lagi ribut nih Mbak pokoknya”.
Data Rumah Tangga Sasaran (RTS) bersumber dari Basis Data Terpadu (BDT) yang dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Pendataan RTS telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu: Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) pada tahun 2005, Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) pada tahun 2008, dan yang terakhir PPLS pada tahun 2011.
Dalam rangka meningkatkan keakuratan data RTS, metodologi pendataan RTS disempurnakan, yang mana penyempurnaan metodologi tersebut dikoordinasikan oleh TNP2K. Pendataan di lapangan untuk mencacah seluruh karakteristik Rumah Tangga sasaran dilakukan oleh BPS. Hasil pencacahan tersebut disampaikan kepada TNP2K untuk diolah sehingga menghasilkan 40% data Rumah Tangga dengan status sosial ekonomi terendah. Data tersebut kemudian dikelola sebagai Basis Data Terpadu (BDT).
Berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT), diputuskan bahwa KPS diberikan kepada 25% Rumah Tangga dengan status sosial ekonomi terendah. Sebagaimana diketahui, bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada bulan September 2012 adalah 11,66%. Maka, pemberian KPS tidak hanya mencakup mereka yang miskin namun juga mencakup mereka yang rentan.
(sumber: www.tnp2k.go.id)
Artikel terkait: BLSM, Balsem 'Panas' (2)
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
5 komentar
Saya setuju mba, ketika bbm naik, yg terkens imbasnya bukan hanya sektor Ekonomi saja.
ReplyDeleteDitambah lagi pelaksanaan blsm yang karut marut.
Oooh semoga ke depannya pemerintah lebih memperhatikan rakyatnya
@Aisyah Al farisi Ya Mbak, dilematis memang, sama dilematisnya waktu dulu ada BLT...
ReplyDelete@Aisyah Al farisi iya Mbak, dilematis memang... terkadang sebuah kebijakan sarat muatan 'hal-hal lain', sedilematis saya waktu menulis ini... -_-
ReplyDeleteTermasuk, jika ada pihak yang angkat tangan, kemudian tunjuk hidung, “kami tidak tahu apa-apa, ini data dari BPS”, tanpa embel-embel, tanpa koma, titik. <<== ini yang paling ngenes T________T
ReplyDelete@Millati Indah bener bangetlah...
ReplyDelete