Mengenangmu,
Tak
habis-habis aku
Tak
jua sampai
Tak
juga selesai
Seharusnya, kamu, tak ada lagi di
fikiranku, sebab keberadaanmu, bagaikan kutu di rambutku, mengganggu. Seharusnya,
aku pun tak perlu lagi memikirkanmu, sebab kamu, hanyalah masa lalu, seperti
sisa air hujan yang menetes dari balik jendela kamarku, segera pergi, dan tidak
pernah abadi.
Apa kau tahu, bayang-bayangmu, yang
acapkali hadir tanpa kuminta, begitu menghantuiku. Aku berharap kamu segera
tahu, lalu menolongku, agar kemudian aku bisa menghapus jejakmu, atau
setidaknya agar aku tak lagi menyusun harap bertemu denganmu, mengulang masa
lalu, merekonstruksi pilihanku, membuat keputusan bijak, lalu hidup dengan
cita-cita sederhana, -bersamamu-.
***
Perempuan itu masih disana. Duduk terpekur
menghadap ke jendela. Menunggui hujan, sebentar tertawa, sebentar menangis.
“Makanlah, sudah hampir senja. Sedari
pagi belum ada sebulir nasipun yang masuk ke perutmu”, seorang lelaki muda
masuk, tanpa mengetuk, membawakan sepiring makanan.
perempuan itu menatap tajam,
menyeringai, prang… piring itu melayang, isinya tumpah, beterbangan, mengenai
mata sang lelaki muda. Seperti membangunkan macan tidur, perempuan itu
mengamuk, meronta, kedua tangannya mengepal, lantas memukul-mukul perutnya
seperti sedang menabuh beduk.
“Ibu… ibu … seharusnya kamu memanggilku
ibu…”,
***
Suara pintu berderak. Perempuan itu kini
terlelap, di atas dipan. Sementara sang lelaki muda menungguinya, disamping
dipan.
“Bagaimana kondisinya?”
”Jauh lebih baik Ma…”
Perempuan paruh baya yang dipanggil mama
itu menarik napas, lega.
“Obatnya sedang bekerja. Mungkin ia akan
tertidur lama”, timpal sang lelaki muda sambil mengemasi bekas jarum suntik dan
botol obat-obatan.
Suasana hening sejenak,
“Sampai kapan Kakak akan terus seperti
ini Ma?”
Perempuan yang dipanggil mama itu kembali
menarik nafas. Kali ini lebih dalam, lebih panjang.
“Mungkin ini balasan, setelah perbuatan
aborsinya yang nista itu…” mata tuanya berkaca-kaca, menatap sebuah garis patah-patah, berwarna putih, di jendela, gambar seorang bayi, perempuan.
Jumlah kata: 272.
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
10 komentar
Umm... Entah kenapa aku nggak bisa lihat hubungan 2 paragraf pertama dengan paragraf-paragraf selanjutnya. Atau karena aku yang lemot ya? Hmm... Ceritanya bagus sebenernya.
ReplyDeletesad :(
ReplyDeleteHiks, jadi gila ya? :(
ReplyDeleteIya. Idenya bagus. Coba kalimat-kalimatnya lebih pendek :)
ReplyDeleteIMO sih...
kurang terasa penderitaan penyesalannya.
ReplyDeletedi ending... jangan lah si ibu bilang 'nista'. kesannya ga ada empati sama sekali ke anak sendiri.
@空ã‚セノ tapi... ada tapinya ya Mbak... dua paragraf itu maksudnya adalah lamunan sang perempuan ...
ReplyDelete@Santi Dewi :),,,
ReplyDelete@Karryna iya Mbak...
ReplyDelete@Red Carra Iya Mbak, kebiasaan pake bahasa hiperbol... sarannya diterima, perlu banyak berlatih lagi nih...:)
ReplyDelete@Latree
ReplyDeleteterimakasih masukannya Mbak...:), saya beri 'nista', sebagai tanda bahwa ibunya tidak setuju dengan perbuatan anaknya. Siip... lain kali belajar lagi...:)