Suatu ketika, saya menemukan sepenggal tulisan saya -tidak banyak memang, kira-kira 1 paragraf- muncul dalam kalimat pembuka- sebuah buletin. Remuk, redam, hancur hati rasanya setelah mendengar sendiri dari penulis di buletin tersebut yang dengan jelas dan terang benderang mengaku bahwa kalimat-kalimat itu adalah hasil pemikirannya. Saya bahkan sempat bertanya berulangkali untuk memastikan, dan jawabannya tetap sama. Barangkali ada yang merasa heran, saya sampai sebegitunya. Jika hanya berupa tulisan biasa, saya mungkin tidak akan terlalu menggubris. Tetapi, tulisan tersebut adalah hasil perenungan ditambah bergadang semalaman, karena itu saya hafal betul bagaimana bentuk tulisan tersebut. Dan lagi, tulisan tersebut adalah sepenggal isi surat yang saya berikan kepada seorang kawan (yang notabenenya juga kawan sang penulis buletin) saat acara perpisahan kelas.
Menulis -bagi siapapun yang pernah menulis- kelihatannya memang hal yang sederhana, tetapi sejatinya orang-orang diluar sana, maksud saya, yang hanya tinggal membaca, menerima jadinya, mungkin belum tahu bahwa proses menulis tidaklah sesederhana hasil jadinya. Proses menghasilkan sebuah tulisan melewati berbagai fase yang berliku, terkadang terjal, menguras keringat, tenaga dan otak. Pernah, tulisan dalam sebuah web dimana saya termasuk salah satu pengelolanya, di copas sama persis oleh web lain yang cukup ternama. Geram, tentu saja. Sebab bagaimanapun, setidaknya, meski tanpa permisi, bukanlah tidak sulit mencantumkan sumbernya. Tetapi, lagi-lagi, mengingat masing-masing web ini, sama-sama bertujuan untuk menyebarkan kebaikan. Kami bersepakat, untuk tidak lagi memperkarakan, dan memaafkan. Setelah kejadian tersebut, saya memang jadi lebih berhati-hati, mengurangi dengan semaksimal mungkin kutipan atau saduran dari tulisan orang lain kecuali jika memang benar-benar dibutuhkan, dengan tidak lupa mencantumkan sumbernya. Selain, berusaha menghargai hasil tulisan sendiri,
Setelah melalui berbagai pengalaman tidak mengenakkan berkaitan dengan plagiarisme, terlebih di dunia maya, dimana pintu plagiarisme semakin terbuka dengan sangat lebar, ada baiknya kita mengetahui sedikit tentang plagiarisme.
Plagiarisme atau plagiat berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah: pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-oleh karangan (pendapat dsb) sendiri. Jadi, apapun yang kita kutip dari tulisan orang lain, sebaiknya dituliskan sumbernya, diberi catatan atau semacamnya, dan jangan sekali-kali membuat tulisan tersebut seolah hasil pemikiran sendiri. Selanjutnya orang yang melakukan plagiat dinamakan sebagai plagiator. Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain, hal ini harus menjadi perhatian penting bagi para penulis untuk lebih berhati-hati dan memperhatikan apa yang ditulisnya. Plagiarisme, dalam hukum, dianggap sebagai pelanggaran hak cipta yang diatur dalam UU No 19 Tahun 2002. Meski demikian, dalam praktiknya, jarang ada penanganan yang serius terhadap pelaku plagiat, kecuali jika benar-benar ingin memperkarakan. Seandainya saya penulis kenamaan dan memiliki bargaining position yang mumpuni, mungkin saya akan berpikir ulang jika akhirnya harus melupakan kasus-kasus yang pernah menimpa saya. Tetapi, jika mengingat harus bersibuk-sibuk ria dengan kasus pidana, pengacara dan lain sebagainya, maka memaafkan menjadi jauh lebih baik, habis perkara.
Saat saya berkecimpung dan menjadi salah satu tim penulis materi di LDU-ku, sebuah kritikan mendarat tepat pada saat sayalah yang menulisnya. Katanya, tulisan-tulisan di LDU-ku ketinggian, bahasanya tidak membumi, dan bahasa yang digunakan terlalu mirip dengan bahasa 'Tarbawi' (nama sebuah majalah islami, red). Karena dianggap terlalu 'mirip', rasa penasaran saya pun tak terbendung, dan akhirnya saya pun meminjam majalah tersebut dari seorang teman, seingat saya, itulah kali pertama saya berkenalan dengan majalah Tarbawi. Hal seperti ini kadang juga menimpa penulis, meski tidak dianggap sebagai plagiat, terkadang karya yang kita tulis dianggap mirip atau hampir persis dengan karya yang sebelumnya sudah ada. Banyak hal yang mungkin saja bisa terjadi, mungkin kita memang terpengaruh dengan gaya menulis dari penulis tertentu atau memang ternyata gaya menulis kita yang seperti itu. Yang pasti, setelah kritikan tersebut, kami pun mulai memikirkan tentang 'pangsa pasar'. Pada akhirnya, saya juga belajar untuk menulis dengan gaya yang lebih mudah dicerna dan menuruti apa yang dikatakan orang-orang, 'lebih membumi'.
http://rohisstis.com/ |
Tidak lama setelahnya, sampailah sebuah surat dari pembaca, yang ditujukan kepada saya (saat itu, nama saya dipinjam sebagai koordinator buletin/setingkat pimred) tentang bahasa yang kami gunakan. Surat tersebut datang dari seorang dosen, yang diketik menggunakan mesin tik, ditulis sangat rapi, dengan ejaan yang terjaga, karena suratnya hilang, saya mencoba mengingat isi surat tersebut yang bunyinya kira-kira seperti ini:
"Saya tidak berkeinginan membendung cita-cita Anakku untuk dapat mensyiarkan islam dengan baik. Sayapun tidak memperkarakan isi dari buletin LDU-ku ini yang sudah sangat baik. Akan tetapi, alangkah baiknya jikalau Anakku memperhatikan penggunaan bahasa. Mungkin bahasa gaul, mengikuti tren yang ada, dianggap mampu merangkul pembaca, tetapi ingatlah tentang perjuangan para penulis, sastrawan yang dahulunya berjuang untuk mempertahankan bahasa kita, Bahasa Indonesia".
Saya juga agak sedikit lupa tentang bagaimana rupa LDU-ku waktu itu. Yang pasti, pesan dari isi surat tersebut adalah tentang pemilihan kata yang digunakan dan penjagaan terhadap penulisan bahasa yang baik dan benar. Jangan sampai, misalnya, hanya karena menuruti pangsa pasar, lantas melupakan tata ejaan penulisan yang baku, Misalnya saja, yang saya ingat waktu itu, penulisan 'tidak' menjadi 'gak'. Agar jangan sampai, kemudahan menulis yang kita dapatkan saat ini malah menodai bahasa kita sendiri. Barangkali, kalau dipenulisan saat ini, contoh-contoh berikut lebih mudah diingat:
Membuat ---------- mbikin
Tidak ------------- gak
Belum ------------ belon
atau contoh-contoh lain yang terlihat sepele, dan bahkan saya masih sering melakukannya. Jadi, sekalian saja, pesan dari surat ini saya sampaikan juga kepada tim penulis materi LDU-ku saat ini jikalau ternyata turut membaca tulisan ini.
"Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal." Al-Jumuah:5.
Bukan hendak memperburuk citra keledai, tetapi ada sebuah perumpamaan yang sangat baik yang Allah berikan dalam suroh Al-Jumuah ayat 5 ini. Permisalan ini mengisyaratkan bahwasanya apa yang kita pelajari, ilmu dalam bentuk apapun itu, tidak akan bermanfaat dan hanya akan sia-sia tanpa sebuah pengamalan. Pengamalan itu juga membutuhkan pembelajaran.
Buat saya, sekarang saya paham, mengapa meski kita belajar Bahasa Indonesia bertahun-tahun, tetap saja tidak paham dengan bahasa sendiri, bahkan tetap harus membuka sebuah kamus, kamus bahasa sendiri.
Tetapi, ada yang jauh lebih parah dari sekedar plagiarisme atau ribut-ribut tentang pangsa pasar, apalagi membicarakan perumpamaan tentang keledai. Ialah saat, kita mulai tidak menghargai waktu, tidak menulis lagi, dan membiarkan rumah maya ini kosong, tak berpenghuni dalam waktu lama.
## Fiuh... Jadi, hari ini saya sekalian bersih-bersih rumah... ^^.
Tideng Pale Kota Berjuang!
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
2 komentar
Kasian keledai, citranya gak sebaik kedelai.... -_____-
ReplyDeleteTapi lebih kasian lagi sama yang nge-plagiat sih sebenernya. Dia jadi kayak gak ngehargai kemampuan dirinya sendiri gitu. :D
@Octaviani Nur Hasanah iya, setuju banget saya... :)
ReplyDelete