“Dek, apa pendapatmu
tentang poligami?”
Saya
tertegun sejenak sebelum akhirnya menjawab,
“Saya setuju dengan
poligami Mbak. Poligami adalah syariat yang Allah turunkan sebagai rahmat untuk
manusia”
Lalu
mengalirlah cerita dari Mbak Nirmala (nama samaran) pada saya malam itu.
“Telah datang kepadaku
seorang lelaki sholeh. Ia datang dengan segenap cintanya, mengetuk pintu jiwaku
dengan nakal, menggetarkan rasaku sekaligus meruahkan limpahan harapan dan
janji untuk dapat membahagiakanku”.
“Apa mbak menyukainya?”
“Hmm … (Mbak Nirmala menarik nafas panjang). Jujur saja, dia adalah lelaki terbaik dari sisi agamanya jika dibandingkan dengan beberapa lelaki yang telah datang sebelumnya. Aku yakin ia dapat menjadi imam bagiku, juga ayah yang baik bagi Salwa dan Dzikri. Selain itu, akupun tersanjung atas cintanya yang besar kepadaku Dek,”
Mbak Nirmala, yang berumur lima tahun di atas saya itu adalah seorang janda dengan dua orang anak, Salwa dan Dzikri.
“Jika aku mengiyakan,
Insyaalloh bulan depan ia akan datang melamar”
“Ya sudah Mbak, kalau
Mbak yakin, terima saja”
“Tapi Dek, … “, Mbak Nirmala mengeluarkan kata dengan tercekat.
“Apa Mbak?”
“Ia adalah seorang lelaki yang telah beristri”
Entah hembusan topan atau mungkin arah mata angin yang salah, hingga bisa membawa Mbak Nirmala pada saya. Ia bahkan meminta saya sedikit ‘memata-matai’ lelaki yang didengung-dengungkannya itu untuk kemudian memberikan penilaian saya terhadapnya.
Sebenarnya, saya agak kikuk menghadapi Mbak Nirmala. Sebab kenyataannya, usia pernikahan saya masih seumur tunas. Kapal kami baru saja berangkat dari dermaga, belum sampai ke tengah samudera, tentu saja riak gelombang jikapun ada, belum terlalu besar menghadang. Namun bagaimanapun juga, kedatangan Mbak Nirmala adalah sebuah rahmat yang Allah berikan pada saya. Saya bersyukur Allah masih memberi kepercayaan pada saya untuk sekedar menjadi pelabuhan sandar kesah.
“Apa Mbak sudah pernah bertemu dengan istrinya?”
“Belum Dek”
“Apa Mbak yakin, lelaki itu telah mengenalkan Mbak atau setidaknya menceritakan siapa Mbak ke istrinya?”
“Setahuku, istrinya itu sudah tahu kalau suaminya mau menikah lagi. Hanya dengan siapanya, ia belum tahu”
Dari hari ke hari obrolan saya dan Mbak Nirmala yang nampak amat bimbang semakin intens. Menjadi janda jelas bukanlah sebuah dambaan dan bukan pilihan hidup. Namun berada di posisi sebagai bukan yang pertama juga bukanlah jalan hidup yang mudah.
Saya perlu waktu yang cukup lama saat Mbak Nirmala meminta pendapat saya tentang keputusan apa yang sebaiknya ia ambil. Selain hanya menghasilkan pendapat “berdasarkan Mbak saja, sebab Mbak yang akan menjalani”, beberapa kurun waktu terakhir, saya malah jadi banyak melamun dan berfikir hingga jadi pusing kepala. Semakin banyak saya berfikir, saya seolah menjelma menjadi istri pertama dari lelaki itu. Membayangkan jika suami saya akan menikah lagi, dengan seorang wanita yang jauh lebih muda daripada saya saja telah mampu mengiris-iris hati, apatah lagi menerima kenyataan bahwa ia adalah wanita yang jauh lebih cantik dibanding saya.
“Ah, tidak … tidak … seharusnya cantik itu hanya milik saya”, seperti yang senantiasa ia ucapkan pada saya. “Kau adalah wanita tercantik yang pernah kumiliki …”.
Tapi masih ada kemungkinan. Bagaimana jika calon istri kedua nanti lebih smart?
“Ah, tidak … tidak … seharusnya smart itu juga hanya milik saya”
Ah, saya pasti menghayal. Kenyataannya pasti tidak begitu. Bisa jadi, ia memang lebih dari saya dalam segala hal. Karena jika saya sudah terlingkupi dengan banyak keistimewaan, suami saya tak perlu repot-repot mencarinya pada sosok selain saya. Baiklah (sambil menghirup nafas dalam-dalam), setelah saya timbang-timbang lagi, ia boleh lebih dalam hal apapun dari saya kecuali satu hal. Ia tetap tidak boleh lebih cantik daripada saya. Titik.
Kemudian, saya membayangkan jika suami saya mengatakan telah lama mengenal seorang wanita di luar sana, dan jatuh cinta padanya dengan segenap hati dan jiwanya.
Oh, dimanakah ingatannya? Saat saya
dengan susah lagi payah melahirkan putera pertama kami, Ozrel? Saat ia
bersimpuh sujud, berlinang air mata kebahagiaan, memeluk erat tubuh saya yang
penuh kucuran keringat, mengecup kening saya dengan haru sambil berucap, “terimakasih Dinda, engkaulah wanita
terindah yang pernah kumiliki … ”
Saat saya membayangkan kalimatnya yang akan sampai, “sudikah engkau jika aku menikah lagi?”
Oh, dimanakah ingatannya? Saat saya harus bersimbah darah di ruang operasi, saat melahirkan putera kami yang kedua?
Oh, dimanakah ingatannya? Saat rahim saya robel hingga Sahwa puteri ketiga kami terpaksa dilahirkan lebih awal?
Dimanakah ingatannya? Saat saya, selalu berusaha mendampinginya, dalam sengsara dan nikmat. Menyediakan apapun untuknya, berusaha senantiasa membahagiakannya, merawat putera-puterinya, mengurus keperluaan anak-anaknya sampai lupa makan, lupa tidur, lupa semua hingga lupa mengurus diri. Dimanakah ingatannya? Saat saya berusaha setia di sisinya, hingga ia mampu membangun istana. Lalu, ketika istana itu telah tinggi menjulang bak menara-menara, lantas ia akan datang, membawa serta seorang wanita dan berkata,
“Ini, dialah yang selama ini meresahkan jiwaku, dialah yang selama ini mengganggu tidurku, aku mencintainya dan tidak ingin semakin diluputi dosa dengan perasaan itu”
Malam ini, sebelum tidur, saya meminta pesan khusus kepada Allah agar membangunkan saya, di sepertiga malam. Alhamdulillah, tepat pukul dua pagi, saya terbangun. Saya pun mengkhususkan melaksanakan sholat dua rokaat dan berdoa meminta kekuatan serta ridlo Allah agar saya mampu menceritakan kisah ini. Kisah diantara dua cinta Ibrahim. Nabiyulloh yang teramat mulia, dimana perjalanan hidupnya menjadi epik yang tiada berkesudahan. Nabiyulloh yang saban Idul Adha kita ingat kembali sejarahnya, untuk diteladani.
Saya usap pipi saya yang tanpa diduga basah. Sejak akan memulai mengisahkan kisah cinta ini, sekaligus menjadi bagian akhir dari catatan ini, telah berderai-derai air mata saya tumpah.
Sarah, isteri pertama Nabi Ibrahim, adalah seorang wanita mulia, wanita sholehah yang telah mendampingi Ibrahim Alaihissalam bepergian dari negeri ke negeri untuk berdakwah, hingga sampailah mereka ke negeri Mesir. Karena kecantikan dan kemuliaan Sarah, Firaun menaruh siasat dan tipu daya terhadap Sarah. Namun, Allah justru mengembalikan jerat itu kembali kepada Firaun. Hingga Firaun menyadari kedekatan hubungan Sarah dengan Allah. Lantas, Firaun pun menghadiahkan puterinya, Hajar untuk menjadi pembantu Sarah sebagai pengakuan terhadap keutamaan Sarah. (Menurut kisah yang sudah banyak dikenal, Hajar adalah seorang budak wanita. Tetapi, seorang penulis kenamaan, Al-Allamah Al-Qadhi Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri telah melakukan penyeledikan yang seksama bahwa Hajar adalah seorang wanita merdeka dan ia adalah puteri Firaun1).
Pada akhirnya, Sarah pun menikahkan Hajar dengan Ibrahim. Airmata saya kembali menetes ketika melanjutkan kisah ini. Ketika kemudian Ibrahim bersama keluarga barunya kembali ke Palestina, lalu Allah menjawab doa-doa Ibrahim dengan menganugerahkan seorang putera, Ismail dari istrinya Hajar. Saat itulah, Sarah terbakar api cemburu. Ia meminta Ibrahim untuk menjauhkan Hajar dan Ismail kecil. Ibrahim pun membawa Hajar dan puteranya ke Hijaz, lalu menempatkan mereka berdua di suatu lembah yang tiada ditumbuhi tanaman, tepatnya di dekat Baitul Haram, yang saat itu hanya berupa gundukan-gundukan tanah. Beliau meletakkan geriba, wadah air di dekat Hajar dan Ismail, juga kurma.
Sampai disini, saya memikirkan bagaimana perasaan Hajar.
Bukankah lebih mudah baginya mengajak Ibrahim untuk tinggal?
Kemudian saya membayangkan gundah gulana Ibrahim,
Bukankah lebih baik baginya menemani istri dan anak yang telah lama ia nanti-nantikan?
Oh, berapakah jarak Palestina-Hijaz saat ini?
Apakah sedekat jarak rumah kita menuju
pasar hingga Ibrahim rela bersusah-payah kembali pada Sarah?
Bukankah lebih nyaman hidup bersama keluarga kecilnya, dengan canda tawa seorang anak yang begitu membahagiakan?
Tetapi, Ibrahim tidak begitu. Ia kembali ke Palestina. Kembali pada Sarah, hidup bersamanya, hingga belasan tahun lagi sampai akhirnya Allah menganugerahkan Ishak dari rahim Sarah. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Ismail lahir saat Ibrahim berumur 86 tahun, sedang Ishaq lahir saat Ibrahim berusia 99 tahun. Sehingga umur Ismail selisih 13 tahun lebih tua dibanding Ishaq.
Airmata saya tak henti-hentinya mengalir, saya seolah menyaksikan secara langsung drama cinta yang begitu mengharukan. Roman yang paling indah diantara roman-roman yang pernah saya baca. Alquran dengan bahasa sastranya yang sangat indah seakan mengisahkan pada saya bagaimana cara Ibrahim menjaga perasaan Sarah sekaligus melindungi Hajar.
“… Maka kami berikan kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar, Ismail.” Q.S 37:101.
“… Maka kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishaq. Dan setelah Ishaq (akan lahir Ya’kub).” Q.S 11:72.
Seandainya saya bisa menguasai struktur susunan bahasa arab, mungkin saya akan dapat lebih jauh merasakan keindahan makna dua ayat kabar gembira yang Allah turunkan pada kelahiran Ismail dan Ishaq. Resapi dua ayat di atas, meski terlihat serupa namun nyatanya berbeda. Pada ayat yang memberikan kabar kelahiran Ismail, dengan sangat indah dan dalam Allah menggambarkan sosok Ismail. Telah jauh-jauh sebelumnya, Allah telah memberitahukan pada Ibrahim, akan lahir seorang putera yang sangat sabar.
Dan di ayat kabar kelahiran Ishaq, perlakuannya berbeda. Sebab, tujuan pengisahannya juga berbeda. Ishaq diberikan sebagai penggembira bagi Ibrahim dan Sarah. Karenanya, kehadiran Ishaq segera diikuti dengan janji datangnya Ya’kub. Subhanalloh, saya hanya mampu mendendangkan dzikir. Betapapun, Allahlah yang lebih tahu. Bayangkanlah, berita apa yang paling menggembirakan untuk Sarah yang telah lama menanti buah hati? Sarah tidak memerlukan penggambaran tentang bagaimana anaknya kelak, sebab mendapatkan anak saja sudah merupakan karunia terbesar baginya. Menurut saya, jika saya menjadi Sarah, janji Allah tentang datangnya Ya’kub yang berarti Ishaq kelak akan memiliki anak dan keturunan yang berarti juga bahwa Sarah akan memiliki anak, cucu dan generasi setelahnya. Janji itulah, kabar itulah yang sesungguhnya ia butuhkan dan paling pas untuk Sarah. Isyarat akan datangnya Ya’kub seperti yang dituliskan dalam tafsir Ibnu Kastir juga menandakan bahwasanya Ishaq dan Ibrahim masih hidup saat kelahiran Ya’kub.
“… Sungguh ajaib, mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua, dan suamiku ini juga sudah sangat tua? Ini benar-benar sesuatu yang ajaib”
Sarah masih saja tercengang, lalu menepuk wajahnya sendiri seraya berkata,
“Aku ini, seorang perempuan tua yang mandul.” Q.S 51:29.
Duhai, suami-suami sholeh yang hendak
menikah lagi. Belajarlah dari Ibrahim, bapak para Anbiya’, bapak dari Rasul
kita, Muhammad. Belajarlah bagaimana ia menjaga perasaan dan memperlakukan
Sarah.
Duhai, belajarlah dari Muhammad, bagaimana Ia memperlakukan Khadijah.
Ketahuilah, isteri-isteri yang sholehah yang paham syariat, isteri-isteri sholehah yang
mengerti maslahat, tidak akan pernah
bisa menolak permintaanmu untuk menikah lagi,
Untuk Mbak Nirmala, ternyata kita memikirkan hal yang sama,
“Aku
meminta waktu yang lebih lama lagi Dek, aku masih memikirkan isteri pertamanya
…”,
katamu tadi malam.
Untuk isteri-isteri yang rela berbagi, di luar sana begitu banyak wanita yang hidup dengan satu kaki. Kesediaanmu untuk berbagi, membuat mereka tak akan pernah melewatkan satu detikpun tanpa memikirkanmu. Percayalah!
Bagi wanita-wanita yang menyandang
status bukan yang pertama, jadilah setegar dan sesabar Hajar. Allah akan
memberi ganti yang lebih baik padamu. Yakinlah!.
Wallohu a’lam
1. Siroh Nabawiyah
Daftar Pustaka:
1. Al-Quranul Karim
2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Terjemahan Kitab "Ar-Rahiqul Makhtum, Bahtsun Fis Sirah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdalish Shalati Wassalam" karya Syeikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfuri. Pustaka Al-Kaustar, Jakarta: 2010.
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
0 komentar