Sejak saya mulai bisa berjalan dan berbicara, entah umur berapa, seingat
saya waktu itu saya belum masuk TK. Setiap pagi, saya selalu menguntit Bapak ke
sekolah. Sekolah yang hanya terdiri dua guru kelas dan 1 kepala sekolah dengan puluhan
murid ini tentu saja membuat para pengurus sekolah ini harus bekerja ekstra
keras. Seringkali, saya melihat Bapak dan Ibu Guru satu lagi, bolak-balik dari
satu kelas ke kelas yang lain, begitupun dengan Bapak Kepsek. Jika ada enam
kelas, berarti setidaknya masing-masing guru harus mengajar dua kelas setiap
harinya. Saya sih tidak terlalu peduli, yang saya tahu, di sekolah itu
menyenangkan. Saya bisa bermain dengan anak-anak lain di sekolah, ikut
mencoret-coret dengan kapur saat Bapak sedang menjelaskan di papan tulis, ikut
belajar dan duduk di kursi murid. Setelah lelah, saya akan memanjat kursi dan
duduk di meja guru di depan kelas, lalu tidur telentang, wah, puas sekali
rasanya.
Berjalannya dengan waktu, karena saya begitu bersemangat ikut ke sekolah,
Bapak pun membuatkan saya pakaian terusan warna putih-merah. Tak lupa, satu tas
untuk pergi ke sekolah. Saya juga diberi satu tempat duduk khusus di kelas,
paling depan, bergabung bersama dengan dua anak yang lain. Saat itu, meski saya
masih sangat kecil, saya hampir bisa mengingat semua yang saya alami di
sekolah. Saya masih ingat betapa saya begitu iri dengan teman-teman yang lain
ketika Bapak menyiapkan banyak bungkusan hadiah yang dibungkus dengan kertas
warna cokelat. Bentuknya macam-macam, ada yang persegi dan ada yang bulat. Kata
Bapak, itu hadiah untuk murid-murid yang menang perlombaan. Saya tidak akan
pernah mendapatkan hadiah seperti itu, karena saya hanya murid bohongan, jadi
saya tidak pernah diikutkan lomba.
Saya juga ingat tentang hari paling menyenangkan di sekolah, hari itu adalah hari pembagian rapor. Saat pembagian rapor, setiap murid akan membawa buah tangan sebagai wujud terima kasih untuk Bapak dan Ibu guru. Ada yang membawa nasi bungkus, ada yang membawa kue, biskuit atau sekedar permen. Saya tidak perlu ambil pusing seperti teman-teman yang lain, apalagi sampai dag-dig-dug-der menunggu hasil rapor, sebab tentu saja tidak akan pernah ada rapor untuk saya. Yang saya paling nantikan adalah … apa saja yang akan dibawa teman-teman pada saat itu. Berhubung muridnya banyak, sementara gurunya sedikit, biasanya harta karun yang diperoleh Bapak banyak sekali. Bisa sampai memenuhi tas plastik merah ukuran jumbo itu. Itu tanda, saatnya untuk berpesta dan makan enak. Namun sepertinya, hari pembagian rapor juga menjadi hari yang paling menyenangkan buat teman-teman yang lain. Di hari ini, semua anak membawa bekal dengan lauk enak, makan bersama lalu pulang lebih cepat. Jadi, inilah momen yang paling menyenangkan buat saya.
Saya juga masih ingat, saat ada wali murid yang memaki-maki Bapak, juga
ada wali murid yang membawa golok besar karena tidak terima atas perlakuan
Bapak kepada anaknya. Tapi anak itu memang keterlaluan, ia berani
mengolok-ngolok guru dengan menjulurkan lidah dan menepuk-nepuk pantatnya. Saya
juga masih ingat, teman-teman sekolah saya yang banyak bertelanjang kaki datang
ke sekolah, sedikit sekali yang menggunakan sepatu dan seragam sekolah. Saya
masih ingat saat Ibu saya mengajarkan saya pengenalan huruf, menulis, membaca,
mengaji, juga berhitung. Jadi, meski ikut Bapak ke sekolah, guru yang
sesungguhnya benar-benar mengajar saya adalah Ibu. Alhasil, tidak berapa lama
saya pun akhirnya pandai membaca dan menulis. Saya juga masih ingat, saat ikut
di kelas Bu Guru, belajar membaca. Materi di hari itu adalah membaca:
Ini Ibu
Budi
Ini Bapak
Budi
Lalu kami semua diajari mengeja: I – n-i-ni,
Ini. Masih ingat dengan materi ini kan?
Saya juga
masih ingat saat Bapak seringkali mengajak saya ke perpustakaan sekolah. Dan
saya, begitu antusias membaca banyak buku atau meminjamnya untuk dibawa pulang.
Waktu itu, belum banyak komik anak seperti sekarang, buku-buku yang saya baca adalah
buku dengan banyak teks. Satu buku tebal yang pernah saya baca, saya lupa judulnya.
Berkisah tentang seorang anak kecil dan nenek sihir. Di buku tersebut
diceritakan, bahwa setiap kali kita memakan biji buah-buahan, biji tersebut akan tumbuh menjadi pohon buah
di atas kepala. Setelah itu, setiap kali makan buah jeruk atau semangka, saya
takut sekali memakan bijinya. Saya takut di atas kepala saya tumbuh menjadi
pohon. Setelah dewasa, ternyata saya baru menyadari telah membaca buku yang
menyesatkan. Nenek sihir itu fiktif, pohon di atas kepala juga fiktif.
Seorang
teman saya, begitu ketakutan dan menangis keras saat akan dibawa jalan-jalan ke
stasiun radio bersama rombongan kelasnya. Ternyata sebelum itu, ia pernah
bertanya pada ibunya tentang radio.
“Bu, itu di radio kok ada suara orang-orangnya.
Orangnya dimana bu?”. Sang ibu,
yang mungkin sedang sibuk atau tak terlalu menghiraukan pertanyaan anaknya,
dengan ringannya menjawab.
“Oh, itu orangnya ada di dalam nak”.
Jadilah,
teman saya itu begitu ketakutan saat dibawa rekreasi ke stasiun radio. Dalam
benaknya, ia ketakutan jika nanti ia akan dipaksa masuk ke dalam radio, menjadi
mengecil dan terkurung di dalam, selamanya. Orang dewasa tidak akan peduli
dengan itu. Orang dewasa seringkali serampangan bicara, hanya agar anak cepat
diam. Padahal apapun yang anak dapatkan, selalu membekas dan tertanam dalam
ingatan.
Seorang
anak juga dulu sempat mengira, bahwa adiknya keluar dari telapak kaki ibu.
Ketika itu ia penasaran sekali darimana keluarnya adik. Ia pun bertanya pada
sang ibu.
“Bu, adik bayi keluar darimana sih? Kok bisa
keluar dari perut Ibu?”
“Keluar dari bawah nak”
“Dari bawah mana sih Bu?”
“Ya, pokoknya dari bawah”
Akhirnya,
anak pun menyimpulkan sendiri, definisi ‘bawah’ yang sangat tidak jelas itu
adalah telapak kaki. Karena menurut sang anak, bagian tubuh yang paling bawah
adalah telapak kaki.
Terakhir,
saya yang murid bohongan ini akhirnya ikut upacara di hari Senin. Bukan untuk
jadi peserta, Bapak meminta saya menjadi petugas upacara. Di hari itu, saya
yang begitu mungil bersama dengan kakak-kakak kelas berdiri dengan barisan
sendiri. Di hari itulah, pengalaman pertama saya menjadi petugas pembaca
undang-undang. Kata Bapak, itu sebagai hadiah sebab saya sudah pandai membaca. Hmm
… padahal saya masih membayangkan hadiah yang berbungkus kertas cokelat itu.
___
Pengalaman saya ikut sekolah bersama
Bapak begitu membekas sampai dewasa. Sehingga, meski Bapak tidak pernah meminta
saya untuk ikut menjadi guru setelah dewasa. Ketertarikan saya menjadi guru,
seolah muncul dengan sendirinya. Itu sebabnya, tidak perlu merasa heran melihat
anak-anak Rhoma Irama yang juga menjadi musisi, anak Soekarno yang menjadi
politisi, atau anak Uya-Kuya yang pandai bermain sulap. Semua itu seolah-olah
turunan genetik, namun yang sesungguhnya, hal itu lebih karena daya serap,
persepsi dan pengalaman anak yang begitu kuat ketika bersama dengan
orangtuanya.
Di Bintang Kelas, seringkali kami
belajar menjadi guru yang baik dengan mempraktekkan apa yang kami rasakan saat
masih anak-anak dulu. Seperti kasus Puteri, Rinda dan Anisa yang pernah mogok
belajar. Ceritanya, guru kelas mereka ketika itu mengundurkan diri, sehingga
kami harus mengganti dengan guru kelas yang baru. Hari itu, Kak (suami saya)
yang menjadi guru pengganti. Sudah hampir tiga puluh menit berlalu, Puteri,
Rinda dan Anisa tidak kunjung masuk ke kelas. Setelah dicari, ternyata mereka
bertiga berada di seberang jalan, keduanya sedang menangis sesenggukan.
“Pokoknya kami gak mau diajar sama Kak Fadlan,
kami mau guru kami yang dulu. Kak Fadlan jahat! Kak Fadlan Jahat!”, kira-kira seperti itulah rengekan mereka bertiga.
Butuh waktu cukup lama untuk membujuk mereka masuk ke dalam kelas.
Di dalam
kelas, sedang berlangsung permainan rebutan menjawab pertanyaan. Entah
bagaimana ceritanya, mereka yang selama di kelas cemberut tiba-tiba ikut nimbrung
dan antusias seperti teman-temannya yang lain. Lucunya, setelah permainan
selesai, saya mendengar percakapan mereka,
“Kak Fadlan baik ya”
“Iya, enak ya diajar sama Kak Fadlan”
“Heeh, nih aku dapat cokelat”
“Iya, aku juga dapat permen”
“Kak … Kak … besok-besok kita main lagi ya!”.
Begitulah,
akhirnya mereka pulang dengan riang, seolah lupa dengan kejadian mewek-mewek
tadi, tiba-tiba saja mereka terlihat begitu akrab dan dekat dengan Kak.
Setiap
anak menyukai hadiah dan setiap anak tidak pernah menyimpan dendam apalagi
amarah. Oleh karena itu, kami belajar untuk bisa memproporsionalkan kapan waktu
yang tepat untuk memberikan hadiah dan kapan hadiah itu menjadi tidak lagi
diperlukan. Anak-anak, sebagaimana saya dulu semasa kecil, juga tidak pernah
benar-benar dendam dan marah. Anak-anak diciptakan sangat pemaaf meski sering
bertengkar dengan temannya. Seperti Isma dan Arin, mereka berdua adalah sahabat
dekat, namun tak pernah lepas dari pertengkaran. Melihat perilaku mereka berdua
mengingatkan saya pada musuh terbesar saya ketika SD dulu, namanya Neng Nia.
Saya dipertemukan kembali dengannya tahun lalu. Saya menyapanya dengan
panggilan sayang,
“Hai, musuhku, akhirnya kita bertemu kembali”. Ha ha … tentu saja sekarang kami sudah
berbaikan.
Setelah
itu, lantas kami sama-sama berfikir keras tentang alasan mengapa kami bisa
bermusuhan sangat lama dulu, bahkan tidak bertegur sapa hingga berhari-hari. Entahlah,
ketika melihat Isma dan Arin, saya seolah melihat refleksi diri saya bersama
Neng Nia di masa kecil dulu. Tingkah Isma yang arogan, keras kepala, egois, mau
menang sendiri, selalu ingin dinomor satukan, selalu iri dengan teman, selalu
ingin diperhatikan mengingatkan saya pada sosok teman saya itu. Saya jadi
mengerti mengapa guru-guru saya dahulu berfokus untuk merubah Neng Nia, dan
tidak terlalu fokus pada saya. Andai Isma bisa sedikit bersabar, mungkin tidak
akan sampai terjadi pertengkaran. Tetapi, Isma dan Arin tidak separah saya dan
Neng Nia ketika kecil. Isma meski sangat pemarah, memiliki sifat penyayang.
Sehingga, meski berulangkali saling marah, mereka cepat sekali akur. Sedang
Arin sangat cuek, jadi semarah apapun Isma, rasanya tidak terlalu berpengaruh
padanya. Menghadapi keduanya mungkin tidak akan terlalu merepotkan. Sebab,
seiring waktu, mereka berdua akan terus belajar mengelola emosi dan
persahabatan. Meski begitu, sesekali saya juga sempat dipusingkan dengan polah
tingkah mereka.
Dari peristiwa itu, saya jadi
mengingat betapa repotnya guru-guru saya yang ketika itu berusaha dengan keras
mempersatukan saya dan Neng Nia. Kala itu, masing-masing kami telah memiliki
geng, jadi geng saya dan geng Neng Nia saling bermusuhan. Mulai dari nasihat,
pemanggilan orangtua, diberikan kesempatan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
bersama-sama dan banyak lagi. Seingat saya, silih berganti cara untuk
mendamaikan, kami tidak kunjung berdamai juga.
Di Bintang Kelas, saya juga belajar memahami
perasaan anak-anak, saya belajar bagaimana mengelola perasaan anak-anak yang
mulai suka terhadap lawan jenisnya. Kini saya tahu, mengapa orang dewasa
terlebih guru-guru saya dulu seolah paranormal yang dengan cepat mengetahui
mana anak muridnya yang sedang jatuh cinta, atau dengan siapa mereka jatuh
cinta. Ternyata, setelah dewasa, saya jadi tahu bahwa mudah sekali mengetahui
hal-hal berkaitan cinta yang sedang melanda anak-anak.
Tentang bahaya melabeli anak, saya
juga punya pengalaman sendiri. Ketika itu, saat sedang berlarian dengan teman,
kami mengintip guru-guru yang sedang rapat. Saya mendengar salah seorang guru
berkata pada yang lain bahwa saya sekarang menjadi nakal. Waktu itu, saya belum
mengerti apa artinya ‘nakal’, namun demi melihat mimik-mimik wajah para guru
yang tidak menyenangkan, saya jadi tahu, bahwa ‘nakal’ itu adalah anak yang
tidak lagi dianggap baik. Entahlah, saya tidak tahu perbuatan saya yang mana
yang tidak baik, saya memang senang berlari, berkejar-kejaran dan bermain. Yang
paling menyakitkan bagi saya, adalah saat seorang guru memberikan jatah makan
pada saya dengan porsi tidak wajar, tanpa bertanya apakah saya mau makan banyak
atau sedikit. Apakah saya masih lapar atau sudah kenyang. Akhirnya, saya
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menghabiskan sepiring makanan itu.
Mungkin karena kesal bolak-balik menunggui saya yang tidak juga menghabiskan
makanan, tanpa peduli pada saya yang tersiksa dengan makanan sebanyak itu, sang
guru lantas berucap:
“Itulah tandanya anak nakal, anak nakal itu
kalau makan lambat!” dengan
nada tinggi dan keras. Rasanya sedih sekali ketika itu, saya benar-benar
tersiksa dengan makanan dan kemarahan guru saya. Saya menangis tanpa suara saat
selesai menghabiskan butir nasi yang terakhir, meski guru saya sudah pergi
meninggalkan saya sejak tadi. Peristiwa ini menjadi salah satu puzzle penyebab yang menjadikan saya
anak penakut. Saya takut melakukan sesuatu karena takut kembali di hujat, saya
selalu takut salah, saya juga takut gagal, bahkan saya juga jadi takut
berbicara. Hal yang paling saya takutkan adalah menerima kata-kata ‘nakal’
kembali, sebab menjadi anak nakal itu menyiksa dan menyakitkan. Saya merasa
saya tidak seriang dulu lagi, saya juga tidak lagi merasa bebas berlari seperti
dulu. Saya banyak memilih diam, sebab diam identik dengan anak baik. Dan para
guru, lebih menyukai anak-anak yang diam dan duduk dengan tenang. Menginjak remaja, saya menjadi anak yang tidak
pede-an. Dan di masa SMA, barulah saya mulai mencoba bangkit dan belajar untuk
menumbuhkan rasa percaya diri saya. Lihatlah, betapa lama rentang waktu akibat
efek label ‘nakal’ tadi. Dan, sampai kini, entah ada hubungannya atau tidak,
saya benar-benar makan dengan sangat lambat dan tidak pernah banyak.
Terakhir, sebelum mengakhiri tulisan ini, saya percaya bahwa setiap guru akan menjadi lebih baik lagi dengan banyak berlatih, terus berlatih, dan belajar dari penggalan pengalaman demi pengalaman.
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
1 komentar
Tulisannya bagus mbak, memotifasi pada guru agar bisa menjadi pendidik yang lebih baik.
ReplyDelete