-72- Lembaran Kertas Sang Juragan
Thursday, September 13, 2012
Kesempatan untuk
bisa pulang ke rumah orangtua tak pernah kami lewatkan, terutama hari-hari
menjelang lebaran, hari dimana biasa kami mengambil cuti. Kurang dari satu
minggu sebelum lebaran saja, kantor sudah sepi, maklum banyak pegawai
perantauan. Lebaran di tahun 2012 ini pun begitu, pagi hari menjelang sholat
Ied, ibu sudah bangun pagi-pagi untuk memasak.
“Nduk, nanti sholat sama-sama Ibu di Masjid Besar
ya!”
“Iya Bu”
Sudah tradisi di
rumah kami, sholat Ied tidak pernah pergi ke satu masjid bersama-sama.
Pasalnya, masing-masing punya sreg
yang berbeda-beda. Bapak, seorang penganut Muhammadiyah biasanya akan sholat
kumpul-kumpul dengan jamaahnya. Ibu, biasanya mau ikut Bapak kalau lagi sreg ikut, kalau gak ya pergi ke Masjid
yang ingin dikunjungi. Kami, anak-anak lebih senang sholat di Masjid sekitar
kompleks, dengan alasan masjid tersebut adalah masjid terdekat yang bisa ditempuh
dengan jalan kaki. Selain tentunya ingin berkumpul bersama teman-teman satu komplek.
“Nduk, ingat ya, nanti gak usah ikut-ikut sholat
sebelum sholat Ied kayak orang-orang. Gak ada tuh sholat sebelum sholat Ied”
“Sholat tahiyyat opo? Lha itu biar sholatnya
di lapangan, orang-orang pada sholat juga sebelum sholat Ied. Memangnya ada
sholat tahiyyat di lapangan?. Sudah siap-siap sana, cepat berangkat, hari hujan
begini nanti gak dapat tempat di dalam lho!”
Saya dan Ibu pun
berangkat berboncengan motor. Meski gerimis mulai turun, demi melihat Ibu yang
nampak semangat sekali minta ditemani, saya nurut saja.
“Nanti temani Ibu ke rumah Bupati ya. Ibu minta
ditemani sholat disini tadi karena pengen ngerasain open housenya Bupati. Bapak
kalau diajak kesana selalu gak mau”,
Ibu setengah berbisik di telinga saya, sesaat sebelum sholat dimulai. Kami
beruntung, meski terlambat dan hampir tidak dapat tempat, akhirnya bisa berada
di jajaran shof terdepan bersama jajaran istri-istri pejabat. Lumayan nambah
pengalaman saya lah, setidaknya saya jadi kenal wajah-wajah mereka setelah lama
merantau ke negeri orang.
***
Hujan bertambah
deras sesampainya kami di kediaman rumah jabatan bupati yang kebetulan tidak
jauh dari masjid. Orang-orang juga sudah banyak yang datang, sebagian besar
adalah jamaah masjid yang sekalian mampir. Ini pengalaman kedua saya, tahun
lalu saya juga mencoba merasakan open
house di tempat Bupati Bulungan. Bedanya, waktu itu bersamaan dengan jam
makan siang, tidak sepagi ini.
Setelah itu, Ibu
minta ditemani singgah ke satu tempat lagi. Terakhir, sebelum pulang ke rumah,
kami juga sekalian bersilaturrohim ke tempat tetangga kami, Pak Andi (sebut
saja demikian). Saya bersahabat dengan anaknya yang kini menjabat sebagai
anggota dewan (masih muda dan seorang perempuan). Sejak masih SMA dan satu
organisasi dulu, Fatma (nama samaran) memang sudah jago berdebat dan pemberani.
Backingan dari Abahnya di partai dan
kemampuan Fatma yang lulusan ilmu politik makin klop membawanya terjun lebih
jauh ke dalam dunia politik. Adik saya yang pertama, seumuran dengan adik Fatma
yang pertama, adik saya yang kedua, bersahabat dengan adik Fatma yang kedua.
Begitulah intinya, kami saling kenal dan bersahabat.
Saat kami masuk,
puluhan anak-anak kecil tampak mengerumuni Alya (adik Fatma yang kecil),
sementara seorang lagi sibuk memberikan semacam stempel di tangan anak-anak itu
sambil berteriak keras, “yang sudah,
distempel dulu tangannya, gak boleh datang minta lagi ya”. Dunia anak-anak
yang menyenangkan. Waktu anak-anak dulu saya juga begitu, bergembira meminta
jatah lebaran dari orang-orang. Sayangnya tiap saya dikenali orang, “oh, ada anak Pak Guru, anak Pak Guru, gak
usah dikasih, gak enak sama Pak Guru”. Lain tempat lain budaya, kata mereka
kalau ngasih anak pak guru itu dianggap kurang sopan dan tidak hormat. Biasanya
kalau mau ngasih, mereka akan datang langsung ke rumah. Tapi kan, rasanya lain,
sedih juga saya, teman-teman saya dompetnya sudah penuh, sementara saya kadang
sampai pulang masih kosong. Hiks.
Lain zaman juga
lain besaran. Kalau zaman saya dulu, dikasihnya uang recehan sudah senang luar
biasa, lah anak-anak ini jatahnya satu orang dua puluh lima ribu. Oalah …
pantesan dikasih stempel segala.
.
Rumah Pak Andi
ini sebenarnya biasa saja, tidak terlihat terlalu besar dan megah. Meski
begitu, sudah jadi rahasia umum jika bertandang kesini, pulang dapat amlopnya
besar. Makanya anak-anak senang kemari. Di tempat yang lain, mungkin mereka
cuma bisa dapat seribu-dua ribu satu rumah. Lumayankan, datang ke rumah Pak
Andi sudah cukup mewakili dua puluh lima rumah.
Setelah Ibu
selesai bercakap-cakap dengan Bu Andi, dan saya selesai makan buras (semacam
lontong khas bugis), kami pun berpamitan. Sebelum pulang, Bu Andi mengambil dua
amlop putih yang saya lihat berserakan di atas kursi.
“Bu, ini ada sedikit rezeki”,
saya agak pakewuh juga sebenarnya
saat menerima amlop tersebut.
“Ini nanti kalau anak saya datang, mau buang
uang juga Bu”, Pak Andi menimpali.
Sekedar tahu, buang uang itu maksudnya
menghamburkan uang, biasanya di hambur dari atas loteng rumah atau
ditempat-tempat keramaian. Bisa di pelabuhan, di terminal atau di tengah jalan.
Besarannya bermacam-macam, dari ribuan, puluhan sampai ratusan ribu. Bagi yang
beruntung, bisa meraup sampai jutaan rupiah sekali ikut berebut. Ini memang
kebiasaan keluarga Pak Andi, sang pengusaha minyak ini. Saya juga belum pernah
melihat secara langsung bagaimana hebohnya buang uang, sebab saya tak begitu update kapan jadwal buang uang.
Sesampainya di
rumah, saya yang penasaran dengan isi amplop langsung merobeknya. Isinya
seratus ribu, Alhamdulillah, besar sekali ya …
***
Menjelang siang,
setelah berlebaran dengan keluarga, dan menerima banyak tamu. Giliran Bapak,
adik saya yang laki-laki dan Kak yang bersilaturrohim ke rumah tetangga.
Sementara saya, ibu dan kedua adik perempuan saya jaga rumah.
“Kemarin waktu saya satu bulan berobat di
Jakarta, saya tinggal di hotel Pak, satu hari biaya hotelnya aja enam juta.
Saya fikir-fikir lagi, kalau begini terus bisa banyak biaya juga ini. Akhirnya
saya beli rumah Pak, Alhamdulillah dapat murah Pak”
“Dapat harga berapa Pak Andi?”
“Alhamdulillah, Cuma dua milyar”
He? Cuma dua
milyar?, mendengar cerita Bapak yang baru saja ke tempat Pak Andi, saya hanya
bengong.
“Jadi sekarang itu rumah kosong Pak. Saya gaji empat
orang untuk jaga rumah saya. Satu orang saya gaji lima juta”.
“Ngomong-ngomong soal zakat Pak, saya kemarin juga
sudah zakat, total semua dua ratus juta. Itu belum zakat yang saya bayarkan di
Balikpapan sama yang di Jakarta”. Kebetulan Bapak
ketua BAZ , jadi wajarlah kalau pembicaraan juga menyerempet ke zakat, fikir
saya.
“Ini untuk lebaran, sudah saya siapkan satu em pak
untuk sedekah bagi-baginya”. He? Satu em? Satu ember
uang maksudnya ya?. Sejenak kami tertawa lepas mengingat pengalaman-pengalaman
indah bersilaturrohim ke tetangga. Apalagi mendengar cerita adek, saat
bertandang ke tempat Pak Andi, ternyata bukan uang dalam amlop yang diberikan,
melainkan Pak Andi yang lima menit sekali keluar dari kamar menghambur uang
puluhan.
“Jadi dapat berapa dek?”, setengah
bercanda saya bertanya padanya.
“Wah, aku di pojokan jadi susah rebutannya, tuh
temenku sampe nyeletuk, tahu begini, kita disini aja sampai sore nungguin uang,
gak usah kerja”.
Di tengah derai
tawa, salah seorang dari kami nyeletuk,
“Kalau aja ada 10 orang aja kayak Pak Andi, aku rela
datangin semuanya” ya iyalah, siapa yang
gak mau satu hari dapat satu juta cuma-cuma? Ha ha ha ha … kami pun tertawa
berbarengan. Benar-benar pengalaman lebaran yang tak terlupakan.
Gambar dipinjam dari: sini
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
1 komentar
Kisah apik Mbak Nurin di atas sudah kami publikasikan di www.timkomte.com Silakan mengundang banyak teman dan saudara untuk mengomentarinya di link berikut ini:
ReplyDeletehttp://www.timkomte.com/2012/09/lembaran-kertas-sang-juragan.html
Salam kenal dan sukses selalu buat Mbak Nurin.