Maya duduk menekur di depan komputer usangnya. Beberapa kali ditatapnya layar berwarna biru langit dengan background nuansa alam,
"Huuh, belum ada yang komen juga di blogku", dengusnya kesal.
Tiap sepuluh menit jemarinya juga tak lepas dari membuka status di dunia maya, maklum Maya memiliki lebih dari dua jejaring sosial. Kadang ia tersenyum mendapati statusnya yang senantiasa ter-update hampir tiga puluh menit sekali itu penuh dengan komentar. Dunianya disibukkan dengan meng-update, memberi komentar, membalas komentar atau hanya sekedar browsing-browsing iseng. Semua hal tak luput ia ceritakan, dari hal kecil semisal sapaan selamat pagi-siang-sore-malam, selamat makan-sahur-buka, foto narsis, foto iseng, foto hasil masakan. Selain itu semua, aktivitasnya dipenuhi dengan penantian, menanti komentar.
Tak jauh dari tempat Maya, Iskha sedang dilanda kegalauan. Sudah sejak dua jam lalu, ia membuka almari pakaiannya dan menghambur semua isinya.
"Ma, gimana dong, masak Iska mesti pake baju ini lagi, ini kan sudah pernah dipake waktu pertemuan bulan lalu."
"Ma, gimana dong, masak Iska mesti pake baju ini lagi, ini kan sudah pernah dipake waktu pertemuan bulan lalu."
"Ya sudah, pakai baju kuning itu saja"
"Hah, yang ini sudah kelewat jaman Ma, ntar bisa jadi bahan omongan yang lain"
"Aduh, terserah kamu saja deh, bentar lagi Mama mau arisan", mama pun segera mengganti daster lamanya dengan gamis pink cantik berhiaskan renda dan hiasan manik, memoles wajahnya dengan riasan semi tebal bak pengantin yang akan bersanding, bolak-balik mengganti kerudung yang senada dengan gamis yang dikenakannya, mematut-matut di cermin dan tak lupa memasangkan dua buah cincin pemberian Papa di jari manis dan telunjuknya.
--
"Jeng Anita, mukenanya saya perhatikan ganti terus tiap seminggu sekali, bagus-bagus lagi modelnya, belum pernah saya lihat ada disini, beli dimana?"
"Oh ini bu, saya borong mukena waktu ke Makassar kemarin. Iya bu, saya sengaja punya banyak yang bagus-bagus. Baju-baju kita harganya ratusan ribu, belum baju pesta yang harganya jutaan, eh, giliran menghadap Allah, kita pake mukena yang bulukan, yang udah jelek, dan rasanya sayang banget sama uang untuk beli mukena bagusan. Apa gak miris kita?".
"Betul juga ya Jeng, memang seharusnya begitu"
"Iya bu, ini baru mukena untuk tarawih aja lho bu, saya juga sudah siapin mukena khusus untuk sholat Ied ntar"
Seperti biasa, sebelum shalat tarawih dimulai, seorang pengurus masjid mengumumkan besaran dana hasil infaq sholat kemarin malam. Di barisan depan, kira-kira enam baris dari tempat dua ibu sibuk membahas mukena, diam-diam hati Pak Iman kembang-kempis saat pengumuman donatur-donatur disebutkan.
"Dari Bapak Haji Ir. Iman Santosa, M.Si sebesar dua juta lima ratus ribu rupiah", begitu ujar sang pengurus masjid.
"Wah, pak Haji makin hebat saja, makin tahun makin besar infaqnya, ngalahin besaran infaqnya pak Kades tahun ini", seloroh pak Sugeng yang duduk bersebelahan dengan pak Iman.
"Itu belum seberapa pak, mudah-mudahan saja membawa berkah. Sebenarnya saya mau ngasih ke masjid lebih lagi pak, tapi kebetulan tahun ini saya juga punya nazar untuk ngasih ke pesantren juga. Jadi ya maklum saja, belum bisa banyak-banyak".
---
Ikhlas, aktivitas hati yang satu ini begitu mudah diucapkan, namun amat sukar dipraktekkan. Adakalanya ibadah memang berniatkan suci dan murni karena Allah saja, akan tetapi manusia dengan segala kelemahan, juga nistanya menginginkan yang selainnya. Manusia haus akan puji, manusia rakus untuk terus dihormati. Antara niatan ikhlas dan tidak ikhlas sangat tipis jurang pemisahnya.
Ikrar doa yang senantiasa kita ucapkan “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162) pada dasarnya masih berada dimulut saja. Realitanya, sangat sulit meniatkan segala sesuatu hanya untuk Allah, bahkan menisbatkan 'hidup' hanya untuk Allah juga sangat sulit dilakukan. Kita masih berjuang 'hidup' untuk kehidupan 'dunia' yang lebih baik. Untuk kedudukan yang lebih tinggi, jabatan, kehormatan, kekayaan dan mungkin saja untuk 'cinta' kepada selain-Nya.
Ikhlas, satu kata yang harus terus kita simpan untuk dipelajari. Ikhlas dan sabar adalah dua harta yang seharusnya kita inginkan saat ini, dua harta iman yang kekal. Di penghujung bulan baik ini, ada baiknya kita kembali melihat ke dalam diri. Kembali menekuri semua niatan, untuk apa melakukan banyak kebaikan, untuk Allah atau untuk dilihat yang lain?
Sebagaimana Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”
Atau sebagaimana yang tertera dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah).
---
Ramadhan segera berlalu, saya masih ingin terus belajar tentang ikhlas, namun nampaknya belum juga sepenuhnya ikhlas. Saya merenung tentang mengapa saya harus menulis, saya merenung tentang mengapa saya harus beribadah, bahkan saya juga merenung mengapa saya harus berbuat kebaikan. Hasilnya, hampir semuanya selalu bercampur. Bercampur dengan niatan-niatan lain, meski itu halus. Maka saya, hingga saat ini masih terus mengakhirkan ikhlas. Sholat dulu, belajar ikhlas kemudian. Sedekah dulu, belajar ikhlas kemudian. Puasa dulu, belajar ikhlas kemudian. Ya Allah ya Robb, semoga kami bisa sampai pada derajat Mukhlisin, orang-orang yang ikhlas hanya karena Engkau.
Selamat hari Idul Fitri 1433 H. Mohon maaf lahir dan batin. Mudah-mudahan blog ini bisa terus menebarkan hikmah dan manfaat.
gambar dipinjam dari sini
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
3 komentar
Ikhlas itu cuma Alloh yang bisa menilai. Manusia cuma bisa berdoa biar ibadahnya ikhlas.
ReplyDelete@Millati Indah Yup, bener sekali. Hanya saja, ikhlas itu bisa dirasakan, minimal dari lubuk hati yang tedalam
ReplyDelete@Millati Indah oh ya, met lebaran ya. Insyaalloh ntar dibantuin
ReplyDelete