' I miss you so much'
Itulah sepenggalah kalimat yang ditiupkannya di telinga saya kemarin. Saya hanya tertawa renyah, rasanya aneh, sebab kalimat tersebut muncul begitu saja dari seorang pemuda yang pelit bicara, tak pandai merangkai kata, apalagi berpujangga.
Rupanya jarak telah melahirkan cipta, paling tidak itulah yang saya rasakan. Jarak juga yang mungkin menjadi salah satu penyebab buntunya pikiran saya, tidak lagi menggebu dalam semangat, sedang hidup terasa begitu datar.
Sebesar apapun kemarahan, seheboh apapun pertengkaran, sesering apapun kejengkelan yang terjadi dalam sebuah pernikahan, nikmatilah. Kehidupanmu akan lebih berwarna, dan disitulah letak kebahagiaan sesungguhnya. Setidaknya, dengan bersama, masih akan ada senyuman dan tawa yang tercipta diantara riuh amarah. Dan itu, tidak akan terjadi, saat berpisah.Tapi kali ini saya tidak hendak menulis tentang cinta. Beberapa hari ini, hati saya dirudung kelabu. Seperti lika-liku hidup, saya akhirnya terserang WB alias Writer's Block. Itu istilah yang digunakan saat penulis tidak tahu akan menulis apa, mentok, kehabisan ide. Meski bukan penyakit mematikan, WB ini kadangkala ditandai dengan gejala pusing tak karuan, mual, mata berkunang-kunang, tidur tidak tenang. Dalam kondisi kritis, seseorang yang terserang WB harus segera diberi pertolongan mudah, yakni dengan kembali menulis. Tentang apapun dan tema apapun.
Menulis Itu Setengah Gaib
Menulis Itu 100 Persen Curhat
Menulis Itu Membaca
Menulis Itu Soal Berani, Berani Menghadapi yang Tanda Tanya
Bicara soal menulis, saya tidak akan berpanjang lebar tentang mengapa harus menulis lagi dan lagi kan? sudah banyak buku yang membahas itu dan sudah banyak pula mulut yang berkoar tentang itu. Menulis sama sekali tidak berhubungan dengan bakat atau kemampuan, menulis layaknya juga membaca sejatinya adalah soal kemauan. Nah, kemauan ini yang biasanya sulit untuk dilakukan. Bagi seorang penulis, seringkali memulai membuat tulisan menjadi momok yang cukup menakutkan. Setelah berhasil memulaipun, terkadang merampungkan tulisan juga menjadi masalah. Saya sering sekali tidak bisa menyelesaikan sebuah tulisan di saat waktu menulis terpotong. Sebabnya, saat hendak melanjutkan tulisan tersebut, saya mendapatkan ide lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan ide saya pada awal mula. Alhasil, tema cerita saya berubah atau naasnya cerita saya tidak bisa selesai karena setiap hendak menamatkannya, selalu berbelok arah. Jika sudah begitu, saya hanya tinggal menunggu waktu terkena sindrom WB.
Saat menulis, saya selalu berusaha menulis saat suasana hati sedang baik. Sebenarnya itu tidak perlu, terlebih untuk yang belum terbiasa menulis. Saat bad mood pun, ada baiknya kita tetap memaksakan diri untuk menulis sebagai latihan pembiasaan. Ada sebuah nasihat baik dari Rasulullah tentang ini. Bunyinya:
Dari Aisyah r.a. berkata : Nabi pernah ditanya :”Manakah amal yang paling dicintai Allah? Beliau bersabda :”Yang dilakukan secara terus menerus meskipun sedikit”. Beliau bersabda lagi: ”Dan lakukanlah amal-amal itu, sekadar kalian sanggup melakukannya.” (HR. Bukhari)Amal yang dilakukan secara terus menerus meskipun sedikit adalah amal yang paling dicintai Allah. Jika menginginkan sebuah kesuksesan, apapun jenis suksesnya, perlu ada kesinambungan, bahasa kerennya 'istiqomah'.
Untuk mengundang kesinambungan, ada baiknya melakukan dari hal yang ringan-ringan saja dulu. Dengan menulis sedikit-sedikit misalnya. Seperti yang banyak dilakukan orang di jejaring sosial. Dimana semua orang, bahkan tanpa malu, mengumbar apapun untuk dibaca jutaan orang di seluruh dunia. Mereka membeberkan apa yang mereka rasakan, apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar. Itu adalah kunci dari menulis, 'membeberkan apa yang dirasakan, dilihat dan didengar' serta 'tidak malu ketika tulisannya dibaca orang lain'.
This is it!, rawon bebek panggang ala Novia (sambil mengupload foto hasil masakan yang amburadul)
Kamu tahu gak sih, kalau aku sayang kamu. Tapi kenapa kamu tega ninggalin aku *ngomong sama jerawatSetelah itu, mulailah menulis dengan kalimat yang agak panjang, bisa memulai dengan menulis satu paragraf atau dua paragraf setiap harinya. Lakukan sedikit-sedikit saja dulu, dan sekedar sanggup melakukannya.
Bicara soal hal ghaib, saya akan sedikit membuka rahasia tentang menulis. Menulis itu sebenarnya agak berhubungan dengan hal ghaib. Seperti halnya, anda yang tiba-tiba mendapatkan ide untuk membuat status, kemudian ide itu seolah berteriak dan mengaduk-ngaduk fikiran untuk segera dituliskan, seperti itulah sebenarnya proses memulai menulis. Tulis saja apa yang sedang anda fikirkan. Entah itu penting, sangat penting atau bahkan sangat tidak penting. Setelah terbiasa, anda bahkan bisa melihat sederet tulisan yang seolah terpampang di depan mata, menunggu untuk segera diketik. Benar-benar ghaib!.
Tulisan seseorang, percaya atau tidak percaya, juga memperlihatkan karakter dan sifat seseorang. Tidak percaya, coba tengok sekali lagi status teman-teman anda di jejaring sosial atau sekedar berseluncur ke blog mereka.
Menumpahkan isi hati tentu saja sangat menyehatkan. Sayangnya, tidak semua orang senang mendengarkan curahan hati, teman dekat sekalipun. Selain itu, tidak semua isi hati ingin kita bagi blak-blakan kepada yang lain. Ada bagian yang ingin kita simpan sendiri, nah menulislah tempat yang paling baik untuk menumpahkan segalanya.
Ohya, bicara soal curhat. Tulisan curhat 'keakuan' yang positif bisa menjadi tulisan yang membangun. Seperti tulisan Ustadz Yusuf Mansur yang isinya biasanya berkenaan dengan curhat pengalaman-pengalaman pribadinya. Atau dengarkan ceramahnya yang biasa dibuka dengan "saya tuh ye ...", "istri saya pak ...", "anak saya nih kemarin ...". Tapi saya merasa nyaman-nyaman saja dengan itu, sebab adakalanya sesuatu itu baru bisa mengena saat dikisahkan oleh orang yang benar-benar pernah merasakannya.
Tulisan curhat 'keakuan' yang positif juga dapat menginspirasi banyak orang, itulah mengapa bisa muncul buku biografi atau otobiografi.
Saya teringat pesan seorang guru saya,
"Orang yang tidak memiliki, tidak akan bisa memberi"Nah, salah satu cara untuk memiliki adalah dengan belajar banyak membaca. Gaya menulis saya sekarang dengan beberapa tahun ke belakang sangat berbeda. Tulisan saya saat masih anak-anak, banyak dipengaruhi oleh buku bacaan cerita anak tentang kisah-kisah fabel sederhana khas anak. Karena itu saya jadi lihai menuliskan cerita-cerita serupa. Beranjak remaja, tulisan saya sangat dipengaruhi oleh sajak-sajak Kahlil Gibran. Karena itu, tulisan saya menjadi sedikit puitis, mirip dengan gaya tulisan Gibran, banyak kisah-kisah cinta dan semacamnya. Beberapa tahun belakangan, saya mulai meninggalkan roman, puisi dan tulisan-tulisan semacam Gibran, novel semacam Laila dan Majnun dan kisah-kisah patah hati karena pada suatu waktu saya merasa menjadi terlalu 'mellow' dan lemah. Itulah mengapa, akhir-akhir ini entah mengapa saya menjadi kesulitan menulis puitis seperti dulu.
Judul tersebut saya ambil dari kalimat Soe Hok Gie, "Hidup itu soal berani, berani menghadapi yang tanda tanya'. Menulispun sama saja. Menulis itu soal berani, berani menghadapi yang tanda tanda. Berani menghadapi ketidaktahuan, ketidakjelasan dan kesulitan terhadap apa yang hendak ditulis. Tulis saja, tulis apa yang berkecamuk difikiranmu!
Tanjung Selor Kota Ibadah,
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
3 komentar
Aku seringnya nulis tapi nggak selesai. Sering ngerasa, "Ah, nggak oke, nggak bagus." Jadinya nggak jadi ngepost deh.
ReplyDeleteKalau Rini, biasanya nulis sejalan-jalannya aja sama apa yang ada di pikiran dan hati yang sebenarnya ingin dilontarkan lewat ucapan tapi teralihkan ke tangan. .. hehehe.. :)
ReplyDeleteterkadang kalau sudah rampung, pas mau diperiksa. malah bikin ketawa. :D
@Rishinsa Rini sekarang puitis ya...
ReplyDelete