Aku duduk di tepian sungai Kayan, Tanjung Selor Kota Ibadah. Senja,
warnanya merah saga, indah nian bercampur dengan aroma sungai yang khas.
Beberapa pemancing terlihat gelisah karena tak kunjung mendapatkan
tangkapan, tiga pasang muda-mudi asyik bercengkerama sambil menatap
barisan bukit di seberang, tepat di sekitar Gunung Putih. Seorang ibu
seperti juga aku, begitu awas menatap kedua anaknya yang berlarian
bermain layang-layang, takut kalau-kalau mereka berlari terlalu jauh.
Aisyah,
putriku yang baru sembilan bulan ku lahirkan, akhirnya bisa tertidur
pulas. Kasihan, sudah dua hari ini tidurnya seringkali tak nyenyak, aku
mengikuti saran Yazmin dan Adi, kakaknya untuk mengajak mereka bertiga
jalan-jalan menikmati senja.
“Bunda, Yazmin pengen beli
bakso sama abang yang disana…bunda… ayo bun..”, Yazmin menarik-narik
bajuku, hingga hampir saja membangunkan Aisyah. Bakso, aku seperti
pesakitan jika melihat penjual bakso, alergi atau lebih tepatnya trauma.
Rasanya yang kenyal dan enak itu hanya sesaat, hanya di awal, tidak
akan lama dan abadi … bakso mengingatkanku pada mas Priambudi, pada
pertemuan pertama kali dulu.
“Baksonya satu ya bang, kasih bonus pentolnya dua ya…. Cinta kan pelanggan setia…”,
“Suit…suit…
cie…cie....”, Anita, Lemon dan Ifani serentak menggodaku, terlebih
wajahku yang mulai bersemu merah. Sepulang dari sekolah, kami yang waktu
itu masih duduk di bangku SMP seringkali memesan bakso mas Priambudi
yang mangkal di depan gerbang sekolah. Mas Priambudi yang tinggi,
ganteng dan rapi itu menarik perhatianku. Bukan aku yang memulai, Mas
Priambudi yang memulainya lebih dulu. Ia sering memberiku satu mangkok
bakso gratis, diam-diam tanpa sepengetahuan ketiga temanku tentunya.
Biasa saja, tapi aku merasa sangat di istimewakan. Setelah itu, aku
seringkali berpura-pura lewat di tempat mangkalnya, saat ia sedang sibuk
menuangkan kuah bakso atau saat ia sedang santai menunggu pembeli.
Aku
terpikat, terlebih saat menjelang hari kelulusanku, mas Priambudi
menyatakan cintanya padaku, dan ia nekat melamarku. Yah, aku dilamar,
aku takluk di bawah cintanya. Aku, Cinta… gadis berumur 15 tahun, baru
lulus SMP, akhirnya menikah dengan pemuda tampan penjual bakso, mas
Priambudi yang usianya mendekati 23.
Ah, mas Priam… sampai
kapanpun mungkin aku akan selalu terpikat, tapi kejadian tadi malam,
juga malam-malam sebelumnya, membuat kadar cintaku semakin memendar.
“Untuk
apa sih ikut-ikut pengajian kayak gitu? Ngapain juga kamu sholat kayak
sudah jadi bu haji aja…”. Prang… mas Pram membuang satu baki isi kue
jualanku, yang tak laku satupun di hari itu.
“Sudah aku
bilang berkali-kali, gak usah pake nyembah-nyembah dan mohon segala,
yang penting apa yang bisa kita makan hari ini. Lihat… mana bukti dari
Tuhan? Setiap kali kamu mengingatnya, setiap kali itu juga Dia
mencampakkan kita”. Byuuuur…. mas Pram menumpahkan sepanci besar kuah
baksonya yang hanya laku dua mangkuk. Matanya merah, menyeramkan. Mas
Priambudi mencaciku habis-habisan, aku juga tidak mengerti mengapa
setiap kali aku ikut pengajian atau aku mulai rajin sholat, dagangan
kami pasti tidak laku.
“Yazmin, kita makan bakso punya ayah saja ya, rasanya lebih enak dan yummmm…bang Adi mau? Yuuk, kita pulang ke rumah…”.
“Bunda…..emmm…
kenapa sih Ayah suka marah-marah dan kasar sama bunda?”, aku menarik
napas dalam-dalam, berfikir jawaban yang tepat untuk Adi yang baru saja
memasuki kelas 1 SD. Belum sempat aku berucap, seorang laki-laki
berseragam yang baru saja keluar dari mobil panther silver,
tergopoh-gopoh mengejarku.
“Ibu Priambudi ya? ohhh… jadi ini bayi ibu yang namanya Aisyah…?”
“Ya pak, ada apa ya?”
“Tidak
bu, saya hanya mau menanyakan tawaran harga yang pas, untuk mengambil
Aisyah. Kemarin saya berbincang-bincang dengan pak Priambudi……………………”.
Air
mataku jatuh, tidak lagi ku perhatikan perkataan laki-laki berseragam
itu yang nampak sumringah karena sebentar lagi akan memboyong seorang
bayi setelah dua puluh tahun belum diberi momongan. Kepalaku berkunang,
langkahku sempoyongan. Abang bakso yang diinginkan Yazmin berdiri
sepuluh langkah dari hadapanku.
gambar dipinjam.
Tulisan ini sudah pernah saya upload di FB. Saya kisahkan kembali kisah yang intisarinya berdasarkan kisah nyata ini, selain sebab karena saya tak jua mendapatkan ide menulis, juga karena agar kisah ini tak lenyap begitu saja. Semoga bermanfaat.
Tulisan ini sudah pernah saya upload di FB. Saya kisahkan kembali kisah yang intisarinya berdasarkan kisah nyata ini, selain sebab karena saya tak jua mendapatkan ide menulis, juga karena agar kisah ini tak lenyap begitu saja. Semoga bermanfaat.
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
5 komentar
ini kisah nyata dik?
ReplyDelete@Nimas Kinanthi intisarinya diambil dari kisah nyata mbak, bisa mbak kembangin jadi novel nih. itung-itung gantikan cerita yang tak janjikan itu. Kayaknya aku gak jadi ngasih, :)
ReplyDeletekeren mbak :)
ReplyDeletetulisan mb nurin keren-keren...
oya mbak, endri ikutan yang pakai penomoran ya mbak Nurin, boleh kan ya, hehehe
postingannya ikut2an pakai nomor :)
@endricahyo2safi3 meski begitu, aku masih belum punya banyak karya En. Yuk, kita terus mengasah kemampuan agar lebih banyak memiliki tulisan yang bermanfaat,,, :)
ReplyDelete@Nurin Ainistikmalia ya boleh, silahkan saja...
ReplyDelete