Jalanan lengang sekali, warung-warung makan juga sudah banyak yang tutup. Hari ini hari Jumat, hari pertama berpuasa bagi yang sudah memulainya. Sebagai seorang birokrat yang baik, saya ikut manut dengan hasil sidang isbath pemerintah, berpuasa esok hari (lah, apa hubungannya?). Jarum jam telah menunjukkan pukul 13.00 siang, saat yang sama di saat senin lalu, saya bersama beberapa kawan usai mengisi beberapa pertanyaan dalam angket. Diantara puluhan pertanyaan, ada satu pertanyaan menggelitik yang jika kalimatnya saya bahasakan kembali berbunyi: apakah anda berambisi untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil?. Sontak saya langsung protes ketika melihat jawaban seorang kawan yang melingkari jawaban bahwa ia sangat tidak berambisi.
“Lah, kamu kan sekarang sudah jadi PNS, pilihannya kok itu”
“Iya, tapi kan guwe kagak pernah berambisi, beneran deh”,
entah ada apa
dibalik definisi ambisi, menurut saya ambisi itukan kemauan. Jika tidak ada
kemauan sangat tidak mungkin jika saat ini bisa nangkring dengan enjoy di
belakang meja dengan status PNS. Kalau tidak percaya, baiklah mari kita buka
definisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ambisi dimaknai sebagai keinginan (hasrat, nafsu) yg
besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu (seperti pangkat, kedudukan)
atau melakukan sesuatu. Jadi, ambisi itu memang ada, kalau karena permintaan
orang lain, itukan motivasi.
“Sssst… aku kan jadi PNS cuma karena menuruti permintaan ibu”, seorang kawan lain setengah merendahkan suara turut membela diri. Ini tipe anak sholehah yang berbakti pada orangtua.
“Terus jawabannya apa nih, aku kan jadi PNS karena ikut suami”, ini tipikal istri sholehah yang berbakti pada suami. Kalau kata seorang teman blogger saya, ‘Ke Europe manut, ke Amrik katut’, he he.
“Iya nih, sebenarnya sih ana juga karena permintaan bapak, lah anti sendiri gimana?”
Di todong pertanyaan balik, saya kan gengsi juga kalau jawabannya sama,
“Kalau aku memang berambisi, lah sekolahnya saja di kedinasan”, sok banget saya, padahal sebenarnya saya juga punya jawaban yang tidak jauh berbeda, dan tentunya enggan dicap sebagai muslimah ambisius pengejar ke PNS-an.
Percayalah, seperti
pada iklan hasil survey ditelevisi itu, bahwa ‘sembilan dari 10 muslimah
PNS tidak pernah berambisi menjadi PNS’. Tanya saja pada anak-anak ingusan itu
ketika mereka ditanya mau jadi apa kelak jika dewasa? rata-rata pasti akan
menjawab, "saya ingin jadi dokter", "saya ingin jadi guru",
"saya ingin jadi polisi", tidak ada kan anak-anak yang menjawab
"saya ingin jadi guru PNS yang bersertifikasi", atau "saya ingin
menjadi PNS di Dinas Pertanian". Karena memang PNS tidak pernah
dibayangkan oleh seorang anak-anak ingusan sampai ia kemudian dewasa.
Orang-orang dewasalah yang turut andil memperkenalkan istilah 'PNS' itu, dan
barangkali lembaga pendidikan pencetak para sarjana itu yang telah demikian
membentuk pemikiran bahwa lulusan sarjana itu paling keren jika menjadi pekerja
kantoran, apalagi kalau sudah masuk PNS.
Jadi
kesimpulannya, jikapun kini, banyak muslimah yang berkiprah di pemerintahan,
sebagian dari mereka punya alasan dan kepentingan tertentu untuk
menggelutinya.
Seperti halnya
kami, bisa jadi salah satu alasan sebagian besar yang lain juga karena
permintaan orangtua. Yah, barangkali karena orangtuanya dulu pernah punya
cita-cita menjadi PNS yang tak kesampaian, atau mungkin gelar ‘prestise’ yang
nampaknya sudah melekat di kalangan masyarakat telah menghijaukan mata kedua
orangtua hingga begitu bangga melihat anaknya menjadi pegawai. Atau barangkali
iming-iming ‘uang pensiun’ begitu menggiurkan batin mereka dan berharap kelak
anaknya tidak kekurangan suatu apapun di hari tuanya.
Dan lagi, tidak
semua anak terlahir dari orangtua bangsawan, yang meninggalkan segunung emas
dan sedanau berlian untuk ditinggalkan. Tidak semua anak terlahir dari mantan
CEO perusahaan batubara yang akan menyerahkan trah pimpinan kepadanya. Tidak
semua anak terlahir dari pengusaha dengan ribuan toko yang siap diwariskan
begitu ia dewasa. Tidak semua anak terlahir dari kalangan kyai yang memiliki
ribuan santri dan lembaga pendidikan untuk diteruskan pengelolaannya.
Jadi bagi saya,
menjadi PNS dengan apapun alasannya adalah pilihan hidup yang mulia. Mau
karena orangtua, suami, anak, beban tanggungan atau terpaksa sekalipun. Dan
sebagaimana pilihan, tentu ada tebusan yang harus dibayar dengan sangat mahal
sebagai gantinya. Sebagaimana kisah seorang sahabat saya di salah satu sosial
media, yang beberapa minggu terakhir diwarnai kegamangan, kegalauan, penuh
curhat ala ABG labil.
"Oke, saya putuskan untuk tidak jadi resign. Bismillah", kira-kira begitu tulisan update statusnya suatu hari.
"Bingung dan bimbang. Kasihan sama si kecil. Bagaimana ya? kerja gak konsen, ngurus baby juga gak fokus. Serba salah. Apa aku resign aja ya?" ganti status lagi, beberapa hari kemudian.
Bisa ditebak edisi statusnya
setelah itu. Penuh pemikiran antara jadi resign-tidak jadi-resign-tidak
jadi.
Resign Itu Harus!
Ya, resign atau dalam
bahasa Indonesia berarti 'Berhenti' adalah sebuah keharusan, jika kita merasa
kehidupan kita akan lebih baik di tempat yang baru nanti. Bukan karena kita
menyerah pada keadaan yang adakalanya tidak sesuai dengan harapan. Atau hanya
tergiur 'rumput tetangga' yang terlihat lebih hijau dan subur. Resignlah karena
alasan berharga yang harus diperjuangkan di tempat yang baru, bukan hanya
karena terkesima melihat betapa nikmatnya menjadi ibu rumah tangga yang setia
setiap saat mengurusi keluarga. Sebab jika hanya itu alasannya, saya khawatir
setelah menjadi ibu rumah tangga, akan dengan mudah resign lagi karena tergiur
dengan kondisi di luar yang dianggap lebih menyenangkan. Resignlah karena kita
memang memantaskan diri untuk berada di tempat yang baru, dengan segala resiko
hidupnya.
Dilema menjadi
perempuan kantoran mungkin tidak hanya dirasakan oleh sahabat saya saja, bahkan
saya jika mampu, mungkin saya akan memikirkan resign ini lebih dari seribu kali
dalam sehari dengan sempurna. Masih lekat dalam ingatan, saat saya pertama kali
melihat gedung perkantoran, mendadak saya mual dan muntah. Membayangkan saya
akan duduk di belakang meja, seharian. Juga membayangkan bahwa saya akan
menjadi bawahan, pesuruh, pembantu, kacung atau apapun namanya itu yang dipoles
dengan nama yang agaknya terlihat keren, -staf, asisten, pegawai-. Apa yang
saya jalani saat ini, jauh … jauh … jauh sekali dari impian dan bayangan saya
akan masa depan.
Namun, hidup
adalah pilihan. Kita telah dengan sadar memilih, maka kita harus berani
bertanggung jawab atas pilihan, apapun motivasinya di awal mula. Keberanian
akan menjalani pilihan menurut saya, harus dibuktikan dengan kesungguhan, kerja
keras, dan melakukan hal yang terbaik untuk belajar mencintainya. Sehingga saat
kita pada suatu ketika benar-benar memutuskan resign dari hal yang dijalani
saat ini, kita telah berhenti dengan elegan, sebagai pahlawan yang layak
dihadiahi lencana bukan sebagai pecundang yang terbuang. Mereka yang kita
tinggalkan akan mengingat kita sebagai sosok dengan penuh kenangan baik bukan
kenangan buruk seperti label orang yang mudah patah semangat, banyak berkeluh
kesah, tidak disiplin, tidak profesional atau semacamnya.
Resign adalah
sebuah keharusan, seperti saat Allah menentukan bulan Ramadhan sebagai bulan
Resign dari semua hal duniawi yang menyibukkan. Resign adalah sebuah keharusan,
seperti saat Allah menentukan bulan Ramadhan sebagai bulan untuk berhenti
mencela, berhenti mengumpat, berhenti mencaci, berhenti membenci, berhenti
berbuat maksiat dan menggantinya dengan memperbanyak dzikir, memperbanyak
amalan, memperbanyak memberi, memperbanyak perkataan baik, memperbanyak muhasabah.
Ada waktu dimana kita harus berhenti, untuk menyambut hari berikutnya dengan
lebih baik. Ada waktu dimana kita harus berhenti dari tempat berpijak saat ini,
menuju tempat pijakan baru yang lebih akan membesarkan jiwa.
Resign Itu Tidak Perlu Bualan
Ya, resign itu
tidak memerlukan bualan. Jadi tidaklah perlu terlalu banyak mengumbar keluh
kesah, sesumbar berlebihan pada dunia betapa mengenaskannya kehidupan kita di
tempat yang saat ini. Itu sama halnya seperti menyingkapkan pakaian, memalukan.
Atau seperti seseorang yang sehabis ramadhan rajin melaksanakan tahajud setiap
malam lalu memamerkannya di pagi harinya, hanya demi tujuan agar orang lain
memberinya predikat ‘orang alim’, mengenaskan.
Karena Kehidupan Senantiasa Ber-Rotasi
Seperti roda,
jika ingin maju, maka roda itu harus berputar, harus berotasi.
“Bersyukurlah atas setiap nikmat yang Alloh beri. Setiap peristiwa yang kita jalani, entah itu sesuai atau tidak sesuai dengan keinginan kita insyaalloh pasti ada hikmahnya. Alloh itu paling tahu apa yang terbaik untuk kita. Yakinlah, pilihan yang alloh beri itulah yang terbaik. Tapi ya itu, kita tidak diberitahu sekarang, kita diberitahunya nanti. Karena itu saya sarankan anda bersyukurlah sejak sekarang, sebelum kita menyesal di kemudian karena keterlambatan kita. Kalau kita bersyukur maka akan melahirkan anak cucu kesyukuran yang melimpah dibelakangnya, begitupun sebaliknya, jika kita banyak mengeluh.”
“ya jangan merasa dibuang, dimanapun nanti anda ditempatkan, mau di ujung Papua atau Sumatera, sama saja. Saya ngomong begini bukan sekedarnya saja, faktanya, memang banyak teman-teman kita yang merasa seperti itu. Kembali ke yang tadi, apa yang kita anggap buruk belum tentu buruk buat kita, siapa tahu itulah yang terbaik untuk kita, dan itu yang saya rasakan sekarang….saya sangat bersyukur….”
Awal Juli ini,
seakan mengingatkan saya kembali pada pesan pak Bambang Heru Santosa, saat
masih di BPS Pusat kala itu.
“Jangan takut. Anggaplah rotasi pekerjaan ini sebagai pembelajaran. Jangan dianggap beban, tapi anggaplah itu sebagai amanah”,
begitulah pesan
pimpinan pada saya di bulan Juli ini, seperti mengetahui jika saya memang
benar-benar takut dan merasa belum sepenuhnya mampu ditempatkan dibagian yang
baru, sembari meminta saya untuk menunggu keputusan apakah saya akan di pindah
tugaskan atau tidak.
Rotasi, berpindah
tempat. Kata pepatah, hidup seperti perputaran roda, terkadang di atas,
terkadang di bawah. Pimpinan membuat kebijakan merotasikan pegawai demi
kepentingan penyegaran, demi kepentingan pembelajaran dan demi kepentingan
kemajuan kualitas sumber daya. Allah juga demikian, sang Maha Pangatur
sekaligus pemimpin tertinggi kita juga mengajarkan kita akan perputaran di
bulan Resign ini, bulan Ramadhan. Dengan berpuasa, kita bisa merasakan
bagaimana rasanya menjadi kaum papa, yang telah terbiasa tidak makan dan tidak
minum. Dengan berzakat, kita merasakan bagaimana rasanya menjadi kaum kaya,
kaum yang mampu memberi. Allah mengangkat dan menurunkan tempat peraduan
manusia juga demi kepentingan penyegaran, demi kepentingan pembelajaran dan
demi kepentingan kemajuan kualitas diri. Seorang pemimpin yang pernah merasakan
bagaimana hidup miskin di jalanan akan lebih peka terhadap permasalahan
kemiskinan yang menjera rakyatnya. Seorang pemimpin yang pernah merasakan sulitnya mendapatkan sebuah pekerjaan akan lebih peduli pada terbukanya kesempatan kerja bagi rakyatnya.
Seperti kata pak Bambang Heru, semua pasti ada hikmahnya, karena itu lakukanlah kesyukuran sejak dini.
Bulan Ramadhan telah tiba, jalanan mulai terlihat lebih ramai, saatnya berbenah. Mempersiapkan diri berotasi di bulan resign. Bismillah ...
Tanjung Selor Kota Ibadah.
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
3 komentar
Aku juga nggak berambisi jadi PNS. Ambisi dalam hal ini maksudnya keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu. Ambisiku dulu cuma bisa kuliah gratis dan langsung kerja.
ReplyDelete@Millati Indah wah bagus tuh masih ada ambisi kuliah gratis dan langsung kerja. Kalau aku dulu ambisinya cuma pengen kuliah di luar kalimantan (dan satu-satunya cara adalah ikut stis atas dorongan ortu, soale waktu itu aku gak bisa ikut spmb) dan ambisi untuk bertemu Nicholas Saputra (ha ha ha ... kealayan jaman muda... padahal sampe lulus, gak pernah ketemu satu kalipun)
ReplyDeleteNicholas Saputra? Hmmm... *hening*
ReplyDelete