Membicarakan Indonesia, tak bisa lepas dari pesona keragamannya. Mengenali pesonanya, tidak bisa hanya melihat satu sisi bagian saja. Jika hanya melihat ke sisi barat, maka mungkin kita hanya mampu membanggakan hamparan pegunungan di pulau Jawa. Jika terus-menerus menengok ke timur, mungkin kita hanya akan menemukan suku-suku pedalaman di Papua dengan adat istiadatnya yang unik. Suatu daerah tidak bisa mengklaim dialah perwujudan Indonesia, masing-masing suku tidaklah bisa mengaku bahwa sukunyalah yang paling hebat, satu pulau harus saling sambung-menyambung menjadi satu meski tidak menyatu secara lahiriah. Maka lihatlah secara menyeluruh, lihatlah betapa indah hamparan lautan, sungai, daratan, pegunungan dengan suguhan budaya, adat-istiadat, suku, dialek dimana semuanya menyatu dalam satu kesatuan, I N D O N E S I A.
Maka, bagi saya, membicarakan Indonesia ibarat membicarakan sebuah keluarga. Dimana, tidak ada batas dan ruang ‘ini punyaku’ ‘ini punyamu’ tapi ‘ini punya kita’.
Telah tiga tahun lebih 5 bulan kiranya saya berada di bumi ini. Bumi Tenguyun yang bermakna 'tanah tempat bergotong royong'. Filosofi yang sangat Indonesia. Negeri yang sudah sejak lama terkenal dengan negeri yang penduduknya gemar bahu-membahu. Sabtu lalu, sehabis membawakan acara pada Taklim Rutin Salimah (Persaudaraan Muslimah) Kabupaten Bulungan yang bertempat di masjid Jami' Habib Ahmad Al-Kaff yang diisi oleh Habib Muhammad Bil Faqih, seorang ibu mendatangi saya.
"Bu, bisakah saya minta video
yang tadi?"
"Oh ya ibu, silahkan. Ibu dari
mana?"
"Saya dari KTT".
KTT
adalah singkatan dari Kabupaten Tana Tidung, merupakan Kabupaten termuda di
Kalimantan Timur, pemekaran dari Kabupaten Bulungan. Kami pun hanyut dalam
perbincangan yang cukup lama. Sang ibu yang kemudian saya ketahui bernama
Sardiah, seorang Dayak Putuk atau biasa juga dikenal dengan Dayak Lundayeh
ternyata adalah seorang muallaf yang telah 20 tahun masuk islam. Beliau dengan
bersemangat menguraikan keinginannya untuk menyebarkan ilmu yang baru saja
didapatkannya pada teman-teman muallaf lain ditempat asalnya. Sebab, di KTT
kata beliau, taklim untuk muallaf diadakan dua kali saja dalam satu bulan.
Berbincang
dengan muallaf bagi saya adalah sebuah hal yang luar biasa. Terlebih karena
biasanya penyebutan suku dayak identik dengan non muslim. Padahal, tidak
demikian adanya. Agama asli suku dayak mulanya adalah kaharingan, semacam
animisme di jaman dahulu. Semenjak masuknya penyebaran agama di Kalimantan,
maka saat ini agama suku dayak mulai beragam, ada yang beragama kristen,
katolik, hindu dan islam. Biasanya, mereka yang telah beragama islam tidak lagi
menambahkan embel-embel dayak, seperti misalnya suku Bulungan, Banjar, Kutai,
Berau, Bakumpai dan Tidung. Namun, tidak sedikit pula masyarakat dari suku
dayak yang masuk Islam atas kesadaran sendiri.
"Apa yang saya dapatkan hari ini sungguh mengena. Saya belum pernah mendapatkan ini sebelumnya. Saya sangat terenyuh, bahkan sampai lama sekali menangis waktu diputarkan video tadi"
"Bagaimana ibu bisa sampai disini?", saya menanyakan ini, sebab jarak dari KTT ke Tanjung Selor kurang lebih 150 km dan membutuhkan waktu hampir 5 jam lamanya.
"Kebetulan saya punya adek disini, ini adek saya namanya Masdalena".
"Sepertinya saya pernah ketemu ibu", Ibu Masdalena menatap saya dengan lekat sambil menjabat erat tangan saya.
"Iya ibu, saya ingat ibu. Ibu yang di pengajian muallaf kan? saya pernah mengajar ibu", saya kemudian teringat pada pembinaan Muallaf di Tanjung Selor dimana saya sempat diminta membantu beberapa kali mengajarkan baca-tulis Al-Quran.
Ceritapun terus mengalir, berlanjut hingga saya berkunjung ke kediaman Ibu Masdalena untuk menyerahkan sekeping CD berisi video yang diputarkan tadi. Saya bertanya banyak hal, tentang bagaimana sang ibu dapat masuk islam. Hal yang menarik bagi saya adalah pernyataan Ibu Sardiah yang dengan lantang berucap,
"Biar sampai Malaysia, kalau ada pengajian saya akan datangi!, sebab kami ini masih perlu banyak belajar tentang agama.", kalimat tersebut mengingatkan saya dengan begitu tingginya antusias dan semangat ibu-ibu muallaf selama ini untuk terus belajar membaca Al-Quran dari a-ba-ta-tsa.
Ketangguhan dan keramahan merupakan dua ciri yang hampir selalu saya temukan saat bertemu dengan masyarakat dayak pada umumnya. Jika disimbolkan, ketangguhan suku dayak tercermin pada Mandau (senjata khas suku dayak), sedang keramahan bagi saya adalah senyuman mereka yang begitu tulus dari wajah cantik mereka yang sangat khas.
Ada banyak versi mengenai asal kata penyebutan dayak. Sebagian mengatakan dayak berarti 'pedalaman', ada juga yang menyebutkan dayak sebagai sebutan 'orang-orang non muslim', ada juga yang menisbatkan penyebutan dayak untuk menjelaskan karakteristik penduduk kalimantan yang terkenal tangguh, kuat dan ulet. Apapun itu, kini jika saya menyebut suku dayak atau bertanya pada penduduk setempat apa arti sebenarnya, kebanyakan sepakat mengatakan bahwa suku dayak adalah penyebutan untuk penduduk asli kalimantan.
Enam rumpun besar dayak saat ini terbagi menjadi: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Sedangkan sub suku dayak sendiri berjumlah kurang lebih 405, diantaranya yang saya ketahui
adalah suku Dayak Kenyah, Dayak Punan, Dayak Kayan, Dayak Brusu, Dayak Umaq
Kulit, Dayak Lepo’ Tao, Dayak Bakung, dan yang terakhir adalah Dayak Putuk atau yang biasa dikenal dengan sebutan Dayak Lundayeh.
Ciri khas suku Dayak: bertelinga panjang dan bertato |
Kehidupan
nomaden memang menjadi ciri khas tersendiri bagi suku dayak. Biasanya, mereka
akan berpindah manakala persediaan makanan di tempat tersebut sudah habis, tanah
tidak subur lagi atau mencari wilayah tinggal yang lebih baik. Namun begitu,
seiring modernisasi zaman, kebanyakan dari mereka kini tinggal menetap dan
membentuk perkampungan. Di perkampungan dayak yang pernah saya datangi,
kini pun cukup sulit menjumpai wanita-wanita eksotik bertelinga panjang, juga
mereka yang mewarnai anggota tubuhnya. Jikapun ada, yang tersisa biasanya hanyalah
penduduk tua, itupun dengan telinga yang tidak lagi panjang.
Ketika
saya bertanya, "kenapa telinga panjangnya di potong?”
“Malu
kalau dilihat orang, sekarang sudah bukan jamannya lagi”
Begitupun,
dengan kaum mudanya, jika saya bertanya mengapa tidak ada lagi yang
memanjangkan telinga atau mewarnai tangannya, rata-rata menjawab, “itu
kebiasaan orang jaman dahulu saja, sekarang tidak lagi”.
Saya
juga sempat memperhatikan tato pada seorang nenek dari dayak bakung, ternyata
tato tersebut tidak sekedar polesan hitam, tato di tangan dan kaki sang nenek
bermotif ukiran khas dayak, dengan lingkaran-lingkaran setengah obat nyamuk mirip
dengan yang biasa saya lihat di dinding rumah adat atau yang terdapat di
kayu-kayu gapura. Dengan bantuan dari cucu sang nenek sebagai penerjemah, saya
juga bertanya, bagaimana cara membuat tato di kulit,
“Sakit
sekali, di pukul-pukul pakai jarum. Bahannya di ambil dari hutan”
Mungkinkah
tato era kini terinspirasi dari kebiasaan suku dayak ini? hmm..
Hal yang menarik
lain yang saya kagumi adalah seni memahat yang mereka miliki. Hal ini terlihat
dari ukiran-ukiran khas yang biasanya terdapat di gapura selamat datang, lamin
adat (semacam gedung pertemuan), rumah lumbung (tempat menyimpan hasil panen),
rumah ibadah atau ornamen-ornamen lain yang memenuhi rumah mereka. Selain itu,
kerajinan khas dari manik-manik juga memikat hati saya. Ada banyak kerajinan
yang saya lihat waktu itu, dan yang paling menarik buat saya adalah sebuah
gendongan bayi bertabur manik dengan berat hampir 3 sampai 4 kilo. Saat saya
bertanya, kira-kira berapa harga gendongan bayi tersebut jika saya ingin
memilikinya,
“Kalau
yang bagus, bisa sampai tiga juta bu”. Hmm, mendengar itu membuat saya berfikir ulang untuk membelinya. Saya juga sempat mempelajari teknik
penggunaannya. Tidak seperti gendongan bayi pada umumnya, untuk menggunakan ini
kita harus terlebih dahulu mendudukkan bayi, lalu kemudian mengalungkannya di punggung. Hasilnya,
"Waduh bu, sepertinya saya gak kuat", nafas saya terasa terengah-engah, gendongan bayi yang berat ditambah balita berat rasanya jadi berat kuadrat.
"Wah bu, gendongannya saja sudah berat", kata saya lagi sambil menenteng gendongan bayi yang bagi saya cukup berat.
Kekhasan lain yang dimiliki suku dayak adalah rumah lamin. Rumah lamin adalah rumah khas dayak yang bentuknya memanjang, biasanya dihuni lima atau lebih kepala keluarga. Saya juga sempat melihat rumah unik dimana daun jendela juga bisa berfungsi sebagai pintu. Rumah lamin biasanya dibuat tinggi, maksud dari ini dahulunya adalah untuk menghindari binatang buas, musuh dan dengan alasan keamanan.
Menggunakan pakaian adat pada penyambutan rombongan bupati |
Waktu sudah hampir isya' saat saya
meninggalkan kediaman bu Sardiah. Ibu yang telah dua puluh tahun memeluk islam adalah
salah satu wujud ketangguhan suku dayak.
“Kami memang orang yang keras,
karena itu, jika sekali kami meyakini sesuatu, maka pasti akan
sungguh-sungguh menjalankannya”
Hal ini mengingatkan saya atas
pernyataan seorang ibu muallaf juga dari dayak umaq kulit,
“Siapa saja yang setiap hari
memandang Al-Quran pasti bisa hafal bu, kami memang bodoh dan belum lancar
baca. Tapi satu huruf saja yang kami tahu maksudnya, kami bersegera untuk
mengamalkannya”
Subhanalloh, semangat mereka yang
membara menyentak saya, sudahkah kita setangguh mereka?
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
2 komentar
Penasaran pengen liat gendongan bayinya Nurin.. gak dipoto yah??
ReplyDelete@ummihana gak ada jeung, gendongan bayinya unik lho!
ReplyDelete