Pagi
hari, masih bersama buku-buku. Seorang pemuda sedari tadi hilir mudik di
depanku. Dengan cekatan, dibukanya tirai biru yang menutupi jendela
disampingku. Aku cuek saja, ku tatap lamat-lamat buku panduanku,
Man ob mikhom
artinya: saya mau air.
“Hey, tahu tidak, cara pengucapan
bahasa Iran. Man toksi mikhom itu
artinya saya mau taksi. Bale..bale..
itu artinya ya. In artinya ini, un artinya itu”. Aku mencoba mengajak
sang pemuda yang kini sibuk mengemasi sampah-sampah yang ada disekitaran kami
untuk sedikit berkomunikasi.
Tiba-tiba
saja sebuah suara mendarat di telingaku,
“Hey,
sekarang lagi dimana?”
“Umm..Saya
sedang dalam perjalanan menuju Damaskus. Da-mas-kus”, jawabku pelan.
***
Salju di Eropa |
Setelah berhari-hari, akhirnya saya
bisa menuliskan catatan perjalanan fantasi ini, From
Iran to Damaskus sepertinya judul yang menarik, mirip judul sebuah buku
yang pernah saya lihat, kalau tidak salah From
Beirut to Libanon. Bukan bermaksud meniru-niru, apalagi mendompleng
ketenaran judul buku itu, tapi saya suka dengan judulnya. Hmm, From Iran to Damaskus. Yeah, From Iran to Damaskus, cukup keren
bukan?
Setelah sebelumnya, for the first time, saya mencoba sensasi
musim dingin di Eropa. Tiba di bandara Internasional Amsterdam pukul 6 pagi,
disambut dengan udara minus 9 derajat celcius.
Saya tidak tahu, mengapa banyak teman-teman saya yang begitu mendambakan bersekolah di negeri yang pernah menjajah Indonesia selama ratusan tahun ini, barangkali karena Belanda adalah salah satu pintu gerbang berkeliling benua Eropa. Tapi kali ini saya jauh-jauh menerobos udara yang bisa meretakkan pori-pori kulit muka dan bibir hanya ingin mencari sekotak cokelat Made In Belgia, itu saja.
Saya tidak tahu, mengapa banyak teman-teman saya yang begitu mendambakan bersekolah di negeri yang pernah menjajah Indonesia selama ratusan tahun ini, barangkali karena Belanda adalah salah satu pintu gerbang berkeliling benua Eropa. Tapi kali ini saya jauh-jauh menerobos udara yang bisa meretakkan pori-pori kulit muka dan bibir hanya ingin mencari sekotak cokelat Made In Belgia, itu saja.
Okey, dari Amsterdam,
dengan berkendara mobil selama satu jam melewati Leiden, tibalah saya di Deen
Haag (hanya satu jam di Belanda saya sudah melewati tiga kota sekaligus; betapa
mungilnya negeri ini).
Dari sentral
stasiun Den Haag, dengan menggunakan kereta api cepat, saya melanjutkan
perjalanan ke Brussels, ibu kota Belgia (hanya 1,5 jam sudah sampai di negara
lain; sama dengan jarak tempuh dari Tanjung Selor, Bulungan menuju kota Tarakan).
Sesampainya disana, saya menyempatkan berkeliling Grand Place yang memang
terletak di depan stasiun kereta. Indah sekali, dan seharusnya saya datang
kesini saat musim semi, sebab di tengah-tengah Grand Place ini akan dipenuhi
bunga-bunga aneka warna. Tak apalah, saya cukup puas berkeliling toko yang
menjual cokelat dan pranelin khas Belgia dan menikmati lezatnya Warm Waffle khas Belgia. Dan tak lupa,
membeli sekotak dua kotak cokelat yang berlabel Made In Belgia sebagai buah
tangan plus foto saya bersama toko, penjaga toko, kasir dan kalau perlu siapa
saja yang berwajah bule dan londo. Ini penting, sebagai bukti bahwa saya pernah
sampai di negeri ini.
Puas berkeliling
di Grand Place, saya membeli tiket untuk melanjutkan perjalanan menuju Jerman,
menemui Tintin, seorang sahabat saya sesama penulis yang telah dengan baik hati
mengundang saya berkunjung ke rumahnya. Sedari
awal, Tintin telah mewanti-wanti mengenai cuaca ‘dingin’ Jerman. Maka sejak
dari Belanda saya yang terbiasa dengan hawa panas Kalimantan, memutuskan
menggunakan sebuah jaket tebal berbahan polyester
yang didalamnya diisi semacam serat polyester pula. Orang Jerman
menyebutnya Stepjacke dan terbukti
cukup ampuh menahan dingin. Ditambah
syal, sarung tangan tebal dan topi polyester.
Ha..ha.. saya lebih mirip tong berjalan, dan sukses membuat Tintin dan teman-temannya
terheran-heran dengan kostum yang saya kenakan, mereka pikir saya sakit. Padahal
tadinya, saya begitu bangga dengan pilihan saya ini karena sesampainya di
Jerman, saya disambut dengan udara minus 15 derajat celcius. Wusss, dingin
sekali, lebih dingin dari freezer di
kulkas yang mungkin hanya sampai minus 12 derajat celcius saja. Dengan
terbata-bata sambil membaca buku panduan bahasa, saya pun berujar,
“Na ja. Ich komme aus einem tropischen Land. Ich
kann die Kalte nicht vertagen!” (saya mencoba
mengatakan bahwa saya berasal dari negara tropis dan tidak terbiasa dengan
udara dingin). Bukannya diamini, Tintin dan teman-temannya tertawa bersamaan!
Mereka takjub saat saya katakan di Indonesia tidak ada musim dingin. Alhasil,
mereka semua sepakat agar nanti saya pun berkenan mengundang mereka kerumah
saya. What? Rumah saya? Yang rumah kontrakan itu? yang enam bulan lagi habis
masa kontraknya itu? oh-no.
Bersama Tintin
dan teman-temannya, saya diajak berkeliling sampai puas di negeri Jerman.
Diantara tempat yang telah saya kunjungi yakni: Voelkerschlactsdenkmal (memorial of the nation’s battle) di kota
Leipzig, Altstadt & Neustadt di
kota Dresden, Kastil Heidelberg di
kota Heidelberg, pelabuhan tua Landungsbruecken
di kota Hamburg, Brandenburger Tor
(Branderburger Gate, bagian dari tembok berlin) di kota Berlin, Koelner Dom di kota Koeln, Schloss (Istana) Nympenburg di kota
Muenchen (Munich), Pantai Warnemunde
di kota Rostock, Palmengarten (taman
botani terbesar di Eropa) dan Zoological
garden (kebun binatang tertua di dunia) di kota Frankfrut am Main, serta Puri Hohenzollern di kota Stuttgart.
Beberapa hari
berada di Jerman, saya juga belajar sedikit mengenai pengucapan bahasa. Seperti
ucapan:
Guten Tag
(Hallo) yang dibaca ‘GOO-ten tahk’,
Danke, gut
(baik, terimakasih) dibaca ‘DAN-keh, goot’
Auf Wiedersehen
(sampai jumpa) dibaca ‘owf VEE-der-zay-en’
Lumayan ribet kan? Untuk itu,
seperti yang sudah-sudah, sebelum saya berbincang lebih jauh dengan orang
Jerman, saya hanya cukup mengeluarkan kata andalan saya:
“Sprechen
Sie english?”, apakah anda bisa berbahasa Inggris?
***
Baik, kita kembali ke judul tulisan ini, From Iran to Damaskus. Hmm… sepertinya saya memang belum menuliskan apapun tentang Iran, Damaskus apalagi. Baiklah, tulisan ini memang belum selesai. Saya tidak menyarankan anda membaca catatan perjalanan fantasi saya yang ‘Langka’ ini secara sepotong-sepotong. Dan lagi, saya senantiasa berdoa semoga Alloh memberi saya kekuatan untuk melanjutkannya Saya harap, anda mengikuti setiap edisinya.
Baik, kita kembali ke judul tulisan ini, From Iran to Damaskus. Hmm… sepertinya saya memang belum menuliskan apapun tentang Iran, Damaskus apalagi. Baiklah, tulisan ini memang belum selesai. Saya tidak menyarankan anda membaca catatan perjalanan fantasi saya yang ‘Langka’ ini secara sepotong-sepotong. Dan lagi, saya senantiasa berdoa semoga Alloh memberi saya kekuatan untuk melanjutkannya Saya harap, anda mengikuti setiap edisinya.
Catatan perjalanan ini adalah fantasi saya bersama buku-buku yang menjadi 'jendela dunia' untuk saya.
Referensi:
1. AlQuranul Karim
2. Nadia, Asma dkk. Jilbab Traveler. 2009. Depok: Asma Nadia Publishing House:
3. Annida edisi 14 tahun 2003.
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
3 komentar
Baru nyadar keanehan judulnya. Dari ibukota Iran ke Iran?
ReplyDelete@Millati Indah Iran kan negeri Iran, ibu kotanya Teheran. Damaskus kan ibu kota negeri Suriah. Aneh ya Mil?
ReplyDeletetetap semangat mbak
ReplyDelete