Di awali dari kata
Dimulai karena tak sengaja
Hari itu, aku melihat sebuah cahaya
Dari ufuk senja
Aku ingin bergerombol bersama Camar
Memecah awan
Aku ingin berkumpul bersama Harimau
Mengalahkan ilalang
Aku ingin berlari bersama Ombak
Menebas pasang
Sungguh, demi mendapatkanmu
Aku rela memberikan semua
Dan sungguh,
Demi bersanding denganmu
Kuberanikan menganaktirikan semua cita-cita
Puisi ini untukmu, dan kau tahu
itu. Aku menuliskannya tepat setelah aku meresapi kemarahanmu yang begitu lama,
kau bilang ‘aku tak setia, sebab telah membagi cinta’.
Apa kau mengingat bagaimana kita bertemu?
Waktu itu aku juga menuliskannya, seperti ini:
**
Ada binar
bahagia saat aku menginjakkan kakiku di pagi-pagi buta seperti ini
Ini lebih
dari sekedar bisa merasakan hawa udara pagi yang sejuk,
Ku layangkan
pandanganku pada mu,
Pada
sekumpulan orang yang tengah asyik bercengkrama denganmu..
Terus terang
aku cemburu…
Ku putuskan untuk mendekatimu,
Dan kau sapa aku dengan mesra
Pada suatu ketika aku eja kata
cinta dengan benar
**
“Apa gak bisa difikir lagi Lia? memangnya Lia gak ngerasa berat?
Nanti saja kalau kuliahnya sudah selesai, kalau waktunya sudah longgar”
Bagiku, cinta itu harus memiliki. Maka ketika aku memutuskan untuk
mendekatimu, itu bukan hanya sekedar ingin dekat, tapi aku ingin memilikimu. Dan
aku tahu, itu tidak mudah. Hari itu, aku mati-matian meyakinkan bapak bahwa aku
bisa membagi waktuku, aku katakan padanya bahwa aku kini telah dewasa, dan
mampu menentukan pilihan.
Saat bapak dan ibuku akhirnya luluh meski pada awalnya sedikit
terpaksa, aku bisa menerima itu. Juga saat aku harus menerima kalimat yang
tidak menyenangkan dari pengurus sebuah Yayasan dimana aku menjadi guru
sukarelawan untuk mengajar anak-anak kurang mampu. Aku hengkang sebelum habis kontrak, harusnya
aku masih mengajar sampai bulan Agustus, tapi bulan Agustus masih cukup lama
dan aku tak bisa lagi menunggu. Maka perdebatanpun tak terelakkan, aku harus
menerima kemarahan dan kekecewaan dari pihak pengurus Yayasan itu karena aku
telah melanggar komitmen. Masih ku ingat sedikit percakapan kami waktu itu,
“Saya juga punya teman seperti anti, tapi dia masih bisa eksis di
berbagai macam organisasi, bahkan dia pernah menjadi ketua Senat”
“Tapi saya tidak bisa, saya berbeda”.
Aku juga menerima ungkapan kekecewaan dari seorang ketua organisasi
kemahasiswaan, karena dalam waktu bersamaan pula, aku memutuskan untuk tidak
lagi aktif disemua organisasi yang pernah ku ikuti. Aku diceramahi
habis-habisan dan disudutkan, tapi aku masih bisa terima itu.
Apa kau ingat saat dimana aku juga kebingungan menjawab pertanyaan
sahabat-sahabatku,
“Kenapa tidak pernah menulis di bulletin lagi?”,
“Kenapa tidak aktif menulis lagi? Ini ada tawaran dari penerbit
lho..” lalu aku dengan sedikit gugup mengatakan, “ya, saya vakum dulu, ada
sesuatu yang harus saya prioritaskan”.
Aku sempat sedikit putus asa dan goyah saat melihat perkembangan
tulisan sahabat-sahabatku yang melejit begitu cepat bahkan beberapa diantaranya
telah mencetak buku, kau bilang “bersabarlah, akan ada waktumu untuk itu nanti,
tidak saat ini”. Tekadku untuk hidup bersamamu telah bulat, aku benar-benar memutuskan
untuk menggantungkan penaku sejenak, agar ada banyak waktu diantara kita, dan
aku bisa menerima itu.
Juga saat aku harus meninggalkan pertemuan dengan anak-anak TPA di
mushola semi permanen di atas sungai Ciliwung, aku bisa menerima itu.
“Fi aina al an? Hal anti masyghulah?”2,
“Afwan ustadz, ana ghoibah hadzihil yaum”3
Aku kira aku masih bisa membagi waktuku untuk mengikuti pelajaran
bahasa arab bersama ustadz Fathur, tapi aku merasa sangat kelelahan, akhirnya
aku mulai tidak istiqomah, sering absen dan pada akhirnya memilih keluar. Jika
saja Alloh berkenan memberiku tiga jasad yang bisa aku gunakan kapanpun aku
mau, aku ingin satu jasad untuk menyelesaikan studiku, satu jasad khusus
untukmu, dan satu jasad lagi khusus untuk mengikuti kelas bahasa arab. Tapi jasadku hanya satu, aku memilihmu, dan
aku bisa menerima itu.
Sesekali, saat senggang, aku pun masih bisa mengikuti Ma’had
kajian Tafsir dan Fiqh mingguan atau sekedar menghadiri Kajian rutin di Masjid
Al-Hasanah. Tapi saat engkau memintaku meninggalkan satu hal ini, aku tidak
bisa terima. Aku mengadu dalam sujudku yang panjang pada Robbku yang maha
mengetahui segala isi hati,
“Ya Robb, aku rela meninggalkan semua, memberikan semua, tapi aku
tidak ridho meninggalkan satu hal ini. Engkau mengetahui betapa dalam
kecintaanku pada satu hal ini, jauh lebih dulu dibanding kecintaanku padanya.
Ya Robb, Engkau boleh memintaku menanggalkan semua kesenanganku, tapi aku tidak
ridho jika harus meninggalkan satu hal ini..”.
Ya, aku tidak rela, tidak ridho, tidak ikhlas dan tidak mau. Lalu mendadak
langit Jakarta serasa muram, kau marah padaku, begitu lama, hingga dunia terasa
begitu sempit. Aku merasa sendiri, sepi, sunyi, dan aku begitu merinduimu.
Puisi ini untukmu, dan kau tahu
itu. Sebab aku tak lagi tahan dengan kemarahanmu dan renggangnya hubungan kita.
Aku menuliskannya di sudut
kamarku, di Puri Al-Hanan, nama kosku yang baru. Disinilah tempatku menuliskan
semua jejak rekam tentang kita. Aku menjalani kehidupan sebagai seorang
mahasiswi dan kehidupan bersamamu. Sebelumnya, aku tinggal di belakang kampus
karena aku takut menyeberang jalan, mengerikan untuk orang seperti aku yang terbiasa
tinggal di hutan melihat kesemerawutan Jakarta dengan jubelan manusia dan
sesaknya kendaraan. Menginjak tingkat 2 aku sudah terbiasa menyeberang jalan,
maka kuputuskanlah untuk pindah!, Selain karena kosku yang dulu sangat tidak
berperikemanusiaan, kamarku sangat gelap karena berhimpit-himpitan dengan rumah
tetangga, walhasil aku harus menyalakan lampu 24 jam nonstop tiap hari kecuali
saat ditinggalkan. Selain itu kosku lebih mirip sarang tikus saking banyaknya
tikus, bahkan banyak yang sebesar anak kucing, dan…dan… pemilik kos kami
galaknya minta ampun…
Puri Alhanan adalah rumah dengan
2 lantai, kesan sejuk terpancar dari pohon dan bunga-bunga pemilik rumah di
pekarangan depan, semakin asri dengan cat hijau muda pada temboknya. Ibu kos
kami tinggal di bawah sedang kami tinggal di lantai atas. Untuk menuju ke
lantai 2 kami tidak perlu melewati rumah ibu kos, karena empunya rumah telah
menyediakan sebuah tangga memutar khas Alhanan di luar rumah, dan satu lagi di
dalam, sewaktu-waktu jika ibu kos hendak bertandang melihat-lihat kondisi kami.
Kos kami terdiri dari empat kamar, ruang dapur, 1 kamar mandi, satu tempat
mencuci baju dan satu ruang televisi yang kami jadikan tempat makan, tempat
sholat berjamaah (Al-hanan memiliki tradisi sholat berjamaah dan piket imam),
juga tempat bercengkerama.
Saat pertamakali menjadi penghuni
Al-Hanan, waktu itu ada aku, Cici, Mbak Neny Aditina, Mbak Momon, Mbak Fani, Mbak Dwi, dan
Mbak Meta. Di tahun berikutnya, Mbak Neny, Mbak Momon dan Mbak Fani Lulus,
masuklah dua penghuni baru yakni Esti dan Umi, adik tingkatku. Menginjak tahun
keempat, studiku sempat keteteran, terlebih aku tidak punya teman setingkat.
Aku meminta pada Robbku untuk mendatangkan seorang sahabat ke Al-Hanan agar
setidaknya aku memiliki teman untuk belajar. Dan tidak lama, tanpa
disangka-sangka masuklah Septie, teman sekelasku. Di balik semua susah senang
bersamanya, aku selalu bersyukur dengan hadirnya Septie, sebab bagiku ia adalah
kiriman langsung dari Robbku, buah dari doaku.
**
Suatu pagi saat aku datang ke
kampus, aku menerima ucapan selamat dari banyak muka, aku tak tahu apa itu,
saban aku melewati segerombolan orang, mereka datang menyalamiku dan memberikan
ucapan selamat.
“Selamat ya Rin, kamu terpilih
jadi pengurus harian”, Atin sahabatku, waktu itu datang menyalamiku dan
berbisik ditelingaku. Tidak ada yang lebih mengejutkan dari berita pagi itu.
Setelah melepas begitu banyak amanah, kini ada amanah yang begitu besar di
pundakku, dan aku tidak bisa mengelak. Perjalananku denganmu menjadi lebih
berat sebab aku harus membagi waktuku untuk rapat-rapat panjang hampir tengah
malam dan bertanggung jawab terhadap penggunaan uang negara sebesar setengah
milyar.
Wahai, jika Engkau memiliki Cinta
Dan telah terdorong dengan
kerinduan
Maka anggaplah jarak perjalanan
itu dekat
Karena kecintaan dan kerelaanmu
pada penyeru
Ketika mereka menyeru…
Maka katakanlah, kami penuhi
Panggilan-Mu
Seribu kali dengan sempurna4
;
Aku tidak pernah menganggap jarak perjalanan ini dekat, namun
kerinduan telah membawaku kepadamu, setiap hari minimal satu kali aku
menemuimu, sesuai janjiku, menunaikan kewajibanku dan memenuhi hak-hakmu. Ku
penuhi panggilanmu, seribu kali dengan sempurna.
Di tengah-tengah kesulitanku dengan amanah di kampus dan beberapa
pelajaran eksakta, aku sudah harus tiba di tempatmu. Aku tidak mungkin
bercerita apalagi bertanya padamu bagaimana caraku menyelesaikan soal-soal
statistik matematik atau bagaimana seharusnya aku menganalisis sebuah data, dunia
kita tidak sama. Dan saat hubungan kita mulai bermasalah, aku sudah harus
kembali ke Al-Hanan, merajut cita-cita mulia, menyelesaikan studiku.
Malam mulai merangkak, ini sudah lewat dari jam sembilan, tapi aku
masih berada di dalam angkutan umum, berpeluh dalam kemacetan, sendirian. Sebelum
meninggalkanmu, telah kau titipkan aku pada Robbku, katamu “insyaalloh, Alloh
akan selalu menjagamu”.
Maka semalam apapun, aku selalu pulang, kembali ke Al-Hanan.
Al-Hanan adalah rumah beristirah yang paling ku rindukan. Aku tidak bisa jauh
dari kampus sebab sewaktu-waktu aku harus mendatangi kampusku, lebih dari tiga
kali dalam sehari. Tapi malam ini berbeda, hubungan kita kembali bermasalah
karena aktivitasku yang begitu padat di kampus, aku sedikit melupakanmu. Malam
itu, aku pulang ke Al-Hanan lalu menangis dengan sangat kencang. Aku tidak kuat
lagi, aku pecinta yang frustasi, aku putus asa, aku merasa tak sanggup lagi
menjalankan keduanya. Esti, teman sekamarku, Septie, Umi juga yang lainnya memandangiku
dengan penuh tanya,
“Ada apa mbak? Ada apa? ada masalah apa?”
Tapi pertanyaan mereka semakin membuat tangisanku menjadi-jadi. Tak sepatah katapun keluar dari lisanku, aku
hanya menangis dan terus menangis, seperti bayi kelaparan. Aku benar-benar
diambang keputusasaan.
Masih ingatkah kalian? Kala itu aku hanya memberikan penjelasan
via sms, bahwa aku hanya iri, iri yang begitu dalam pada mereka yang ditakdirkan
menjalani ini di lingkungan yang benar-benar terjaga, tanpa gangguan, tanpa
amanah lain. Aku iri pada mereka yang berilmu…
Janganlah berpaling dari mereka
Hanya karena melihat gerimis
Jika engkau melihatnya,
Maka ia akan kembali menjadi
penghalang
Jangan menunggu adanya teman
dalam perjalanan
Cukuplah bagimu kerinduan sebagai
penghantar
Ambillah bekal dari mereka dan
berjalanlah di atas lintasan petunjuk dan kesederhanaan.
Niscaya Engkau akan sampai,
Ambillah secercah cahaya dari
mereka
Lalu berjalanlah dengannya…
Cahaya mereka yang menyuluhimu
Bukan sesuatu yang menyala-nyala5
Keletihan hanya sesaat, lalu berakhir. Pada saat pertemuan,
keletihan itu akan hilang, dan aku memutuskan untuk bertahan. Perjalanan masih
panjang, aku tak mampu mengingat semua keletihan demi keletihan untuk dapat
sampai pada pertemuan kita, tapi terkadang keletihan itu terhapuskan saat aku
berkumpul bersama Al-Hanan’ers. Banyak puisi yang ku buat disini, sebagian
besar bercerita tentangmu, dan sebagian lagi tentang aku. Seperti halnya sebuah
puisi cintaku yang tertinggal di laptop umi, atau kenangan pada sekotak Cokelat
Made In Belgia. Kejutan malam hari di hari ulangtahunku, canda tawa, sampai
hal-hal lucu seperti membuat kamar-kamar dari lantai untuk tempat piring-piring
kotor bagi masing-masing penghuni, saling benci dan marah karena sebagian
Al-Hanan’ers begitu malas menjalankan piket kosan dan membiarkan cucian piring
penuh belatung atau saling jengkel hanya karena berebut tempat jemuran, atau
antusias kita mendengarkan curhatan salah satu diantara kita di sudut kamar.
_____
“Mbak, sekarang uang kosku naik”
“Lho kenapa?”
“Iya mbak, sekarang Al-Hanan jadi Rumah Quran”
“Maksudnya?”
“Iya sekarang Al-Hanan jadi tempat penghafal Al-Quran mbak, jadi
kita semua patungan untuk bayar uang kos dan biaya hidup ustadzahnya”
“Maksudnya?”, aku masih belum mengerti dengan penjelasan adikku,
Nihlah yang kini juga masuk penghuni Al-Hanan’ers.
“Ih, masak mbak gak ngerti sih sama Rumah Quran, ya ustadzahnya
sekarang tinggal di Al-Hanan, pesertanya bisa dari siapa aja, gak hanya anak
STIS, sekarang sudah ada 30 orang"
Subhanalloh, Al-Hanan menjadi Rumah Quran. Betapa nikmatnya mereka
semua yang ingin bersanding dan mendapatkanmu kini,
Esti, masih ingat tidak saat aku menceritakan mimpiku kala itu
padamu. Aku bermimpi, bahwa akan ada generasi sesudah kita yang lebih hebat,
lebih cepat dan lebih banyak hafalannya. Mungkinkah ini penjelasan dari mimpiku
waktu itu, akan ada banyak generasi penjaga Al-Quran, akan tumbuh banyak
birokrat-birokrat muda penghafal Al-Quran, hebat bukan? Hebatnya lagi, semua
berawal dari sini, dari Puri Al-Hanan, rumah peristirahatan yang paling kita
rindukan.
Antara kau dan aku, hubungan kita masih naik-turun, tapi aku
selalu berusaha untuk mendapatkanmu, insyaalloh. Tak lupa doaku yang senantiasa
tertambat untuk Robbku:
“Ya Alloh,
jadikanlah Ia bagiku selama di dunia ini sebagai teman yang selalu bersamaku.
Di kubur sebagai penghibur, di hari kiamat sebagai pemberi syafaat, di atas
shiroth sebagai cahaya, kesurga sebagai petunjuk dan sahabat, dan dari neraka
sebagai penghalang dan penolak. Amin ya mujibassailin..”
Katakanlah, sahabatku wahai jiwa
Bersabarlah untuk sesaat
Pada saat pertemuan, keletihan
itu akan hilang
Keletihan hanya sesaat, lalu
berakhir
Dan yang bersedih menjadi sangat
bergembira6
Catatan Kaki:
1
Terinspirasi
dari judul sebuah novel.
2
Kamu dimana
sekarang? Lagi sibuk ya?
3
Maaf ustadz,
saya tidak hadir hari ini
4
Dinukil dari
kitab Madarijus Salikhin, 3/7-8.
5
Dinukil dari
kitab Madarijus Salikhin, 3/7-8.
6
Dinukil dari
kitab Madarijus Salikhin, 3/7-8.
gambar dipinjam dari: http://lgindonesiablog.com/2012/06/25/bebaskan-rumah-dari-sakit-kepala/
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
6 komentar
Baru tahu kalau 'yaum' itu termasuk mu'annas jadi pake 'hadzihi', kirain pake 'hadza'. *kok malah itu yang dikomen???*
ReplyDeleteNuriiiiiiin....aku kangeeeeen bangeeeeet.... Miss u.....
ReplyDelete@Millati Indah ah, millati...:D. Itu kemarin aku nanya dulu sama Ela, grammernya udah bener belum. Mau muannas apa gak, aku juga gak ngerti Mill...
ReplyDelete@ummihana Miss you to......^_^
ReplyDeleteWah, puisi-puisinya, saya suka :)
ReplyDeleteMakasih, ya, sudah saya catat! :)
Ada award nih sekaligus pengumuman Elfrize. Cek, ya, kawan-kawan :)
ReplyDeletehttp://elfarizi.wordpress.com/2012/10/30/akhirnya-ini-dia-pemenangnya/