Mengawali awal April ini dengan sebuah
senyuman. Berharap dapat menabur remah-remah kebaikan pada setiap menit yang
dilalui, setelah hampir satu bulan menikmati gonjang-ganjing ketidakpastian
akan nasib bangsa ini. Ada harga mahal yang harus ditanggung pemerintah berikut
seluruh jajaran rakyatnya atas issu kenaikan
BBM. Gejolak parpol yang berebut mengambil hati rakyat, imbas kenaikan harga
sayur-mayur dan beberapa bahan pokok di pasar yang pada akhirnya memicu kenaikan
inflasi sejak Maret lalu. Bayangkan saja, di pasar tempat saya dan kawan-kawan
BPS mencatat harga-harga barang setiap bulan, bahan pangan bahkan sudah mulai
naik sejak pertengahan Maret lalu. Bayam yang satu ikat biasanya dua ribu
rupiah mendadak menjadi barang mewah yang naik dua kali lipat menjadi empat
ribu rupiah per ikat. Hal ini akhirnya berimbas pada harga makanan jadi yang
juga menimpa saya saat suatu pagi membeli satu bungkus nasi pecel untuk sarapan
“Mbak,
nasinya sekarang naik seribu ya. Bayam sama kacang panjang sekarang mahal
mbak…”
Hmm… terlanjur naiknya harga pangan ini rasanya masih sulit untuk diturunkan paling tidak di awal April ini, meski ketuk palu DPR menyatakan kenaikan BBM ditunda.
Di
sisi lain, kelangkaan BBM pun menjadi suatu hal yang tak terelakkan di beberapa
tempat akibat ulah para spekulan yang mulai melakukan penimbunan untuk meraup
keuntungan sebesar-besarnya saat BBM benar-benar mengalami kenaikan.
Dan
satu harga mahal yang harus sama-sama ditanggung adalah dampak akibat ‘unjuk
rasa’. Berdasarkan data yang bersumber dari Indonesia
Police Watch (IPW) selama 26-31 Maret 2012, unjuk rasa menentang kenaikan
harga BBM terjadi di 44 kota, massa membakar 16 kantor/pos polisi, empat mobil
patroli dan satu mobil polisi. Sebanyak 523 demonstran dan 210 polisi terluka.
Sebanyak 750 demonstran ditangkap namun sebagian besar dilepas polisi setelah
diperiksa.
Mengawali awal April ini dengan sebuah
senyuman. Berharap kondisi negeri ini semakin kondusif di bulan ini. Saya tidak
akan berbicara panjang lebar lagi tentang BBM, rasanya hanya seperti mengulang
apa yang telah didengungkan oleh banyak koran dan televisi juga para politisi. Cukup
mereka saja, sebab saya punya keresahan lain yang ingin saya bagi. Ya, saya
ingin berbicara tentang hati. Hati saya, hatimu dan hati kita yang mungkin
masih mudah tersulut emosi. Hati saya, hatimu dan hati kita yang masih begitu
mudah terprovokasi. Hati saya, hatimu dan hati kita yang masih senang menebar
benci, iri dan dengki. Keresahan inipun membuat saya bermimpi, ah andai
‘hati-hati’ para demonstran yang katanya membela aspirasi rakyat itu
benar-benar sebuah hati yang bersih, mungkin tidak akan ada harga yang jauh
lebih mahal dari isu kenaikan BBM yang kini harus kita tanggung bersama.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu” (Q.S Asy-Syams: 9).
“Beruntunglah
orang-orang yang senantiasa mensucikan jiwa dan hatinya dari berbagai macam
akhlak tercela. Sesungguhnya, lisan anda adalah proyektor hati. Bagaimana cara
anda berbicara dengan orang lain, bagaimana cara anda tersenyum, bagaimana cara
anda menghormati orang lain dengan tuturkata yang lembut dan santun, itu semua
menunjukkan bagaimana wujud hati anda”. Kalimat demi kalimat terus meluncur
dari ibu paruh baya yang juga seorang pemimpin sebuah instansi saat saya
menemuinya untuk meminta beliau menjadi narasumber dalam sebuah seminar.
“Tidak
peduli bagaimana cantiknya seorang wanita dan mahalnya pakaiannya, jika ia
berhati kotor tetap saja tidak akan cantik. Saya mulai pelan-pelan membangun
itu dari sini, di kantor saya. Setiap pagi setelah selesai apel pagi, saya
mengajak mereka semua berdoa: Ya Alloh terimakasih atas nikmat pagimu hari ini,
Ya Alloh yang menguasai seluruh langit dan bumi, jagalah hati-hati kami agar
niat kami dalam bekerja dari pagi hingga sore ini semata-mata karena beribadah
kepada engkau..”. Tentu saja saya tidak begitu hafal dengan kalimat Bunda
(seluruh pegawai di kantor ini memanggilnya demikian), namun kira-kira seperti
itu. Bunda berusaha dengan baik mengajak seluruh pegawai yang dipimpinnya agar
senantiasa membersihkan hati dari segala macam penyakit hati yang akan
berdampak buruk pada pekerjaan.
Hari
itu, selama hampir satu jam saya pun mendapatkan pencerahan tentang hati. Dan
dari sebuah buku yang baru saja saya baca semalam setelah diliputi kesedihan
karena tidak tahan menahan emosi, sebuah buku terjemahan ‘Kitaabul Arba’iin Fi
Ushuliddin’ karya Imam Al-Ghazali tentang bagaimana membersihkan hati dari
beberapa akhlak tercela.
“Duhai zat pemilik hati, ternyata tidak mudah
menjaga sebuah hati…”
**
Sebab lisan adalah cermin dari hati. Maka,
mudah saja bagi kita menilai orang lain dari lisannya. Namun tentu saja, kali
ini kita tidak perlu berpayah-payah belajar bagaimana menilai lisan orang lain,
alangkah eloknya jika kita memulai mengintrospeksi kualitas lisan kita terlebih
dahulu.
Dalam sebuah pengantar fasal pertama mengenai
mengendalikan lidah pada kitab Tazkiyatun Nafs, Intisari Ihya Ulumuddin Imam
Ghazali yang disusun ulang oleh Said Hawwa pada halaman 462 dituliskan
bahwasanya diantara perkataan ada yang buruk dan ada yang lebih buruk, ada yang
keji dan ada yang lebih keji, ada yang baik dan ada yang lebih baik. Alloh
menganjurkan kita mengucapkan perkataan yang lebih baik. Alloh berfirman:
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku:
‘Hendaklah mereka mengucapkan yang lebih baik. Sesungguhnya syaithan itu
menimbulkan perselisihan diantara mereka.” (Al-Isra:53).
Sesungguhnya
syaithan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka merupakan penjelasan bagi
masalah ini, yang berarti jika perkataan kita tidak mencapai tingkatan kualitas
yang tinggi maka akan memberi peluang kepada syeithan untuk menimbulkan
perselisihan diantara kita. Renungkanlah hal ini dan perhatikanlah keadaan
kebanyakan manusia dimana perkataan mereka masih berada pada kategori ‘yang
buruk’ dan ‘lebih buruk’ atau ‘yang keji’ dan ‘lebih keji’ atau ‘mubah’. Jarang
sekali orang yang bisa meningkat ke kategori ‘lebih baik’. Padahal perkataan
‘yang baik’ saja masih bisa member peluang kepada syeithan menimbulkan
perselisihan di kalangan manusia, selagi mereka tidak meningkatkan perkataan
mereka kepada kategori ‘lebih baik’. Betapa sulit maqom ini.
Bahaya Lidah dan Keutamaan Diam
Karena saya seorang perempuan yang kadangkala
tidak dapat mengontrol lisan, setiap kali ingin berucap dengan lisan saat
suasana hati sedang emosi kepada orang lain, seringkali saya berkonsultasi pada
Kak terlebih dahulu. Bagaimana jika saya mengatakan ini, bagaimana jika saya
mengatakan itu. Suatu waktu, saya pernah mendapatkan sebuah nasihat dari Kak
yang bunyinya kira-kira seperti ini:
“Jangan engkau fikirkan orang-orang
yang menyakiti hatimu dengan lisannya, fikirkan bagaimana lisanmu terhadap
mereka. Biarkan saja mereka berkata buruk kepadamu, asal engkau tidak berlaku
buruk kepada mereka dan tidak menyakiti mereka dengan lisanmu.”
“Bagaimana jika perkataan itu membekas
di hati saya?”, tanya saya berkilah.
“Ingatlah kebaikan-kebaikan yang telah
ia perbuat kepadamu. Ketika ia memberimu makanan, ketika ia membagimu ilmu,
saat ia tersenyum kepadamu dan semua hal baik yang ada padanya.”
“Tapi saya seringkali enggan
menyapanya sebab saya takut perkataannya akan menyakiti saya kembali”, tanya saya kembali.
“Berkatalah jika perlu, dan diam itu
lebih baik bagimu.” Tapi tetap saja, bagi saya itu semua teori yang cukup sulit untuk
dipraktekkan. Meminta wanita untuk lebih banyak diam, seperti menerjang takdir
wanita yang secara kodrati lebih senang berbicara, bahkan untuk hal-hal yang
tidak berguna dan sia-sia. Saya kembali menekuri halaman demi halaman dari buku
yang sedang saya baca, barangkali jika mendapat peringatan langsung dari
Rasulullah akan memberi efek yang berbeda pada hati saya.
Rasululloh pernah ditanya mengenai faktor apa
yang banyak menyebabkan orang masuk neraka, beliau menjawab: “Yaitu dua lubang, mulut (lisan) dan
kemaluan” (diriwayatkan oleh Tirmidzi, dia menshahihkannya, dan Ibnu Majah).
Bisa jadi yang dimaksud dengan mulut adalah penyakit-penyakit lidah karena ia
menjadi tempatnya, dan bisa juga yang dimaksudnya adalah perut karena ia
merupakan tempat lewatnya.
Muadz bin Jabal berkata: “Aku berkata, wahai
Rasulullah, apakah kita akan disiksa karena apa yang kita ucapkan?” Nabi Saw
bersabda: “Bagaimana kamu ini wahai Ibnu Jabal, tidaklah manusia dicampakkan ke
dalam api neraka kecuali karena akibat lidah mereka” (diriwayatkan oleh
Tirmidzi, ia menshahihkannya, Ibnu Majah dan Al-Hakim; dia berkata: shahih
berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra melihat
Abu Bakar ra sedang menarik lidahnya dengan tangannya, lalu Umar bertanya
kepadanya, “Apa yang engkau perbuat wahai khalifah Rasulullah Saw? Abu Bakar ra
menjawab: “inilah yang menyeretku kedalam kehancuran, sesungguhnya Rasulullah
Saw bersabda:
“Tidak satupun
dari jasad manusia kecuali pasti akan mengadukan lidah kepada Allah atas
ketajamannya” (diriwayatkan
oleh Ibnu Abu Dunya. Daruquthni berkata: hadits ini diriwayatkan dari Qais bin
Abu Hazim dari Abu Bakar, dan tidak ada cacat baginya).
Nabi SAW pun pernah bersabda: “Barangsiapa diam, ia akan selamat” (diriwayatkan
oleh Tirmidzi dengan sanad mengandung kelemahan; dia berkata: Gharib. Riwayat
ini disisi Thabrani dengan sanad Jayyid).
Diriwayatkan bahwa Muadz berkata: “Wahai Rasulullah, amal perbuatan apakah
yang paling utama?” Nabi lalu mengeluarkan lidahnya dan meletakkan tangan
diatasnya seraya bersabda: “Sesungguhnya
sebagian besar dosa manusia bersumber dari lisannya” (diriwayatkan oleh
Thabrani dan Ibnu Abu Dunya).
Berkata kotor merupakan akhlak tercela yang
harus dihentikan. Karena setiap amal perbuatan yang dilakukan oleh seluruh
anggota tubuh dapat berpengaruh di dalam hati. Khususnya pengaruh lisan, karena
apa yang diungkapkan lisan itu merupakan proyektor bagi hati. Maka setiap kata
akan menorehkan goresan yang membekas di dalam hati. Bila lisan berkata dusta,
maka di dalam hati akan tergores gambaran dusta dan karenanya wajah hati
menjadi bengkok. Bila lisan berbicara tentang sesuatu yang tidak berguna, maka
wajah hati menjadi hitam dan kelam. Oleh sebab itu banyak membual pada
gilirannya akan membuat hati menjadi mati.
Mengenai batas perkataan yang tidak perlu
ialah perkataan yang bila ditinggalkan, maka ia tidak kehilangan pahala dan
tidak menimbulkan sesuatu yang mendesak. Barangsiapa membatasi ucapannya pada
ukuran ini, tentu ia sedikit bicara. Jika ada yang bertanya, apa sebabnya diam
memiliki keutamaan demikian besar? Maka ketahuilah bahwa sebabnya adalah karena
banyaknya penyakit lidah seperti salah ucap, dusta, ghibah, namimah, riya’,
nifaq, berkata keji, debat, terlibat dalam kebatilan, bertengkar, ikut campur
urusan orang, memalsukan, menambah, mengurangi, menyakiti makhluk dan
menyingkap berbagai aurat. Penyakit yang banyak ini sangat mudah dan ringan
meluncur dari lidah, terasa manis di dalam hati, dan memiliki berbagai dorongan
dari tabiat dan syaithan; bahkan orang yang melibatkan diri di dalamnya jarang
sekali mampu menahan lidahnya. Keterlibatan dalam berbagai penyakit lidah ini
sangat berbahaya sedangkan diam adalah jalan keselamatan, oleh sebab itu keutamaan
diam sangatlah besar. Disamping bahwa di dalam diam itu terkandung kewibawaan,
konsentrasi untuk berfikir, dzikir dan ibadah. Di dalam diam juga terkandung
keselamatan dari berbagai tanggung jawab perkataan di dunia dan hisabnya di
akhirat. Allah berfirman:
“Tiada suatu
ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir.” (Qaaf:18)
Afatul Lisan (Bahaya-bahaya Lidah)
1.
Bahaya Berdusta
Ini termasuk dosa yang amat buruk dan aib yang keji. Ismail bin
Wasith berkata, aku mendengar Abu Bakar Ash-Shiddiq ra berkhutbah setelah wafat
Rasulullah saw. Ia berkata, “Rasulullah saw pernah berdiri ditempatku ini pada
tahun pertama ---kemudian Abu Bakar menangis---seraya bersabda:
“Sesungguhnya dusta membawa kepada
kedurhakaan, sedangkan kedurhakaan menyeret ke neraka, dan seseorang berdusta
hingga ditulis disisi Allah sebagai pendusta” (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Ibnu Mas’ud berkata, Nabi Saw bersabda: “seorang hamba senantiasa berdusta dan terus
menerus berusaha dusta hingga ditulis disisi Alloh sebagai pendusta” (diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim). Nabi Saw juga bersabda: “Celakalah bagi orang yang sedang berbicara, lalu berdusta supaya
orang-orang menertawakannya. Celaka dia, celaka dia” (diriwayatkan oleh Abu
Dawud, Tirmidzi, ia menghasankannya dan Nasa’i).
Suatu ketika seorang wanita berkata kepada anaknya yang masih
kecil: “Mari kesini nak, nanti kuberi
sesuatu!”. Mendengar itu, Rasululloh bertanya kepadanya: “Apa yang akan kau berikan kepadanya jika ia menghampirimu?”
wanita itu menjawab: “sebuah kurma.”
Kemudian Rasululloh bersabda: “seandainya
kamu tidak memberinya, maka kamu dicatat telah melakukan suatu dusta” (diriwayatkan
oleh Muslim).
Lalu bagaimana dengan para ibu yang tanpa sadar berucap pada
anaknya, “awas, jangan main disana nak,
ada kodoknya, hii…ngeri”. Atau menakut-nakuti anaknya dengan sesuatu yang
menyeramkan, “jangan main kesana lho ya,
nanti ditangkap pak polisi”, “gak usah main di hutan, disana banyak hantunya.”
2.
Bahaya Ghibah (Menggunjing)
“Dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang diantara kamu suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya” (QS.
Al-Hujurat: 12).
Ghibah juga
meliputi kehormatan, dan Allah telah menghimpun antara kehormatan, harta dan
darah. Nabi Saw bersabda: “Janganlah
kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian
saling bersaing, dan janganlah kalian saling membuat makar. Janganlah sebagian
kamu menggunjing sebagian yang lain, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang
bersaudara” (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Anas ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “pada malam ketika aku melakukan perjalanan malam (isra’), aku melewati
suatu kaum yang mencakar wajah mereka dengan kuku-kuku mereka sendiri. Aku
bertanya, ‘wahai jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab, ‘mereka adalah
orang-orang yang menggunjing dan mencela kehormatan orang lain” (diriwayatkan
oleh Abu Dawud secara musnad dan mursal, sedangkan yang musnad lebib shahih).
Al-Hasan berkata, “Wahai
anak Adam, sesungguhnya kamu tidak akan mencapai hakikat iman sehingga kamu
tidak akan mencela orang dengan cela yang juga ada pada dirimu. Juga hingga
kamu mulai memperbaiki cela tersebut lalu kamu memperbaiki cela dirimu sendiri.
Bila kamu telah melakukan hal tersebut berarti kamu telah sibuk dengan dirimu
sendiri. Hamba yang paling dicintai Allah adalah hamba yang seperti ini.”
Batasan ghibah sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Saw adalah
bila kita mengatakan sesuatu mengenai orang lain dan ia tidak senang bila
perkataan itu sampai padanya, meskipun kita berkata realitas yang sebenarnya.
Pembicaraan yang dimaksudkan mencakup kekurangannya, akalnya, bajunya,
perbuatannya, ucapannya, rumahnya, keturunannya, hewan piaraannya maupun hal
yang berkaitan dengan dirinya. Bahkan sekalipun kita hanya berkata: “lengan bajunya terlalu besar.” Atau “bagian bawah bajunya terlalu panjang.”
Ketika ada seorang laki-laki dibicarakan di dekat Rasululloh Saw
dengan dikatakan: “Alangkah lemahnya
dia.” Maka Nabi Saw langsung bersabda: “Kalian telah menggunjingnya.”Demikian
juga halnya bagi orang yang mendengarkan gunjingan, yang kadang-kadang justru
menampakkan kekaguman terhadap ucapan si penggunjing, sehingga semakin
bersemangat dalam menggunjing. Padahal pendengar gunjingan adalah salah satu
diantara dua penggunjing. Naudzubillah…lalu bagaimanakah dengan kebiasaan kita
yang demikian gemar menggunjingkan orang lain, mulai dari bangun tidur sampai
tidur kembali. Mulai dari ucapan langsung sampai corat-coret di wall atau
nge-tweet?
3.
Perdebatan yang Konfrontatif
Rasululloh Saw bersabda:
“Barangsiapa meninggalkan
perdebatan, padahal ia di pihak yang benar, maka akan dibangun untuknya sebuah
rumah di surga tertinggi. Dan barang siapa yang meninggalkan perdebatan dan ia
memang di pihak yang salah, maka akan dibangun untuknya sebuah rumah di tepi surge”
(diriwayatkan oleh Tirmidzi dari hadits Abu Umamah; dia menshahihkannya dan
menambahkan: “setelah mendapat petunjuk yang diperolehnya”). Demikian itu karena meninggalkan
perdebatan terasa lebih sulit bagi orang yang merasa di pihak yang benar.
Rasululloh Saw juga bersabda: Hakikat
iman seorang hamba tidak akan dapat mencapai kesempurnaan, hingga ia mau
meninggalkan perdebatan, padahal ia di pihak yang benar.
Maksud dari perdebatan ialah menyanggah perkataan orang lain untuk
melumpuhkannya dengan menunjukkan kekurangannya, baik dari segi kata-kata
maupun maknanya. Perdebatan adakalanya didorong adanya keinginan menunjukkan
kelebihan yang dimilikinya. Sedang latar belakang debat kusir adakalanya karena
kelancangan yang busuk atau perangai kebinatangan yang cenderung meremehkan
orang lain dan mendiskriditkannya.
4. Senda Gurau
Asalnya tercela dan dilarang kecuali dalam kadar sedikit. Rasulullah Saw
bersabda:
“Janganlah berbantah-bantahan dengan
saudaramu dan jangan bersenda gurau dengannya” (diriwayatkan oleh Tirmidzi).
Senda gurau merupakan upaya untuk menciptakan suasana baik yang di dalamnya
terdapat keramahan dan kebaikan. Namun, senda gurau yang berlebihan atau terus
menerus berarti sibuk dengan permainan dan hal yang sia-sia. Permainan memang
diperbolehkan tetapi terus menerus melakukannya adalah tercela. Sedangkan senda
gurau yang melampaui batas kewajaran akan menimbulkan gelak tawa secara berlebihan
dan berakibat mematikan hati, menimbulkan permusuhan, merontokkan kewibawaan
dan kehormatan. Senda gurau yang terbebas dari hal-hal tersebut tidak
tercela, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda:
“Sesungguhnya aku bersenda gurau tetapi
aku tidak mengatakan kecuali yang benar.”
Rasulullah bersabda: "Orang yang berbicara untuk membuat
teman-teman dalam satu majelisnya tertawa-tawa akan jatuh lebih jauh dari
jatuhnya bintang Tsurayya."
Umar ra berkata, “siapa yang banyak tertawa maka
sedikit kewibawaannya, siapa yang bersenda gurau maka akan dianggap enteng, dan
siapa yang sedikit wara’nya maka telah mati hatinya.” Disamping itu, juga
karena banyak tertawa menjadi tanda kelalaian dari akhirat. Nabi Saw bersabda: “sekiranya
kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian akan banyak menangis dan
sedikit tertawa” (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
5. Pujian
Siapa
yang tidak senang dengan pujian? hati saya, hatimu dan hati kita sangat
menyukai pujian. Bahkan seringkali berbuat
sesuatu yang berlebihan agar mendapatkan pujian. Namun pujian pun
terkadang membawa hati menjadi sombong dan bangga. Pujian atau sanjungan dapat tersusupi oleh enam penyakit; empat diantaranya
terdapat pada orang yang menyanjung, sedangkan dua diantaranya terdapat pada
orang yang disanjung. Penyakit yang terdapat pada orang yang menyanjung ialah:
1. Berlebih-lebihan dalam berbicara sehingga
sampai pada kebohongan.
2. Tersusupi oleh riya’, karena dengan
menyanjung ia menampakkan kecintaan. Dan bisa jadi ia tidak menyembunyikan
kecintaan itu dan tidak meyakini semua yang diucapkannya sehingga dengan demikian ia menjadi orang yang pamrih dan
munafik.
3. Kadang-kadang ia mengatakan hal yang bukan
sebenarnya dan hal yang tidak dapat dilihat.
4. Bisa jadi ia membuat senang orang yang
disanjung padahal dia orang yang dzalim atau fasiq; sedangkan hal ini tidak
dibolehkan.
Sedangkan bagi orang yang disanjung, sanjungan membahayakannya dari dua
sisi yakni:
1. Kesombongan dan ujub.
2. Jika disanjung dengan kebaikan maka ia
menyenangi sanjungan dan merasa puas kepada dirinya. Siapa yang merasa ujub
kepada dirinya pasti berkurang semangatnya, karena orang akan bersemangat
beramal jika merasa kurang. Jika lidah-lidah sudah meluncurkan sanjungan pada
dirinya maka ia akan mengira telah mencapai kesempurnaan.
Sebagaimana sabda
Rasulullah "Andaikan seseorang berjalan menghampiri menuju orang lain
dengan membawa pisau tajam, maka itu lebih baik baginya daripada memuji di
depannya."
**
Sore, menjelang malam.
Masih banyak intisari yang sebenarnya ingin saya bagi dari buku ini. Tapi
baiklah, sedikit dulu tidak apa-apa sebab bahasan dari bagian lisan saja sudah
terlampau berat untuk dijalankan oleh hati saya. Setelah membaca buku ini,
emosi saya yang rasanya sudah hampir meledak menjadi semakin mencair. Ah, tak
ada gunanya marah pada orang yang telah memarahi saya. Meskipun saya merasa
berada di pihak yang benar (itukan hanya perasaan saya saja). Beberapa kalimat
pada bab amarah pada halaman 275 nampaknya layak saya cantumkan juga di akhir
tulisan saya ini.
***
Seperti telah
diketahui bahwa tidak berhak memegang kepemimpinan kecuali orang yang penyantun
dan bahwa marah bukan pada tempatnya bisa mengakibatkan timpangnya kehidupan sosial
atau merusak berbagai hubungan. Untuk mengetahui masalah ini manusia tidak
memerlukan pemikiran yang panjang, karena satu kemarahan saja kadang bisa
merusak hubungan antara tetangga dan tetangga; antara suami dan istri; antara
kawan dan kawan; antara saudara dan saudara.
Satu kemarahan saja
kadang bisa merusak jamaah secara keseluruhan lalu menimbulkan perpecahan
barisannya, menghalangi berbagai aktivitasnya atau menghambat pertumbuhannya.
Satu kemarahan juga
kadang bisa merusak hubungan antara satu Negara dengan Negara lain bahkan
terkadang bisa mengakibatkan timbulnya peperangan. Jika amarah telah menjadi
bagian dari kehidupan manusia maka pada saat itulah ia menjadi hal yang banyak
merusak ketimbang memperbaiki bahkan terkadang menghancurkan tanpa membangun.
Oleh sebab itu, harus ada pengendalian terhadap amarah untuk kepentingan dunia
dan akhirat. Amarah bisa jadi mengakibatkan pelakunya masuk neraka dan
terkadang bisa merusak urusan dunianya. ***
Bukankah seseorang
baru bisa menuntaskan kemiskinan jika ia tahu bagaimana rasanya menjadi miskin.
Seorang pemimpin dapat berlaku adil jika ia pernah diperlakukan semena-mena.
Begitupun, seseorang baru dapat bertutur dengan baik jika ia sempat merasakan
bagaimana rasanya diperlakukan dengan tutur kata yang kasar.
Wallohu a'lam bish
showab
Tanjung
Selor Kota Ibadah
Saya
intisarikan kembali dari buku terjemahan Intisari Ihya Ulumuddin karya Imam
Al-Ghazali “Mensucikan Jiwa” yang diseleksi dan disusun ulang oleh Said Hawa.
Daftar
Pustaka:
1. Al-Quranul Karim
2. Hawa, Sa’id. 1998.Mensucikan Jiwa.
Jakarta: Rabbani Pers.
3. Al-Ghazali, Imam. 2003. Membersihkan
Hati Dari Akhlak Tercela (Terjemah Kitaabul Arba’iin Fii Ushuluddin). Surabaya:
Penerbit Ampel Mulia.
Gambar dipinjam dari
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
2 komentar
Nasihat yang mantap. Lebih mantap lagi kalo hadits-nya disebutkan riwayat siapa.
ReplyDeleteEh, kok, gak dijelasin bahaya mengumpat? Akhir2 ini aku sering emosi jadi sering ngomong yang "sadis" T___T
@Millati Indah sudah tak perbaiki Mil, terimakasih atas sarannya. Di buku pertama yang aku baca memang sama sekali gak dicantumin riwayatnya, ini sudah tak lengka[i dari referensi yang lain. Sebenarnya ada 20 bahaya lidah, tapi tanganku belum sanggup menuliskan semua. Tak ambil lima saja, kayaknya mengumpat masuk di bab perkataan yang tidak berguna. Lebih lanjut, baca bukunya saja ya...:)
ReplyDelete