Saat Pendataan di Salah Satu Pemukiman Transmigrasi, Bulungan. |
“Dorang (sebutan untuk mereka orang) ni nyuci, mandi dan lain-lainnnya ya disitu mbak…”
“Masak? ( sambil mengernyitkan dahi)”
Bagaimana bisa, air yang mengalir lewat parit-parit di depan rumah mereka yang mirip got besar itu adalah sumber air utama untuk kebutuhan sehari-hari. Parit-parit ukuran sedang sebagian besar menggenang persis di bawah rumah lamin (rumah khas Kalimantan), sebagiannya lagi berada di depan rumah. Kalau aku yang melihat, itu sih lebih mirip got besar yang ada di kota. Sepanjang jalan, terlihat pemandangan yang tak lazim, untukku. Ada yang sedang mandi, mencuci, segerombol anak-anak berenang dengan bebasnya.
“disini tuh mbak, kalau yang hitam banget trus bibirnya merah itu orang Timur, kalau yang putih-putih itu orang Dayak, kalau yang setengah-setengah nah itu yang dari Jawa”
Hajrah, mitra saya terus bercerita sepanjang perjalanan di pemukiman trans desa Selimau kec Tanjung Selor Kab Bulungan. Untuk sampai disini, butuh perjuangan yang cukup dan peluh, untung saja motor yang kami tumpangi termasuk yang tahan uji.
“pak, air untuk wudhunya habis ya?”
“oh, wudhu disitu aja mbak, itu bersih kok,” seorang bapak setengah baya yang baru saja melantunkan adzan dhuhur itu berkata dengan sangat manis,
“yang mana pak?”
“itu mbak, pake air parit yang didepan. Airnya bersih kok mbak, gak papa mbak, disini biasanya juga pake air begituan.”
Masyaalloh alloh memang benar-benar maha adil, akhirnya ngerasain air kubangan selokan juga deh….
____
Hawa panas mulai menyengat. Hawa Kalimantan memang khas. Panas dan menyengat, apalagi jam-jam siang seperti ini. Untungnya, di kanan kiri jalan masih banyak ilalang, blok yang kami kunjungi sebenarnya tidak terlalu luas. Berbentuk empat petak persegi yang terbagi menjadi dua, hingga terlihat seperti ada 2 persegi panjang. Satu persegi panjang merupakan satu RT, diberi nama jalur 1 dan jalur 2. Salah satu sisinya berbatasan dengan sungai. Subhanalloh, indah sekali. Aku lebih senang melihat sungai dibandingkan laut. Sungai memancarkan aura ketenangan yang mendalam. Tapi laut juga tak kalah seru, laut menampilkan aura keberanian yang menggugah. Dua-duanya aku suka.
Ada-ada saja…. Ada responden yang dengan cerdas menjawab pertanyaan-pertanyaan kami, tapi ada juga yang sedikit tak mau jujur mengatakan besarnya angka. Lumrah, begitulah fikir kami.
“banyak mbak, pengeluaran kami nih mbak. Sebulan bisa abis 4 juta lebih. Padahal gaji suami cuma 3 juta, mbak fikir-fikir aja tuh satu jutanya kami dapet dari mana?. Makanya mbak, ntar kalau nikah jangan mau nikah sama tentara… hidupnya susah…kalau mbak gak percaya coba pagi-pagi ke pasar, lihat disana pasti banyak yang berseragam lagi nyapu, dari situlah kami ni dapet uang tambahan. Tolong disampaikan lah mbak, supaya adalah kami-kami ni dapet bantuan biar gak susah hidupnya..” aku teringat perkataan ibu-ibu di komplek perumahan tentara beberapa hari sebelumnya..
“disini kami 5 bersaudara. Bapak kami sekarang sudah kembali duluan ke Flores, ibu ladang aja mbak di belakang rumah”
“trus uang bulanan dapet darimana?”
“dikirimin sama bapak tiap bulannya,”
“berapa?”
“kadang 200, kadang 150 gak pasti lah mbak”. Berbeda sekali dengan jawaban lantang dan tanpa ragu si gadis kecil berkulit gelap hasil pencampuran jawa-flores yang kami temui hari ini. Bangga sekali rupanya ia dengan statusnya, ia bercerita tentang adik-adiknya, tentang keluarganya dan banyak hal tanpa ada keluh.
Aku sempat agak miris, rumah trans disini rata-rata ukurannya mungil, bisa dibilang RSSS, rumah sangat sederhana sekali, tapi ketika di datangi, siapa yang sangka, RSSS itu rata-rata dihuni oleh 5 sampai 10 kepala.
***
“ yang disebelah rumah siapa bu?”
“gak tahu saya, itu rumahnya orang jawa”
Sudah kebeberapa orang kami bertanya tentang siapa pemilik rumah di ujung jalur selatan. Tapi jawabannya tetap sama. Rupanya ada persinggungan antar suku disini. Perbedaaan agama, budaya, kebiasaan dan adat istiadat jika diteruskan bisa menjadi boomerang nantinya..
“itulah mbak, orang-orang Timur itu kalau datang atau bangun-bangun rumah tuh gak ada yang mau lapor ke RT, susah betul mereka tuh di atur mbak” cetus pak RT yang bersuku jawa.
*Tulisan ini baru saja saya temukan. Ini adalah pengalaman pertama saya pada saat pendataan Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2009
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
1 komentar
Wah, kalo di sini biasanya kepala dusun hapal sama penduduknya. Yang belum lapor sama mereka pun ketahuan namanya. Cuma ya kalo di pendataan mereka bilang "gak usah dimasukin aja, ga lapor ke saya kok".
ReplyDelete