Seorang anak kecil diminta ibunya pergi berbelanja ke warung di sebelah rumah.
pemilik warung : "mau beli apa dek?"
anak : "saya disuruh mamak utang beras dua kilo sama minyak tanah 1 liter om..."
pemilik warung : sambil sibuk menyiapkan pesanan bertanya kembali, "ada lagi ndak?"
anak : "emmm...kata mamak kembaliannya kasih permen aja om..."
pemilik warung : ??????
Saya tertawa mendengar Kak menceritakan ini. Entah bagi yang membaca kisah ini versi tulisan saya bisa tertawa seperti saya atau tidak. Yang pasti sampai seharian, jika mengingat cerita ini saya jadi tertawa. Seperti biasa, Kak bisa saja membuat saya tertawa dengan caranya sendiri.
"Kak, sekali-kali belajar romantis dong...", seringkali saya mengatakan ini padanya saat ia melepaskan tangan saya saat saya menggenggam jemarinya.
"Yah lihat-lihat juga dong tempatnya, ini kan di pinggir jalan"
"Eh, tapi kita kan sudah halal"
Bagi saya bergandengan tangan saat berjalan di keramaian itu romantis, tapi bagi Kak romantis itu lihat-lihat tempat."Kak, sekali-kali bilang cinta kek, sayang atau apa gitu biar romantis..."
"Cinta itu kan lebih nyata kalau dibuktikan dengan perbuatan.."
Bagi saya mengungkapkan cinta dengan kata, puisi atau semacamnya itu romantis, tapi bagi Kak romantis itu lebih nyata jika langsung dibuktikan.
Sejak menikah dengan Kak,
Saya jadi belajar banyak tentang karakter. Bayangkan itu baru definisi romantis, itu saja sudah berbeda sudut pandang.
Ketika menjelang tidur, setiap malam hampir-hampir saya selalu tertawa dan bahagia sebab Kak selalu memberikan rumor, cerita, kisah, teka-teki atau apapun itu namanya, meski tidak pernah berkomentar langsung seperti "aku mencintaimu..", "engkau bidadariku..." atau "tetaplah disampingku sampai maut menjemputku.." yang terlanjur saya anggap sebagai penjelasan dari romantis.
Mungkin karena saya penikmat novel, penikmat puisi. Barangkali karena saya juga suka menulis, maka saya pun lebih senang dengan pernyataan-pernyataan puitis atau sedikit lebay yang tentu saja amat jarang saya dapatkan dari seorang lelaki tipe Kak.
Tapi pada suatu hari, saat cuaca sedang normal-normalnya, tidak ada hujan, tidak ada badai, tidak ada terik, saat saya bertanya pada Kak mengapa saya begitu jarang melihatnya marah pada saya. Kak dengan tampang datar dan begitu dingin menjawab pertanyaan saya dengan mengatakan:
"setiap kali aku hendak marah padamu, aku selalu beristighfar sebanyak-banyaknya sebab telah hampir membuat malaikat melaknatmu...."
waaaah, rasanya berbunga-bunga, begitu dalam merasuk dalam jiwa. Bahasa kerennya: so sweet..^_^.
Setelah saya ingat-ingat, selama hampir tiga tahun bersama, itu adalah satu-satunya kata romantis (versi saya) yang pernah saya dapatkan.
Setelah menikah dengan Kak..
Akhirnya saya tersibghoh, tercelup dan mulai terbiasa dengan romantis versinya. Setiap hari, Kak memang benar-benar membuktikan romantis dengan perbuatannya. Ia hampir selalu membuat saya tertawa, tanpa beban, tanpa harus memikirkan masalah-masalah yang besar. Saya sering berbunga-bunga dengan kisah-kisah lucunya walaupun sebagian besar saya tahu ia mengambilnya dari buku dan sebagian lagi hanya karangannya yang ngawur.
Tapi tunggu dulu, kenyataannya pernikahan tidak hanya menyatukan satu perbedaan, bahkan kami berbeda dalam banyak hal, ah, rasanya seakan-akan dalam segala hal. Dalam hobi, warna kesukaan, makanan kesukaan, sifat, suku, latar belakang sampai cara berjalan sekalipun.
Saya yang suku Jawa, tentu terbiasa dengan tata krama dan aturan dalam banyak hal, semisal adab dalam memanggil seseorang: menyebut kakak dengan mbak atau mas, adik kandung dengan dek, ibu, bapak, memanggil sepupu saja harus melihat silsilah ini anaknya pak de atau pak lek. Tapi untuk Kak yang suku Muna (Sulawesi Tenggara) aturan-aturan seperti itu tidak berlaku, mereka terbiasa memanggil adik/kakak kandung dengan langsung menyebut nama. Dan betapa kagetnya saya ketika saya mendengar Kak berbicara dengan orangtuanya dan memanggilnya dengan sebutan 'kau'.
"Kalau di Sulawesi kata panggilan 'kau' itu sudah termasuk bahasa kromo....", kata Kak menutup kekagetan saya.
Sejak menikah dengan Kak,
telah banyak hal yang saya dapatkan, subhanalloh, semuanya adalah karunia yang tak terhingga dari Alloh. Saya belajar untuk mencintai seseorang yang tidak sempurna, dan kamipun saling menyempurnakan. Apa yang ada di saya tidak ada di Kak, dan apa yang ada di Kak tidak saya miliki, maka dengan menikah dan saling melengkapi, insyaalloh kami akan menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari hari ke hari.
Tapi tunggu dulu, kenyataannya pernikahan tidak hanya menyatukan satu perbedaan, bahkan kami berbeda dalam banyak hal, ah, rasanya seakan-akan dalam segala hal. Dalam hobi, warna kesukaan, makanan kesukaan, sifat, suku, latar belakang sampai cara berjalan sekalipun.
Saya yang suku Jawa, tentu terbiasa dengan tata krama dan aturan dalam banyak hal, semisal adab dalam memanggil seseorang: menyebut kakak dengan mbak atau mas, adik kandung dengan dek, ibu, bapak, memanggil sepupu saja harus melihat silsilah ini anaknya pak de atau pak lek. Tapi untuk Kak yang suku Muna (Sulawesi Tenggara) aturan-aturan seperti itu tidak berlaku, mereka terbiasa memanggil adik/kakak kandung dengan langsung menyebut nama. Dan betapa kagetnya saya ketika saya mendengar Kak berbicara dengan orangtuanya dan memanggilnya dengan sebutan 'kau'.
"Kalau di Sulawesi kata panggilan 'kau' itu sudah termasuk bahasa kromo....", kata Kak menutup kekagetan saya.
Sejak menikah dengan Kak,
telah banyak hal yang saya dapatkan, subhanalloh, semuanya adalah karunia yang tak terhingga dari Alloh. Saya belajar untuk mencintai seseorang yang tidak sempurna, dan kamipun saling menyempurnakan. Apa yang ada di saya tidak ada di Kak, dan apa yang ada di Kak tidak saya miliki, maka dengan menikah dan saling melengkapi, insyaalloh kami akan menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari hari ke hari.
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
8 komentar
Ih, so sweet... Udah berapa tahun pernikahannya, Nurin?
ReplyDeleteEh ada mbak Millati, alhamdulillah, baru tiga tahun. Oh ya, aku baru belajar-belajar nge-blog nih, punyaku beneran ndak ada 'balas komentar' nya kan? sering-sering berkunjung ya...^^
ReplyDeletehuwa...nurinn...so sweet banget.... ^_^
ReplyDeleteNuriiin...artikelnya bagus2... Mesipun baru baca satu... Tape fera yakin bagus semuanya..^_^
ReplyDeleteTerus berkarya ya Nurin...
sama-sama Ummihana dan Ulie, ayuk kita sama-sama belajar menulis dan membuat banyak karya...!
ReplyDeletesaya setuju mbak dengan Kak. cinta menurut saya tidak mesti diungkapkan dengan kalimat - kalimat puitis seperti di Novel atau di cerita - cerita Romantis lainnya. ya Romantis juga perlu tempat - tempat yang khusus supaya lebih terlihat romantisnya. apa lagi sampai romantis di tempat umum atau romantis dimana saja,, rasanya pasti aneh...
ReplyDelete@FARIDA. Yuup. Setuju!!!. Hai, itu blognya jangan di diemin. Hayuk ditambah tulisannya...:)
ReplyDelete@ummihana tes...tes...'reply' nya sudah bagus belum ya?
ReplyDelete