Saya merindukan sahabat saya. Seorang sahabat dekat yang kini entah dimana keberadaannya. Bukan sebab karena saya tak punya no handphonenya atau tak tahu bagaimana cara menghubunginya, tapi saya enggan, enggan yang bercampur sedih, mengapa tidak Melati saja yang menghubungi saya. Apakah dia tidak merindukan saya? Ataukah saya telah terlupakan?. Hhhh…
Masih saya ingat kurang lebih dua tahun lalu, saat dengan malu-malu Melati bercerita tentang Ikhwan pilihannya.
“Dia seorang yang baik agamanya Rin, sepemahaman denganku, malah sepertinya dia lebih paham dan bisa ngemong aku…”, ada debar senyum dan bahagia yang saya rasakan, meskipun obrolan kami hanya melalui telepon.
“Subhanalloh, ya sudah lanjutkan saja, insyaalloh barokah…”
“Tapi Rin..”, Melati nampak ragu melanjutkan kalimatnya.
“Dia cuma tamatan SMA, tidak punya pekerjaan tetap, hanya pedagang keliling, ini yang masih agak mengganjal..”
“Kebahagiaan tidak bisa di ukur dengan status. Ya kalau sudah suka, sudah mantap, perjuangkan saja”.
“Keluargaku belum setuju. Bagaimana mungkin aku yang tamatan sarjana, mapan dengan tetapi lebih dari lima juta perbulan mendapatkan seorang suami hanya tamatan SMA”.
Pernah saya berfikir, bagaimana kalau waktu itu saya mendukung pendapat keluarganya saja, dan tidak mendukungnya. Betapa jahatnya! Saya bukan sahabat seperti itu. Saya menerima penjelasannya, saya menyetujui pilihannya dan mendukungnya karena Melati layak mendapatkannya.
Seperti juga pilihan Melati sebelumnya. Saat ia mendebat saya tentang sebuah ayat anjuran berhijab, Quran Suroh Al-Ahzab ayat lima puluh sembilan. Saya membenarkannya karena Melati dan sederet dalil yang dibawakannya semuanya benar. Melati dengan pakaian serba hitam dan cadarnya hari itu memang sekilas nampak asing. Rasanya belum lama saya melihatnya bersepeda dengan celana dan jilbab terurai biasa, dan di hari itu ia telah berubah 360 derajat.
“Kita sama-sama masih awam agama Mel. Hari ini, aku masih mengikuti dalil yang ini, dan kamu yakin dengan dalil yang itu. Maka mungkin di lain kesempatan jika kita telah benar-benar memahami, barangkali kita bisa berada dalam satu keyakinan tentang sebuah hukum dari agama ini. Istiqomahlah di jalanmu Melati…”.
Mata Melati berkaca, ia memegang jemari saya dengan erat.
“Terima kasih ya Rin, kamu satu-satunya sahabat yang masih mau bersahabat denganku, yang bisa mengerti aku dan pilihanku..”. Saat itu saya ingat sekali, Melati memang sedang sendirian dan kesepian. Tidak ada yang bisa menerima perubahannya, Melati dianggap salah jalan, mengikut aliran tertentu dan apalah. Tapi menurut saya tidak seperti itu, Melati tetap manusia yang sedang mencari kebenaran seperti saya. Jika kita tidak menganggap aneh seorang perempuan bercadar di negeri muslim yang lain, mengapa harus merasa risih dengan perempuan bercadar yang tinggal di negeri sendiri. Lebih aneh lagi, jika kita malah tidak pernah risih terhadap perempuan-perempuan pengumbar aurat. Naudzubillah…
Melati, saya senang bersahabat dengannya, meski menurut saya dalam beragama ia termasuk salah satu penganut yang cukup keras. Tapi Melati tidak pernah memaksakan apa yang ia yakini kepada saya seperti juga saya yang tidak pernah menyalahkan keyakinannya selama itu benar. Tidak seperti kak Lina yang dengan keras mengatai saya,
“Dek, kamu itu belum berjilbab, kamu cuma berkerudung……..bla….bla…bla…”. Saya tidak suka cara kak Lina mendakwahi saya dengan cara menyalahkan dan menyudutkan.
Melati tidak seperti itu, saya dan Melati saling berlomba dan belajar untuk semakin memahami agama ini. Hanya saja jalannya yang berbeda. Melati melepas semua amanah di kampus untuk lebih banyak fokus membaca kitab. Sementara saya tenggelam dalam banyak kegiatan agar potensi saya bermanfaat untuk umat. Jika Melati memilih untuk menghindari ikhtilat maka saya memilih terjun langsung menerjang ikhtilat. Jika Melati sering marah karena saya seringkali tidak mengerjakan peer bahasa arab akibat kelelahan, saya sering marah padanya jika ia mulai tidak istiqomah menghafal Al-Quran. Jika mengingat masa-masa saat kami saling mengumbar mimpi, indah sekali rasanya....
***
Saya merindukan sahabat saya Melati, malam itu saya membaca kembali sebuah sms kiriman dari Romi, suami Melati.
“Bertaubatlah…berdakwahlah sesuai tuntunan Alloh dan Rosululloh, bukan dengan politik….”
Semi perdebatan via sms antara saya dengannya berakhir dengan pernyataan seruan untuk bertaubat ditambah seruan untuk tidak lagi berhubungan dengan Melati yang saya maknai sebagai pemutusan silaturrohim.
Kejadian ini bermula, ketika saya memberikan informasi sebuah majalah edisi khusus tentang pendidikan yang memuat profil puluhan sekolah dan pesantren berkualitas di Indonesia. Mulai dari Darul Ulum Jombang, Isy Karimah Solo, Insan Cendekia Gorontalo, sampai madrasah tertua di Bukit Tinggi, semua berjumlah 31. Saya fikir, informasi seperti ini sangatlah langka dan sangat membantu daripada harus keliling Indonesia dengan biaya dan waktu yang tidak cukup satu hari. Kebetulan, Melati meminta saya memberikan informasi tersebut ke nomor yang tidak saya kenal (yang kemudian saya ketahui itu nomor Romi). Qodarulloh, sudah takdir Alloh, tidak semua niat baik berbuah manis. Saya diminta untuk tidak lagi sms/telpon/berhubungan dengan Melati.
Romi tidak ingin saya kemudian meracuni pemikiran istrinya dengan pemikiran dari Manhaj Dakwah yang saya ikuti, apalagi memberikan informasi tentang majalah-majalah yang menurutnya lagi tidak bersesuaian dengannya. Masyaalloh, sayapun tidak habis fikir, kenapa begitu antipati terhadap sesama muslim hanya karena perbedaan pandang. Dan lagi, sayapun tidak habis fikir, majalah yang saya tawarkan itupun sesungguhnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan Manhaj Dakwah yang saya ikuti (yang menurutnya salah), majalah itu bahkan memiliki pemikiran sesuai dengan Manhajnya sendiri, dan lagi….saya hanya memberikan informasi, bentuk dan isi majalahnya saja belum dilihat, belum dibaca, belum ditelaah… hanya karena seorang saya yang berbeda dengannya yang memberikan informasi tersebut, lantas Romi menutup semua kemungkinan kebaikan yang bisa saja datang dari siapapun.
Setelah pernyataan terakhirnya itu, saya memang menjadi lebih banyak berfikir. Benarkah saya sudah tersesat? Saya memang tidak anti politik, tapi saya anti politik kotor. Apa definisi mereka tentang politik? Mengapa harus dipisahkan sedemikian rupa dengan islam? Ketika Rosululloh berhijrah, ketika Rosululloh memutuskan untuk ekpansi wilayah, ketika zaman kekhalifahan yang cemerlang, tidakkah itu politik? Jika diharuskan bersesuaian dengan Rosululloh, mengapa harus memutus silaturrohim? Adakah Rosululloh mengajarkan hal demikian pada umatnya? Kontradiktif sekali…..Jika saya orang yang tidak beragama, apakah saya akan diperlakukan sama? Mengapa kita umat ini, begitu bangga terkotak-kotak dan merasa bangga dengan benderanya masing-masing? Mengapa kita umat ini, yang begitu pandai, dan karena kepandaian yang berlebih itu pula, selalu ingin pendapatnya saja yang diikuti tanpa mau kompromi untuk satu titik temu.
Saya merindukan Melati, saya rindu sekali. Saya masih sering menangis jika mengingat kita harus bercerai dengan cara seperti ini. Bukankah selama saya masih berpegang pada Al-Quran dan Assunnah serta tidak menyalahi syariat kita masih bersaudara? Ah tidak, bahkan selama kita masih sama-sama muslim, kita masih bersaudara?
Saya merindukan Melati, saya rindu sekali. Saya selalu menunggu dan berharap Melati mau menghubungi saya, bagi saya, itu tanda jika Romi telah memaafkan saya dan meridloi persahabatan kami. Melati, mudah sekali mungkin bagi saya untuk mencari keberadaannya, tapi saya tidak ingin persahabatannya dengan saya menjadi penghalang baginya memasuki surga.
“Melati, surgamu kini ada padanya, taat dan Istiqomahlah selalu pada pilihanmu…”
Tulisan ini sudah pernah saya upload di facebook.
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
0 komentar