Tabrakan maut yang merenggut sembilan nyawa dan beberapa korban luka-luka di Tugu Tani hari minggu, 22 Januari lalu mengingatkan saya betapa kematian tidaklah dapat disangka-sangka. Bahkan saat sedang berjalan kaki di jalur yang benar pun, siapa yang sangka bisa celaka. Batas usia adalah hal misterius yang memang tidak akan pernah bisa ditembus oleh siapapun. Kita bisa saja tiba-tiba meninggal dunia saat sedang makan, minum, tidur, duduk, berdiri, berjalan, berlari, tertawa atau saat sedang diam. Duhai alangkah ngerinya jika saat kita meregang nyawa kita tidak juga menunaikan janji untuk hidup bersama Al-Quran, untuk melafalkannya di setiap tarikan nafas, untuk menghafalkannya hingga terjaga di luar kepala, untuk mempelajarinya dan mengamalkannya di setiap langkah kehidupan.
“Ana ngerasa berat ukh, ana merasa terpaksa sekali setiap kali masuk kelas untuk menghafal, ana mau berhenti dulu, insyaalloh semester depan ana mau mulai lagi”. Seorang sahabat saya di kelas tahfidz ketika di Jakarta tiba-tiba mengundurkan diri di tengah perjalanan. Saya membujuknya berkali-kali dengan meyakinkan bahwa target dari ustadzah adalah sebagai bentuk motivasi untuk kita, jikapun kita belum cinta seratus persen pada Al-Quran, maka harus memaksakan diri untuk cinta. Walaupun terpaksa, lanjutkan saja dulu, lingkungan yang mendukung, komunitas yang mendukung, semuanya akan memaksa kita untuk cinta.
Entah mengapa, matematika terlanjur menjadi momok yang menakutkan dalam anggapan banyak murid. Pun saya, yang sebenarnya, sejujurnya, dan sesungguhnya tidak menyukai mata pelajaran ini. Masih saya ingat saat-saat kelulusan SMA dulu, betapa saya begitu berbahagia terlepas dari saat-saat menjemukan bersama matematika. Saya terpaksa memilih kelas IPA, karena dibandingkan matematika, saya lebih tidak suka pada pelajaran ekonomi. Jika pada akhirnya saya masuk Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) itu lain cerita. Sungguh, saya tidak pernah bercita-cita menjadi matematikawan apalagi statistisi. Saya harus memenuhi janji kepada bapak untuk mencoba tes ujian masuk STIS setelah tidak lolos seleksi menjadi calon mahasiswi kedokteran dan tidak bisa menembus kampus UGM untuk menjadi ahli kimia seperti cita-cita saya semula.
Seorang anak kecil diminta ibunya pergi berbelanja ke warung di sebelah rumah.
pemilik warung : "mau beli apa dek?"
anak : "saya disuruh mamak utang beras dua kilo sama minyak tanah 1 liter om..."
pemilik warung : sambil sibuk menyiapkan pesanan bertanya kembali, "ada lagi ndak?"
anak : "emmm...kata mamak kembaliannya kasih permen aja om..."
pemilik warung : ??????
Saya tertawa mendengar Kak menceritakan ini. Entah bagi yang membaca kisah ini versi tulisan saya bisa tertawa seperti saya atau tidak. Yang pasti sampai seharian, jika mengingat cerita ini saya jadi tertawa. Seperti biasa, Kak bisa saja membuat saya tertawa dengan caranya sendiri.
"Kak, sekali-kali belajar romantis dong...", seringkali saya mengatakan ini padanya saat ia melepaskan tangan saya saat saya menggenggam jemarinya.
"Yah lihat-lihat juga dong tempatnya, ini kan di pinggir jalan"
"Eh, tapi kita kan sudah halal"
Saya merindukan sahabat saya. Seorang sahabat dekat yang kini entah dimana keberadaannya. Bukan sebab karena saya tak punya no handphonenya atau tak tahu bagaimana cara menghubunginya, tapi saya enggan, enggan yang bercampur sedih, mengapa tidak Melati saja yang menghubungi saya. Apakah dia tidak merindukan saya? Ataukah saya telah terlupakan?. Hhhh…