Masa kecil bersama adik-adikku. Dari kiri kekanan: Aku, dek Milha, dek Jauhar, dek Nila |
Mendekati awal tahun, saya selalu deg-degan mengingat semakin bertambahnya tahun pernikahan saya. Tapi jika tidak diberi anugerah seperti ini, selamanya mungkin saya tidak pernah bisa merasakan bagaimana perasaan ibu saya dulu, saat berharap dengan cemas dari tahun ke tahun akan kelahiran seorang anak. Saya pun mungkin tidak bisa merasakan bagaimana kerasnya usaha dan perjuangan orangtua untuk bisa memiliki anak. Dan ternyata, subhanalloh seperti ini rasanya. Tidak seperti perempuan pada umumnya, ibu memang terlambat memiliki anak, entah ada hubungannya atau tidak, ternyata saya juga turut merasakan bagaimana rasanya berada dalam penantian dan ikhtiar. Hal ini membuat saya sadar akan arti seorang ibu, bagaimana perjuangannya, mulai dari usahanya mendapatkan saya, saat hamil, saat melahirkan, saat harus mendidik saya, menemani masa remaja saya, dan saat harus melepas saya ke jenjang pernikahan.
Saya bangga menjadi anak yang begitu diharapkan kehadirannya, saya bangga pada ibu sebab ibu adalah orang yang pertamakali mengajarkan saya membaca Al-Quran, saya bangga pada ibu sebab ibu adalah orang yang pertama kali mengajarkan saya sholat, ibulah orang yang pertamakali mengajarkan saya baca tulis huruf latin, yang mengajarkan saya berhitung, dan banyak lagi. Ibu, dialah yang dengan sabar bercerita pada saya dan semua anaknya menjelang tidur hingga begitu terekam dan melekat menjadi akhlak dan perilaku kami hingga kini. Saya ingat, saat berumur tujuh tahun, dek Nila masih malas sekali sholat, ibupun mendongeng hampir tiap malam tentang surga, tentang neraka, tentang hari pembalasan dan tentu saja tentang bagaimana akhir hidup orang yang enggan sholat. Alhamdulillah, dengan kesadaran sendiri, dek Nila pun akhirnya mau sholat.
Ibu menjadikan dirinya sebagai tempat curhat yang paling asyik, bahkan untuk adik lelaki saya, ia tanpa malu akan bercerita pada ibu tentang apapun, bahkan untuk curhat siapa perempuan yang baru saja 'menembak'nya. Ibu, begitu banyak jasamu hingga tinta ini pun seakan tak sanggup menguraikannya satu persatu..
Biarkan aku mengatakan ini…Dan mungkin akan berulang kali.Aku bangga menjadi anakmu….Lebih dari kebanggaanku terhadap bumi pertiwi ini.Aku bangga menjadi buah hatimu…….Seperti aku juga bangga terhadap keislamanku….Aku bangga memilikimu ibu...sebagaimana aku bangga memiliki Alloh dan Rosulnyadi hatiku…
Subhanalloh sungguh sebuah karunia yang tidak terhingga saat Alloh memberikan saya begitu banyak ibu. Saat saya harus berpisah dari ibu saat kecil, sosok ibu hebat begitu lekat pada sosok Ibu Hafidzoh, pengasuh ponpes Masyithoh, Mojokerto tempat saya belajar. Saya menghormati sosok beliau atas begitu banyak jasanya dalam mendidik saya, kecintaannya untuk mendidik anak-anak sangat menginspirasi saya, terlebih saat ini. Betapa membahagiakan memiliki banyak amal jariyah dan mencetak begitu banyak generasi-generasi hebat di kemudian hari.
Ibu saya pun kembali bertambah, setelah menikah dengan Putera dari ibu Suriana Panguale dari Kendari. Saya belum pernah mengenalnya kecuali sesaat menjelang akad. Saat saya bertemu dan berbincang dengannya, saya menjadi semakin yakin untuk melabuhkan hati saya pada puteranya, hidup bersamanya dan membagi setengah hati saya untuknya. Terus terang saja, saya jatuh cinta pada ibunya terlebih dahulu sebelum saya benar-benar jatuh cinta pada puteranya. Ibu mertua saya yang biasa saya panggil 'Ummi' adalah seorang pendidik yang hebat. Ummi yang kesehariannya bergelut di bidang pendidikan, sibuk mengurusi sekolah, mendidik anak-anak dan berdakwah membawa kedamaian dan ketenangan tersendiri bagi saya. Ummi bisa menerima saya apa adanya, tidak banyak menuntut dan mengajarkan saya banyak hal. Di Kendari juga baru saya ketahui seorang perempuan seperti ummi bisa berceramah di masjid-masjid besar seperti halnya lelaki.
Ibu saya yang lain adalah guru-guru saya yang tak terhitung banyaknya. Ibu guru saya saat di TK, SD, SMP, SMU, dan kuliah. Teruntuk Guru matematika saya saat SMP, bu Aisyah yang baru saja meninggal dunia pada hari senin, 19 Desember 2011 lalu, semoga amal ibadahnya diterima di sisi Alloh. Terimakasih ibu, berkatmu kini saya dapat mengajarkan matematika pada anak-anak yang lain.
Kepada para pengasuh, ibu-ibu yang telah meluangkan waktunya untuk mengasuh saya, mendidik saya, berjuang keras memberikan ilmu pada saya, subhanalloh... kiranya tidaklah terhitung jasa kalian duhai ibu....
Hari ini, bertepatan dengan peringatan hari ibu, saya ucapkan banyak terima kasih pada kalian...
Sungguh, aku bangga menjadi anakmu,,
*Tanjung Selor Kota Ibadah
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
0 komentar