Ini kisah tentang Ainiyah, bukan Aini yah.. Nur Aini apalagi Nurin Aini...:P.
Ainiyah, seorang perempuan yang memiliki dua mata yang indah. Kedua mata yang sejuk dipandang, menyenangkan saat di tatap, bersinar terang seperti rembulan, indah….benar-benar indah, itu saja yang dapat aku jelaskan tentang kedua matanya.
Bagi siapa saja yang baru bertemu dengannya, mungkin belum bisa serta merta menikmati keindahan kedua matanya seperti aku menikmatinya. Secara fisik, bentuk matanya biasa saja, tidak sipit tapi tidak terlalu lebar juga, bulu matanya tidak lentik, cenderung lurus dan tidak terlalu panjang, tentu saja masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Aisywara Rai, yang di daulat sebagai wanita bermata indah versi On The Spot itu.
Ainiyah, seorang perempuan yang memiliki dua mata yang indah, aku selalu senang jika duduk bersamanya, terlebih saat kedua bibirnya mulai bersuara. Saat mengajaknya berbincang, seketika kedua matanya terlihat mulai fokus pada satu titik, terkadang ke depan, menatap lekat tembok putih yang ada dihadapan, sesekali menengadah ke atas, ke langit-langit rumah atau ke langit-langit dunia, itu tanda ainiyah sedang membicarakan sesuatu hal yang amat tinggi, untuk diraih, untuk diusahakan, untuk diperjuangkan.
“Saya ingin menjadi seorang wanita yang ahli di bidang syari’ah kak…”, katanya suatu hari saat kami sedang duduk di dapur. Aku menatap matanya lebih lama dari biasanya. Matanya berkaca, aku tahu Ainiyah sedang menatap masa depannya, dan bukan membalas tatapanku, meski kelihatannya ia sedang menatapku.
Ah Ainiyah dengan cita-cita besarnya, perempuan yang umurnya hanya 1 tahun lebih muda dariku ini membuatku kagum. Aku baru saja mengenalnya saat aku berkesempatan tinggal beberapa bulan di asrama santri putri khusus menghafal Alquran di Jakarta beberapa tahun lalu dengan status disamakan. Aku memiliki setengah hak santri plus setengah kewajibannya. Setengah hak diantaranya ialah, boleh menggunakan semua fasilitas asrama tanpa dipungut biaya. Kalau dibandingkan, asrama santri yang kutinggali saat itu jauh lebih nyaman dibanding kos tempatku tinggal sebelumnya. Aku tidak perlu banyak waktu untuk mencuci, di asrama disediakan mesin cuci. Tidak perlu susah-susah mencari makan, kulkas asrama menyediakan semua jenis makanan, lengkap, empat sehat lima sempurna. Saat memasak, peralatannya juga lengkap, mulai dari blender, mixer, alat presto, kompor gas, semuanya ada. Baru disinilah, rasanya kehidupanku sebagai seorang mahasiswi naik pangkat, semua serba enak dan wah. Tidak ada lagi kisah mengharukan mencari warteg yang buka di malam hari, mengantri berjam-jam di depan abang ketoprak atau pesan singkat kejam (resiko bagi mahasiswi yang kemalaman pulang):
“Nitip belikan makan ya, mbak Nia minta bakso satu yang dipinggir jembatan, gak pake vitsin. Leli nasi goreng deket Alfamart, Yati bubur kacang ijo, trus pesenan warteg: nasi 5 bungkus, sayur sop 2 bkgs, ikan tongkol 3, ayam 1, ampela 1, gorengan 5. Aku pesen ketoprak tanpa kecambah, oke…^^”
Peraturan nitip-menitip di kos kami menyatakan bahwa: semua pesanan dibayar oleh orang yang dititipi alias yang membeli, uang akan diganti setelah kenyang, itupun kalau ingat. Parahnya, seringkali yang terjadi, uang tidak akan kembali dengan cepat, jika dihari itu aku kebagian titipan, hutang akan dianggap lunas saat di kemudian hari aku juga nitip makan ke orang yang pernah berhutang padaku.
__
Ainiyah adalah santri kiriman dari Ponpes Darul Ulum, Pamekasan Madura. Sebelum masuk kesini, ia sudah mengantongi 10 juz hafalan. Meskipun demikian, setelah masuk di sini, ia tetap harus mengulang hafalannya dari awal dan memperbaiki kualitas bacaannya. Seingatku, diantara yang lain, Ainiyah adalah santri yang paling rajin dan paling banyak mengulang hafalannya.
Ainiyah, setelah hampir tiga tahun tidak mendengar kabarnya, beberapa waktu lalu saya menelponnya.
“Bagaimana kabar Quran-nya kak?”, Ainiyah membuka percakapan dengan pertanyaan yang teramat istimewa. Seolah saya sedang duduk mendengarkan ia mengulang hafalannya, seperti dulu, saat di asrama. Subhanalloh, betapa indah bersahabat dengan seorang penghafal Quran. Pertanyaannya merupakan kalimat asing yang singgah di telingaku, tidak seperti sahabatku yang lain yang akan bertanya tentang bagaimana kabarku, bagaimana pekerjaanku, bagaimana keluargaku, dan pertanyaan umum yang lain.
“Ainiyah sendiri bagaimana?”. Obrolanpun berlanjut dan bertambah seru. Ainiyah bercerita tentang pertemuannya dengan Ustadzah Ahlam, tentang tawaran dari ustadzah Ahlam untuk belajar bersama beliau dan mendapatkan sanad.
Ainiyah, seorang gadis yang hampir selalu membuatku kagum dan iri. Tak terasa lebih dari 1 jam kami berbincang, aku merayunya untuk memperdengarkan hafalannya. Subhanalloh, lama tak mendengar suaranya, kini kualitas bacaannya jauh lebih baik. Makhorijul huruf, tafkhimnya, subhanalloh, cukup ucapan itu yang bisa ku lafalkan berkali-kali.
Ainiyah, si pemilik mata yang indah. Kini hafalannya sudah selesai, dan ia bersiap untuk ujian akhir sebelum meninggalkan asrama dan kembali ke pondok yang telah mengirimnya di Madura. Satu hal lagi yang membuatku iri, sebentar lagi Ainiyah akan melanjutkan studinya untuk persiapan pengambilan sanad. Subhanalloh, Ainiyah, aku merindukan kedua matamu...
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
0 komentar