Bunyi masuk sms dari handphoneku di tengah malam seperti ini memaksa kedua mataku untuk terbuka, setengah sadar ku eja pesan di kotak masuk:
-Rin, aku menyerah, sekarang aku pasrah-
________________________
Pagi hari setelah sms tiba-tiba dari salah satu sahabat saya itu, saya hanya membalasnya dengan sebuah kalimat ‘Mintalah pertolongan Alloh dengan sabar dan sholat’. Berat, untaian kalimat yang sejatinya saya ambil dari potongan ayat Alquran ini memang tidak mudah dilaksanakan semudah saya membacanya. Alhasil, setelah itu, sms saya tidak lagi mendapat balasan. Sahabat saya, saya sendiri dan mungkin banyak dari kita yang sudah tahu tanpa harus di dikte mengenai teori-teori hidup. Saat kita kehilangan misalnya, ucapan yang akan banyak kita dengar adalah kalimat seperti:
“yang sabar ya mbak, semuanya Alloh yang atur, pasti ada hikmahnya…”,
“Ikhlas ya mas, insyaalloh Alloh akan mengganti dengan yang lebih baik”
“yang kuat ya bu, ini tanda cinta Alloh pada ibu...”
Untaian kata-kata yang sebenarnya tanpa diberitahupun, kita juga sudah paham, kalau yang namanya kehilangan ya harus sabar, harus ikhlas, harus kuat. Hanya saja, melaksanakannya itu yang tidak semudah membalik telapak tangan. Semuanya butuh proses, butuh waktu. Namun setidaknya ini adalah bentuk saling ingat-mengingatkan dalam kebaikan dan ingat-mengingatkan dalam kesabaran yang paling ampuh dan mudah.
Alloh, tuhan kita yang satu terkadang tanpa kita sadaripun seringkali memberikan kalimat-kalimat penguat lewat berbagai macam cara. Saya ingat, beberapa bulan lalu, karena kemalaman, mbak Titi (nama samaran) meminta izin untuk menginap di rumah. Kebetulan waktu itu saya sedang sendirian, begitu juga mbak Titi yang sedang ditinggal suaminya dinas luar. Awalnya berat juga menerima mbak Titi, kegiatan sejak pagi sampai jam 11 malam seperti ini membuat saya terlampau lelah untuk hanya sekedar menerima tamu. Bukan masalah tempatnya, tapi saya tahu setiap ada tamu, terlebih sama-sama perempuan, tidak afdhol kalau tidak mengobrol dulu. Tapi kalau mengingat rumah mbak Titi yang jauh, kasihan juga.
“Sudah berapa lama dek, nikahnya?”
“Dua tahun mbak….”
“Anti kan masih muda, ndak papa…masih panjang waktu ikhtiarnya….kalau mbak kan sudah kepala tiga lebih dek…”
Perbincangan yang awalnya seputar rumah seketika beralih ke rumah tangga, cukup menarik perhatian saya. Mbak Titi yang saya kenal, memang sudah membina rumah tangga hampir lima tahun, dan belum dikaruniai anak. Saya yang tidak terbiasa mengumbar kehidupan pribadi cukup nyaman menjadi pendengar setia kisah mbak Titi. Setiap manusia pada dasarnya lebih senang menceritakan kisah pribadinya dan tidak terlalu peduli dengan kisah orang lain.
“Ndak bisa dek, dimana-mana biasanya perempuan itu yang pertama kali disalahkan..”
“Ya mbak? walaupun mbak sudah menjelaskan duduk permasalahannya?”
“Ya begitu, eh tapi ada lho teman mbak, yang sudah bertahun-tahun menikah, belum punya anak, setelah bercerai, dan masing-masing menikah lagi, masing-masing punya anak. Rahasia Alloh ya dek, terkadang ndak bisa dimengerti hanya dengan logika.”
__
Bagi saya, tidak ada sesuatupun di dunia ini yang luput dari ketidak sengajaan. Semua hal terjadi sesuai rencana Alloh,
‘Tidak ada sehelai daunpun yang gugur kecuali atas izin dan rencana Alloh. Dimanapun, bahkan saat kita bertemu dengan seseorang yang belum pernah kita kenal sebelumnya juga atas izin dan rencana Alloh ’
Di awal menikah dulu, saat di bandara, tidak sengaja saya duduk bersama seorang perempuan muda. Diawali dengan pertanyaan basa-basi, perbincangan pun berlanjut sampai ke rumah tangga. Entah mengapa, seseorang yang belum lama saya kenal ini begitu bersahabat dan dengan mudah bercerita. Ia berkisah tentang bagaimana pertemuan dengan suaminya, hingga keguguran yang terus-terusan sampai lebih dari empat kali.
“Saya menderita trauma hebat mbak. Selama berbulan-bulan saya seperti orang linglung, tidak ingat apa-apa. Keguguran itu rasanya luar biasa sakit, tapi mungkin batin saya lebih sakit. Sekarang saya kalau lihat dokter atau rumah bersalin saja bisa langsung muntah-muntah saking takutnya. Saya juga sempat trauma hamil, takut kejadian lagi….”
___
Bagi yang sudah menikah, pasti tidak asing dengan pertanyaan “Sudah berapa mbak anaknya?”. Saya juga, hampir di saat bertemu dengan orang baru. Pertanyaan yang sama mengerikannya saat belum menikah dulu, ^^, “Kapan niy undangannya?”.
Kok ya kebetulan, saya lebih banyak mendapatkan jawaban
“ndak papa mbak, itu masih belum lama, saya sudah 7 tahun..”
“saya saja sudah lebih dari 10 tahun”, dan kalimat-kalimat serupa yang lain.
Seperti ketika saya menjadi Instruktur Daerah (Inda) Pelatihan Potensi Desa (Podes 2011) di awal tahun lalu. Sambil mengisi waktu istirahat, sengaja saya sempatkan berbincang dengan salah seorang peserta. Usianya paruh baya, kalau bisa saya perkirakan, kemungkinan ibu yang sedang saya ajak bicara ini usianya sudah lima puluh tahun lebih.
“Ibu, cucunya sudah berapa?”
“Jangankan cucu mbak, anak saja saya ndak punya..”
“Maksudnya bu?”
“Saya ini sudah ndak bisa punya anak mbak, selain sudah tua saya juga mandul, tapi saya dan suami memang ndak berkeinginan ngambil anak. Kalau bisa janganlah mbak, berusaha saja sampai bisa punya anak sendiri”
Pengalaman yang terakhir ini membuat saya beberapa kali menelan ludah dan menarik napas dalam-dalam.
*Untuk sahabat saya yang telah memberi inspirasi untuk menulis tema ini. Ketahuilah, apa yang engkau rasakan, tidak berbeda dengan apa yang saya rasa, juga mungkin perempuan-perempuan yang lain di luar sana. Kalimatmu untuk pasrah, saya benarkan, tapi tidak untuk kata menyerah. Pasrah dan menyerah itu dua hal yang jauh berbeda. Menyerah berarti berhenti untuk berikhtiar, sedang pasrah adalah upaya yang harus dilakukan menyertai ikhtiar. Maka silahkan pasrah, tapi jangan menyerah.
Haluoleo, 23 September 2011
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
0 komentar