Pak Beye |
“Jadi bagaimana bagusnya kita menarik anggota? Apa seperti cara pak harto dengan menculik diam-diam? Atau cara pak Beye, pake acara panggil satu-satu ke Cikeas?”
Satu kalimat yang terlontar dari mulut seorang mahasiswi saat saya dan beberapa rekan mahasiswi Universitas Kalimantan Utara (Kaltara) berdialog tentang bagaimana memulai membangun kegiatan jurnalistik di kampus sore tadi, tak pelak berlanjut menjadi perbincangan semi serius kami berdua menjelang tidur. Kalau mengingat seloroh ide tentang bagaimana cara efektif merekrut anggota, sampai saya menuliskan ini pun, saya masih bisa tertawa dibuatnya.
***
Aku pernah menemui seorang responden yang belum 6 bulan ditinggal istrinya, dan kini telah beristri lagi. Untuk mendapatkan data kematian, ku ajukan pertanyaan,
Aku : “Pak, istri bapak kemarin meninggal bulan berapa?”, bapak yang ada dihadapanku termenung cukup lama. Agak tidak enak juga, aku takut menyinggung perasaannya.
Bapak: “kayaknya akhir tahun 2009 mbak”, jawab sang bapak sedikit ragu.
Tidak berapa lama kemudian, anak pertama sang bapak datang dan langsung menimpali. Anak: “gak mbak, udah masuk 2010, kan belum lama waktu bapak nikah…,”.
Aku: “Oh, waktu meninggal umurnya berapa ya pak?”
Bapak: “dek..dek.. tolong ambilkan kartu keluarga, lihatkan tanggal lahir mama, maaf ya mbak saya lupa …”,
Aku pernah menemui seorang responden yang belum 6 bulan ditinggal istrinya, dan kini telah beristri lagi. Untuk mendapatkan data kematian, ku ajukan pertanyaan,
Aku : “Pak, istri bapak kemarin meninggal bulan berapa?”, bapak yang ada dihadapanku termenung cukup lama. Agak tidak enak juga, aku takut menyinggung perasaannya.
Bapak: “kayaknya akhir tahun 2009 mbak”, jawab sang bapak sedikit ragu.
Tidak berapa lama kemudian, anak pertama sang bapak datang dan langsung menimpali. Anak: “gak mbak, udah masuk 2010, kan belum lama waktu bapak nikah…,”.
Aku: “Oh, waktu meninggal umurnya berapa ya pak?”
Bapak: “dek..dek.. tolong ambilkan kartu keluarga, lihatkan tanggal lahir mama, maaf ya mbak saya lupa …”,
Bunyi masuk sms dari handphoneku di tengah malam seperti ini memaksa kedua mataku untuk terbuka, setengah sadar ku eja pesan di kotak masuk:
-Rin, aku menyerah, sekarang aku pasrah-
________________________
Pagi hari setelah sms tiba-tiba dari salah satu sahabat saya itu, saya hanya membalasnya dengan sebuah kalimat ‘Mintalah pertolongan Alloh dengan sabar dan sholat’. Berat, untaian kalimat yang sejatinya saya ambil dari potongan ayat Alquran ini memang tidak mudah dilaksanakan semudah saya membacanya. Alhasil, setelah itu, sms saya tidak lagi mendapat balasan. Sahabat saya, saya sendiri dan mungkin banyak dari kita yang sudah tahu tanpa harus di dikte mengenai teori-teori hidup. Saat kita kehilangan misalnya, ucapan yang akan banyak kita dengar adalah kalimat seperti:
“yang sabar ya mbak, semuanya Alloh yang atur, pasti ada hikmahnya…”,
“Ikhlas ya mas, insyaalloh Alloh akan mengganti dengan yang lebih baik”
“yang kuat ya bu, ini tanda cinta Alloh pada ibu...”
Untaian kata-kata yang sebenarnya tanpa diberitahupun, kita juga sudah paham, kalau yang namanya kehilangan ya harus sabar, harus ikhlas, harus kuat. Hanya saja, melaksanakannya itu yang tidak semudah membalik telapak tangan. Semuanya butuh proses, butuh waktu. Namun setidaknya ini adalah bentuk saling ingat-mengingatkan dalam kebaikan dan ingat-mengingatkan dalam kesabaran yang paling ampuh dan mudah.