Semi perdebatan via sms, berakhir dengan pernyataan seruan untuk bertaubat dari suami sahabat saya (saya dan istrinya bersahabat) sejak lama, dan seruan untuk tidak lagi berhubungan dengan istrinya yang saya maknai sebagai pemutusan silaturrohim.
Kejadian ini bermula, ketika saya memberikan informasi sebuah majalah edisi khusus tentang pendidikan yang memuat profil puluhan sekolah dan pesantren berkualitas di Indonesia. Mulai dari Darul Ulum Jombang, Isy Karimah Solo, Insan Cendekia Gorontalo, sampai madrasah tertua di Bukit Tinggi, semua berjumlah 31. Saya fikir, informasi seperti ini sangatlah langka dan sangat membantu daripada harus keliling Indonesia dengan biaya dan waktu yang tidak cukup satu hari. Kebetulan, sahabat saya itu meminta saya memberikan informasi tersebut ke no yang tidak saya kenal (yang kemudian saya ketahui itu nomor suaminya). Qodarulloh, sudah takdir Alloh, tidak semua niat baik berbuah manis. Saya diminta untuk tidak lagi sms/telpon/berhubungan dengan sahabat baik saya itu. Beliau tidak ingin saya kemudian meracuni pemikiran istrinya dengan pemikiran dari Manhaj Dakwah yang saya ikuti, apalagi memberikan informasi tentang majalah-majalah yang menurutnya lagi tidak bersesuaian dengannya. Masyaalloh, sayapun tidak habis fikir, kenapa begitu antipati terhadap sesama muslim hanya karena perbedaan pandang. Dan lagi, sayapun tidak habis fikir, majalah yang saya tawarkan itupun sesungguhnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan Manhaj Dakwah yang saya ikuti (yang menurutnya salah), majalah itu bahkan memiliki pemikiran sesuai dengan Manhajnya sendiri, dan lagi….saya hanya memberikan informasi, bentuk dan isi majalahnya saja belum dilihat, belum dibaca, belum ditelaah… hanya karena seorang saya yang lemah yang memberikan informasi tersebut, lantas beliau menutup semua kemungkinan kebaikan yang bisa saja datang dari siapapun.
Setelah pernyataan terakhirnya itu, saya memang menjadi lebih banyak berfikir. Benarkah saya sudah tersesat? Saya memang tidak anti politik, tapi saya anti politik kotor. Apa definisi mereka tentang politik? Mengapa harus dipisahkan sedemikian rupa dengan islam? Ketika rosululloh berhijrah, ketika rosululloh memutuskan untuk ekpansi wilayah, ketika zaman kekhalifahan yang cemerlang, tidakkah itu politik? Jika diharuskan bersesuaian dengan rosululloh, mengapa harus memutus silaturrohim? Adakah Rosululloh mengajarkan hal demikian pada umatnya? Kontradiktif sekali…..Jika saya orang yang tidak beragama, apakah saya akan diperlakukan sama? Mengapa kita umat ini, begitu bangga terkotak-kotak dan merasa bangga dengan benderanya masing-masing? Mengapa kita umat ini, yang begitu pandai, dan karena kepandaian yang berlebih itu pula, selalu ingin pendapatnya saja yang diikuti tanpa mau kompromi untuk satu titik temu.
___
***
“Lagi ngapain dek?” , diam-diam ternyata lamunan saya ada yang memperhatikan, he…he….
“ini ya, uang untuk kita sedekahkan ke anak-anak, siapa tahu ada yang namu…”.
Sambil menunjukkan dua toples berisi uang receh dan uang ribuan. Meski berlebaran di kampung orang, berfikir positif saja, mudah-mudahan saat berlebaran nanti banyak tamu di rumah. Ingat masa kecil dulu, waktu masih imut, chubby, dan belum bersekolah (halah…), jika orang dewasa sibuk mempersiapkan kue, masakan dan pakaian, anak-anak seperti kami lebih asyik mempersiapkan dompet baru…. Sedihnya, pendapatanku waktu itu tak sebanyak teman-temanku, karena tiap kali bertandang ke rumah orang,”oh, ini anak pak guru ya…?”. Kalau identitas sudah terkuak, alamat bakal ndak dapat jatah pembagian. Menurut mereka, anak pak guru itu dianggap anak mampu, dan tidak sopan kalau memberikan uang seperti ke anak yang lain, nanti dianggap menghina. Padahal keluarga kami, apalagi saya yang tidak paham adat-mengadat, tidak berfikir demikian. Hmmm….kasihan…kasihan….kasihan…
“jangan biasakan anak-anak dengan uang dek…”
“iyo…sip…sip…anggap saja ini sedekah kak, se…de…kah…. J ”.
***
“kita ikut pemerintah aja dek, kita lebaran hari rabu….”. Kak, sedari tadi khusyu’ mengikuti sidang itsbat penentuan 1 Syawal,
“gak mau ah, aku mau lebaran hari selasa…kan hilalnya sudah ada yang melihat…”
“kita ikut pendapat yang banyak saja…”
“yang banyak sudah pasti benar ya?”
“ya…tapi kan yang memutuskan itu ulama, ahli dalam bidangnya, ada dalilnya, bukan sembarang orang…”
“lantas, yang memutuskan lebaran hari senin, lebaran hari selasa, bahkan ada juga yang lebaran hari kamis, orang yang sembarangan, bukan ahlinya dan ndak punya dalil ya?”
***
Allohu akbar…allohu akbar…allohu akbar….
Alhamdulillah, hari kemenangan tiba yang dinanti. Meski sebelumnya, sudah ada saudara-saudara seiman yang lebih dulu merayakannya. Kalau sudah jauh begini, rindu masakan ibu. Di rumah pasti berbagai menu enak sudah tersedia. Begitu nikmat, jika lebaran ini semuanya satu. Berkumpul bersama keluarga dan menikmati semuanya bersama. Sungguh nikmat barangkali jika kita juga “1” dalam merayakan hari ini, Berkumpul satu dalam doa dan pengharapan. Rindu rasanya….seperti juga rindu yang selalu saya simpan untuk sahabat terbaik yang memoarnya akan selalu saya kenang. Kita memang berbeda dalam banyak hal, tapi kita akan tetap ‘1’ dalam cinta bukan? Kita akan belajar lebih mendalam lagi tentang islam, tentang falsafah, dan kita akan belajar bagaimana memaknai cinta. Cinta kita yang satu, pada Alloh yang Maha 1.
Selamat Lebaran!... Minal Aidzin Wal Faidzin...
Tanjung Selor Kota Ibadah, 05 September 2011
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
0 komentar