Cinta
-199- 3 Perempuan, 3 Sudut Pandang dan Letak Kebahagiaan. #Mengenai Perempuan Kedua
Saturday, July 23, 2016Bismillahirrahmanirrahim
Ini kisah kelanjutan dari seri postingan:
::: 3 Perempuan, 3 Sudut Pandang, dan Letak Kebahagiaan :::
Sebelumnya: #Tentang Perempuan Pertama
# Mengenai Perempuan Kedua #
Kalian yang bertemu atau berpapasan dengan perempuan kedua ini, pasti tidak percaya, bahwa ia masih muda. Umurnya belum genap kepala tiga, tapi penampilan dan perawakannya mirip seorang ibu berusia di atas tiga puluh lima.
Lebih tidak percaya lagi, setelah kalian tahu, bahwa ia telah menikah, lengkap dengan lima anak. Anak pertamanya hampir tamat SMP, anak kelimanya belum genap melewati fase batita.
Kehidupannya, terlihat sempurna. Ayah-ibu-anak. Rumahnya tidak megah tapi mereka tak pernah pusing soal biaya sewa, rumah sederhana enam kali sembilan itu rumah mereka sendiri, dibangun oleh tangan hangat dari seorang lelaki penyayang anak-anak, siapa lagi jika bukan, suaminya.
Suaminya, tak berpenghasilan tetap, tetapi sejauh pandangan saya mampu menjangkaunya, ia lelaki bertanggung jawab dan mau bekerja. Beberapa kali saat saya berkunjung ke rumah mereka, saya dapati sang suami yang sedang sibuk di dapur, merajang bawang, lain kali saya melihatnya mencuci pakaian, esok-esoknya saya melihat ia menjemur dan melipat, dan sering saya mendapati ia sibuk menimang anak.
Perempuan mana yang tak bahagia memiliki suami berpengertian. Di luar rumah, bekerja, mencari nafkah. Di rumah, membantu isteri, meringankan pekerjaan.
Suatu waktu, saat saya dan Perempuan Kedua ini bertemu. Entah bagaimana mulanya, saya bercerita padanya tentang kesyukuran berpredikat isteri. Betapa kita harus mensyukuri benar-benar status ini, dan mensyukuri hadirnya suami di sisi, lebih sering mengingat kebaikan-kebaikan suami yang tak mudah dibalas. Kalian tahu apa yang terjadi? Perempuan Kedua di hadapan saya terdiam. Tapi matanya berkaca-kaca. Mata adalah cermin hati yang paling mudah dibaca. Kalian pasti dapat membedakan mana hati yang sedang jatuh cinta, mana hati yang sedang kecewa, dan mana hati yang sedang marah, hanya melalui mata. Karena mata tidak sekedar panca indera biasa, mata yang fitrahnya melihat itu pun mampu berbicara, menyuarakan lebih dalam, soal rasa, juga kedalaman jiwa.
Tapi saya belum berani menyimpulkannya, sampai pada pertemuan berikutnya lagi, saat sama-sama bertemu di majelis, mendengarkan petuah bijak soal rumah tangga surga. Saya kembali melihatnya, matanya yang berkaca-kaca.
Dari sana, saya tahu, bahwa sahabat saya, Perempuan Kedua ini, sedang bermasalah, dalam rumah tangga.
Meski demikian, saya tidak pernah bertanya, demi menghargai Perempuan Kedua ini yang rapat menyimpan rahasia. Saya tahu ia bukan sembarang perempuan, yang akan dengan mudah mengumbar aib keluarga, untuk sekedar dipergunjingkan. Ia akan bersuara, untuk sebuah jalan keluar. Lebih jauh dari itu, saya percaya, bahwa ia adalah perempuan kuat dan tegar.
Hari berganti, kemudian suatu masa, saya mendapatinya, bekerja. Berdagang keliling menjualkan panganan.
"Bosan di rumah. Santi (bayi kelimanya) juga sudah besar, sudah bisa dibawa jalan. Hitung-hitung tambah uang jajan anak-anak".
Saya hanya ber oooh ria, mengangguk mafhum.
Tidak berselang lama, ia mencoba peruntungan mendaftar menjadi karyawan.
"Gajinya lebih besar. Melebihi UMR rata-rata, suamiku juga lagi susah. Pendapatan tak menentu", katanya lagi.
Dan ya, saya hanya bisa mendoakan, semoga lamarannya diterima. Untuk ukuran perempuan tak tamat SMP sepertinya, lamaran pekerjaan yang cocok paling banter semacam penjaga konter. Dan, sedikit lebih bergengsi, ialah menjadi buruh atau karyawan bergaji lumayan.
Pekerjaan yang lebih mulia sebenarnya ialah pengusaha, tapi ia mengeluh soal usahanya tempo hari lalu,
"Capek sekali memasak untuk menjual itu. Waktuku habis. Anak-anak dan rumah tak sempat terurus. Pendapatannya juga tak seberapa. Sementara kebutuhanku mendesak".
Dan ya, doanya terkabul. Ia diterima. Statusnya saat ini ialah karyawan. Meski tak berstatus tetap, tapi ia kini, memiliki gaji tetap. Dan sesuai dengan mimpinya, ia hanya dipekerjakan setengah hari. Sehingga ia masih bisa mengurusi rumah dan anak-anak.
Kehidupannya terlihat berjalan seperti biasa. Sebuah potret keluarga yang sempurna. Ayah-ibu-anak. Saya masih sering melihat suaminya membawa anak batitanya berjalan-jalan di sore hari, atau sekedar bermain-main di halaman rumah.
Hingga, sebulan lalu tepatnya, kabar perceraiannya terdengar. :(.
Itu mengapa saya sudah mulai berfirasat tidak enak saat Perempuan Kedua ini mulai giat mencari pekerjaan meski saya tahu alasan terbesarnya pasti karena kehidupan mereka yang jauh dari kata berkecukupan. Ia pasti telah belajar, dan mulai mempersiapkan, mengambil ancang-ancang.
"Aku lelah". Katanya.
"Ia selalu mengulang kesalahan yang sama"
Saya ingin mengatakan kepadanya bahwa kesalahan seorang lelaki, jika masih bukan masuk ranah dosa terbesar semacam -maaf- perselingkuhan atau laki-laki tukang begal dan mabuk-mabukan, masih bisa dimaafkan, masih bisa diperbaiki, masih bisa menerima banyak pemakluman. Tapi ia sudah mengambil keputusan. Bulat. Dan terlambat bagi siapapun juga mencoba memberi nasihat.
Ada banyak jenis rumah tangga yang lebih memprihatinkan, tetapi kesabaran membuahkan hasil perwujudan sakinah mawaddah warahmah di akhir perjalanan. Saya tidak hendak mengatakan bahwa Perempuan Kedua ini tidak kuat, tidak sabar, tidak tegar. Ketiga hal tersebut telah teruji pada pernikahannya yang dua kali. Satu kali gagal karena ditinggalkan, satu kali gagal karena keberaniannya mengambil keputusan.
Saya tahu ia sangat lelah, tentu. Di usianya yang begitu belia, di mana saya di masa yang sama, sedang asyik menikmati indahnya dunia remaja, persahabatan, hidup tanpa banyak beban, ia sedang sibuk dipaksa mendewasa. Tidak ada cerita bersantai-santai menikmati masa muda, tidak ada. Hidupnya ialah bangun, mengurus suami, memberi makan anak-anak, dan berupaya menghemat uang belanja.
Tidak ada kisah merenda masa depan cerah, hidupnya kala itu, ialah bagaimana ia bisa bertahan dan anak-anaknya terlelap dengan nyenyak tanpa menangis menahan lapar dahaga. Tidak ada masa-masa menikmati kesendirian. Tidak ada cerita jalan-jalan dan makan-makan. Tidak ada istirahat yang benar-benar. Kehamilannya rapat, kesehariannya padat, ia hidup tidak untuk berfikir lagi tentang keinginannya sendiri, ia hidup untuk anak-anak, untuk keluarga.
Dan ditengah pendewasaan penuh buru-buru itu, ia ditinggalkan oleh lelakinya, dikhianati, ditinggal kawin lagi. Begitu saja, tanpa harta gono-gini, tanpa ditinggalkan banyak benda.
Maka, lelaki keduanya adalah bagaikan malaikat kala itu, pelindung sekaligus ksatria.
Tapi itu hanya awalnya, hanya sejenak, hanya sesaat, setelahnya, ia baru sadar, jika ia seperti mengulang kesalahan yang sama, menikah dengan lelaki yang tak mengenal Tuhan, hidup awut-awutan, dan beberapa kali menorehkan luka yang dalam. Saya baru tahu kalau selama ini untuk urusan gula garam saja ia kesusahan. Uang hasil kerja suaminya seringkali habis di jalan, dipakai suaminya bermain judi atau sesekali minum-minuman. Saya juga tahu bagaimana ia menahan malu, menjenguk suaminya yang keluar masuk bui, sedangkan setelahnya, tak ada kata-kata jera, dan kembali terulang.
Begitulah, laki-laki yang meski terlihat kesatria tetapi mencipta hubungan rumah tangga bagai neraka. Hei, bukankah para pelaku mutilasi juga orang baik-baik dan terlihat mulia? Dan bukankah kita sering pula mendengar tersangka pencabulan adalah manusia-manusia penyayang?
"Aku lelah. Aku lelah untuk terus mengalah. Aku lelah mengaminkan janji-janjinya untuk berubah tapi nyatanya tak pernah berbuah", katanya lagi. Dan ya, saya tahu, pasti melelahkan, sangat melelahkan menyediakan hati yang luas dan tabah untuk bertahan mengayuh biduk yang sebagiannya retak dan harus diperbaiki sendiri.
Tapi saya baru saja terlambat menyadari, satu pertanyaannya, sebelum kabar keputusan besarnya itu ia pilih.
"Kau tahu rasanya kesendirian? Apa kau tahu bagaimana kesendirian itu? Apakah kesendirian itu menyenangkan? Apakah kesendirian membahagiakan?"
###
Lanjut membaca seri ini pada kisah #Perih(al) Perempuan Ketiga
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
10 komentar
Aku tahu ini temennya Nurin di kampung halaman sono *nuduh lagi*
ReplyDeleteNuduh sekali lagi, tak laporkan Komnas HAM lho :p
DeleteSaya sampai baca hingga akhir, mbak. :) Sering banget dapar cerita kayak gini. Bahkan ada ibu beranak tiga juga bulat ingin bercerai karena suaminya main judi dan mabuk-mabukkan. Ia cerai tanpa harta gono gini. Padahal suaminya kaya. Setelah cerai, ibu ini sampai harus jadi buruh serabutan untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya. :)
ReplyDeleteIya Mbak, kisah serupa ini lebih banyak lagi memang :(
Deletebanayk kisah perempuan yang membuat kita bisa belajar
ReplyDeletetak ada perkawinan yang sempurna, hanya saja saya selalu menaknkan bahwa kita sebagai perempuan berhak berbahagia apalagi dg anak2 kita. Ibu yang tak bahagia bagaimana bs membahagiakan anak2nya. Setiap pilihan ada konsekuensinya...selama kita sadar mengambil pilihan tersebut tidak masalah
Dan membuat kita sadar ya Mbak. Bahwa hidup ini pasti akan selalu ada ujiannya.
DeleteIkut mendoakan saja moga si mbak, menemukan kebahagiannya aamiin
ReplyDeleteTFS ya mbak, tiap cerita pasti udah Allah atur, moga jd hikmah baut saya jg :)
Amin. Semoga menjadi hikmah untuk kita semua ya Mbak.
DeleteBanyak cerita mengenai perempuan seperti ini ya Mbak. Saya pun kadang sering mendengar kisah ketidakberdayaan perempuan, entah karena kodratnya atau kelemahan atau justru mungkin itu kekuatannya...Saya juga banyak belajar dari sini bahwa dalam rumah tangga pasti ada kerikil atau pun batu...disitulah kita belajar untuk terus berkembang dan dewasa...
ReplyDeleteBenar sekali. Selalu ada hal yang dapat kita petik dalam perjalanan panjang kehidupan ini :)
Delete