Bismillahirrohmanirrohim,
Beberapa saat lalu, saya sempat terlibat obrolan panjang dengan Nona
Z, perbincangan yang cukup serius, dengan tema yang cukup serius, dan sudah
barang pasti, membuat saya berfikir lebih dalam di hari-hari setelahnya.
Nona Z : “Aku dihantui rasa
bersalah, bagaimana ya?”
Saya : “Ke?”
Nona Z : “Tuan H”
Saya : “Why?”
Nona Z : “aku pernah berjanji
bersedia menikah dengannya, tetapi hatiku pernah berbelok ketika ada sosok lain
yang lebih serius untuk melamarku. Ku katakan padanya, “silahkan lamar, sebelum
aku dilamar orang”, kufikir dengan begitu, ia akan segera melamarku. Tetapi,
ternyata ia marah, ia menganggapku telah berkhianat dan tidak setia janji, lalu
hubungan kami jadi renggang, apalagi setelah kukatakan aku tak menginginkan
hubungan seperti dahulu lagi, kecuali pernikahan. Jawabannya sungguh
menyakitkan, katanya permintaanku aneh. Aku sungguh tak tahu dimana letak anehnya.”
Saya : “tidak setia janji?
Memangnya kalian berdua terikat oleh apa? Khitbah juga belum. Pacaran???”
Nona Z : “Ia meminta recovery hubungan. Waktunya sampai
kapan, aku juga tak tahu. Ku sampaikan padanya untuk segera menikah saja, itu
pilihan yang terbaik untuk kami. Tapi ia menolak”
Saya : “Recovery hubungan? Ah, saya tak mengerti hubungan itu seperti apa,
karena seharusnya diantara kalian tidak ada hubungan. Jadi, maksudnya kalian
pacaran??”
Nona Z : “Yah, semacam mendekati
hubungan seperti itu. Tapi, tidak dalam bentuk pertemuan fisik ya, kami intens
berkomunikasi. Aku juga sudah pernah protes atas kata-katanya yang belum
waktunya kepadaku, kusinggung juga mengenai bagaimana seharusnya hubungan
lelaki dan perempuan, ia makin marah, kau tahu betapa pahamnya ia akan agama
kan?”
Sampai disini, saya menarik nafas cukup dalam. Saya tak perlu banyak
memberi nasihat pada mereka, Nona Z dan Tuan H, keduanya saya anggap sebagai
orang yang paham ber-agama. Tak perlu mengumbar banyak dalil pun, mereka sudah
paham.
Saya : “Kalau begitu,
tinggalkan saja dia Nona, engkau sudah melangkah jauh di luar koridor syar’i.
Mengapa pula harus merasa bersalah kepada Tuan H?”
Nona Z : “Ia menginginkan
hubungan kami normal seperti sedia kala. Aku menolak, aku tak mau hubungan yang
seperti itu, aku ingin menikah, kalau tidak, ya sudah pisah saja. Ia memilih
pisah, karena katanya permintaanku aneh. Sudah berkali-kali pula kuberitahukan
padanya, bahwa hubungan ini sudah menjurus ke pacaran, sudahlah hentikan saja.
Tetapi, selalu saja berakhir dengan perselisihan”
Saya : “Sudah berhubungan
jauh (mengarah ke pacaran) dengan yang belum beristri saja harom, apalagi
dengan yang sudah beristri. Apa Nona tidak merasa bersalah kepada Allah? Kenapa
harus merasa bersalah pada Tuan H?”
Nona Z : “Iya, aku gundah karena
itu juga, karena telah berbuat yang tidak seharusnya. Karena sedari awal ia
bilang serius, tak ku sangka akan seperti ini akhirnya”
Saya : “Kalau serius kenapa
ditunda-tunda dan lama? Wake up Nona!
Hampir satu tahun menunggu, itu bukan serius namanya. Itu gombal”
Nona Z : “Itulah yang tak ku
mengerti, setelah aku mantap dengannya, ku fikir ia akan segera melamar”
Saya : “Sudahlah, untuk
lelaki gombal level internasional (meminjam istilah Tere Liye) seperti dia,
tinggalkan, lupakan, forget him…istighfar
dan taubat saja”
Alhamdulillah, Allah berkenan membawa Nona Z kepada jalan kebaikan,
saya tetap berharap, ia berada pada jalan koridor syar’i, sebagaimana Allah
telah menetapkan. Entah mengapa, sejak semula –sekira setahun lalu- saat ia
berkisah tentang Tuan H, saya sudah mulai merasa ada kurang sreg dengan sosok
Tuan H. Meski Nona Z secara berulang selalu berkisah tentang bagaimana sosok
Tuan H yang cukup perfecto dimatanya.
Nanti dulu, kita tidak sedang membicarakan tentang poligaminya, tetapi disini
kita berbicara tentang prosesnya. Bedakan antara perselingkuhan dan poligami.
Poligami dibolehkan syara’, sedang perselingkuhan adalah perbuatan nista yang
diharomkan agama.
Mulanya, saya tidak pernah memikirkan tema ini, melintas saja juga
belum. Tetapi, dari beberapa obrolan warung kopi, rupanya perselingkuhan bukan
lagi hal tabu untuk dibicarakan, kasus ini telah mewabah mulai dari jajaran
pimpinan hingga grass root,
masyarakat kelas bawah. Naudzubillahi min dzalik. Rupanya, bukan hanya
permasalahan runtuhnya tiang agama –mayoritas muslim disini masih banyak yang
tidak menjalankan sholat-, jauhnya mereka dari Al-Quran, penyakit-penyakit
jahiliah seperti perselingkuhan, pergaulan bebas, narkoba, juga menjadi momok
yang cukup kronis.
“Ini pedalaman
lho Bu!, pedalaman!”, saya selalu mengatakan itu sebagai pembelaan.
“Jangan salah
Bu, di sini memang pedalaman, tapi kelakuan sudah lebih parah dari perkotaan”, begitu
komentar seorang Ibu.
Lalu, apa peduli saya?
Pekerjaan saya sudah cukup menguras energi, lantas apa peduli saya?
Pertanyaan itu cukup menggelitik saya, iya, apakah saya cukup hidup
dengan mengurusi masalah saya sendiri, tanpa kemanfaatan?
Bukankah manusia hidup sebagai khalifah, dan masing-masing kita
bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuat selama di dunia?
Sia-sia kah? Atau beramal jariyah?
Cukup! Sepertinya saya sudah tidak cukup kuat untuk menanggung amanah
baru. Saya butuh waktu berfikir lama sekali –seingat saya kurang lebih 10 bulan
lamanya- hingga akhirnya saya memantapkan hati dan niat untuk kembali bergabung
bersama-sama, peduli pada kondisi dan realita, serta turut memajukan kualitas perempuan,
anak dan keluarga Indonesia. Bersama Persaudaraan Muslimah (Salimah).
Sudahlah, kita tidak bisa memungkiri, sebuah perubahan tidak bisa serta
merta terjadi, jika tidak ada upaya di dalamnya. Saya mungkin bisa terus
menulis, eksis di dunia maya, punya nama, tetapi apakah gunanya jika itu tak
berpengaruh sedikitpun pada dunia nyata?
Pada tetangga-tetangga saya?
Pada masyarakat sekitar saya?
Saya butuh keseimbangan, saya butuh keduanya, saya harus terus menulis
untuk kemanfaatan yang lebih luas, dan saya juga harus bekerja, agar ada aksi
nyata yang dapat saya lakukan.
Suasana Pendopo, sebelum acara dimulai |
Bukan main! Ketika mengetahui bahwa tawaran untuk amanah baru ini,
saya ditunjuk untuk menjadi ketua sebuah organisasi, dengan segala keterbatasan
sumber daya manusia, dan juga tentunya dana. Dengan mengucap
bismillahirrohmanirrohim, akhirnya, 24 Desember 2013, sembari memperingati hari
Ibu, acara pelantikan PD Salimah Kabupaten Tana Tidung sekaligus talk show ‘Ketika Perselingkuhan Mendera’
berhasil diselenggarakan.
Banyak kejadian yang kami –saya bersama jajaran pengurus yang
berjumlah 5 orang- alami, seperti saat mengajukan peminjaman kursi di kantor
desa. Seorang pegawai desa menyeletuk,
“Undangan buat
saya mana? Saya kan termasuk pelaku selingkuh”, saya kira ia
hanya sekedar bercanda, eh usut punya usut ternyata memang benar adanya, ia
bercerai dengan isterinya lalu menikah dengan kawan sekantornya. Apalagi kalau
tidak diawali dari perselingkuhan.
Acara dibuka oleh Ibu Sekda, Ibu Norningsih sekaligus Ketua DWP Kab Tana Tidung |
Alhamdulillah, setelah melewati beberapa proses pencarian tempat,
acara akhirnya diadakan di pendopo Kabupaten, acara yang juga di dukung oleh
Ibu Sekda ini, juga sekaligus dibuka oleh beliau, sekaligus menjadi saksi pada
acara pelantikan pengurus.
Alhamdulillah, peserta yang hadir mencapai 120 orang |
Momen yang menegangkan, saat saya menandatangani SK jabatan. |
Belajar dari beberapa kasus yang saya temui, celah perselingkuhan
dapat terjadi pada siapa saja, tidak peduli ia yang bergelar ustadz atau tokoh,
tidak peduli seberapa paham ia terhadap agamanya, godaan untuk ini selalu ada. Saya
juga sempat berdiskusi ringan dengan salah seorang kawan, membahas tentang
proses sebuah perkawinan seorang pejabat negeri, yang kisahnya dituliskan
berbab-bab, semua orang yang membacanya nampaknya memuji, kagum dan terpana. Tapi,
bagi saya tidak, tidak ada yang mengagumkan untuk kisah poligami yang diawali
dengan jalinan hubungan yang sangat lama, meski itu berbungkus dengan istilah ‘diskusi
pemikiran’.
Tidak! Kita tidak sedang membahas tentang poligami. Kita membahas
tentang perselingkuhan. Sekali lagi, poligami dan perselingkuhan adalah dua hal
yang berbeda. Kita musti sepakat tentang itu.
Belum lama, di salah satu grup kepenulisan yang saya ikuti, juga
sedang ramai membahas ini. Kisah tentang sepasang suami-isteri yang bercerai di
usia pernikahan belum cukup satu tahun. Sebabnya? Karena sang isteri sering
curhat (sms-an) dengan teman prianya, yang rupanya satu pengajian dengannya –entah
jenis pengajian semacam apa yang mereka ikuti-. Wallohua’lam. Saya menyebut
kasus demikian sebagai ikhtilat yang kebablasan. Terlebih di era sosial media
seperti ini, kita sudah terlalu biasa berbalas sapaan, chatting-chattingan dengan lawan jenis, berhaha-hihi, tanpa
kehati-hatian. Meski pada awalnya, mungkin tidak ada niatan sama sekali,
mungkin pada awalnya di niatkan untuk amanah pekerjaan dan urusan lainnya.
“Perselingkuhan bukan
hanya karena ada niat dari pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan. Tidak satupun
orang yang menikah, kemudian berniat untuk berselingkuh”, begitu Ibu SN
Diding Rivilla, ketua DPW Salimah Kalimantan Timur sekaligus narasumber pada
acara talk show kali ini membuka pokok bahasannya.
Bersahabat dengan seseorang di masa lalu? Eits, tunggu dulu. Apa gunanya?
Ini juga celah yang sangat mungkin terjadi, kita menyebutnya sebagai Celebek atau CLBK, Cinta Lama Belum
Kelar, Cinta Lama Bersemi Kembali, atau sejenis itu. Silaturohim memang harus
tetap dijaga, tetapi menjalin persahabatan, seerat seperti yang dahulu, mungkin
tidak perlu.
Pernikahan adalah sebuah akad mengikat yang sakral, dalam artian bukan
untuk senda gurau atau permainan belaka. Siapapun yang telah menjadi jodoh
kita, maka itulah yang sepatutnya kita syukuri.
- Bagaimanapun pasangan kita, baik rupa, sifat, sikap, semuanya adalah rizqi yang Allah berikan untuk kita. Maka, syukuri. Sifat syukur ini akan menghindarkan diri kita dari angan-angan semu untuk menginginkan sosok yang lebih menurut sudut pandang kita. Sifat syukur ini juga memberikan implementasi positif ke dalam fikiran kita, untuk selalu merasa puas dengan yang sudah ada. Tidak memaksakan perubahan pada pasangan secara frontal, dan lebih banyak memperbaiki diri.
- Pernikahan adalah penyatuan dua jenis manusia yang berbeda. Butuh kerjasama, kekompakan di dalamnya. Tidak boleh ada yang saling mendominasi. Suami tidak boleh terlalu dominan, sehingga muncul istilah isteri di bawah ketiak suami. Begitupun dengan isteri, tidak boleh terlalu dominan, agar tidak muncul pula istilah suami-suami takut isteri.
- Suami dan isteri bertanggung jawab terhadap perannya masing-masing di dalam rumah tangga.
- Pernikahan adalah proses panjang yang membutuhkan pembelajaran. Karena itu, sebaiknya, baik suami ataupun isteri terus mau belajar. Belajar ilmu pernikahan, termasuk pula belajar ilmu perihal mendidik anak.
- Cinta suami-isteri harus senantiasa dijaga. Adakalanya, kesibukan mengurus anak-anak, kesibukan terhadap pekerjaan, melunturkan letup-letup cinta. Karenanya, suami dan isteri harus memiliki waktu berduaan, meski sedikit. Rayuan, gombalan, isyarat atau apapun itu, adalah senjata yang perlu di tembakkan setiap saat kepada pasangan.
- Beri waktu khusus, untuk berduaan, berdua saja, semacam refreshing dan kencan khusus, agar selalu ada waktu untuk memperbaharui cinta.
Riuh, peserta mulai gaduh saat kedua narasumber mengatakan, “sering-seringlah Bu, merayu suami”. Nampaknya,
rayuan bukan tradisi yang membumi di kalangan ibu-ibu yang hadir.
“Jangan salah
Bu, ibu yang paling berhak merayu suami ibu, bukan orang lain”, begitu ungkap
Ustadzah Fifi, narasumber kedua.
“Hanya ada satu
penyebab Bu, satu penyebab masalah perselingkuhan ini”, ujarnya dengan
berapi-api.
“Kedekatan kita
dengan Allah. Perhatikan ketika hubungan kita dengan Allah bermasalah, kita
tidak dekat dengan Allah, permasalahan dalam rumah tangga pasti muncul”, lanjut Ustadzah
Fifi kemudian.
Ya, inilah poin pentingnya. Kedekatan kita dengan Allah. Ini mungkin
dapat menjadi kesimpulan singkat, padat dan ber-nas, soal perselingkuhan ini.
Seperti yang pernah saya tuliskan,
Dalam
perjalanannya, pernikahan yang digawangi oleh cinta, juga membutuhkan hati-hati
yang bersih, jiwa-jiwa yang mulia. Apapun permasalahannya, jiwa yang senantiasa
terasuki nilai-nilai ilahi selalu mampu kembali, selalu berhasil merajut
tatanan benang yang kusut, selalu mampu menjadi solusi untuk memperbaiki.
Peserta sangat antusias untuk bertanya |
Saya rasa, selain kehadiran peserta, keaktifan atau
antusiasme peserta untuk terlibat di dalamnya memberi kepuasan tersendiri. Tercatat,
enam doorprize yang kami sediakan untuk peserta dengan pertanyaan unik, ludes. Rata-rata
adalah curhatan tentang permasalahan yang mereka hadapi. Ada seorang ibu yang
curhat tentang anaknya yang berselingkuh, ada curhatan seorang ibu muda, yang suaminya
sedang didekati wanita lain, dan macam-macam curhatan jenis selingkuh.
Ini foto bersama, dengan panitia, pengurus DPW (jas ungu), seusai acara. |
Ini baru mulai, belum selesai. Masih banyak peer menunggu. Dengan ini, saya hendak
berterimakasih kepada kawan-kawan yang bersedia membantu terselenggaranya
acara, dukungan secara pribadi yang langsung disampaikan kepada saya, sungguh
sangat berarti bagi saya, juga bagi Salimah untuk terus bergerak membangun
negeri, dan terus peduli pada peningkatan kualitas perempuan, anak dan keluarga
Indonesia. Semoga bisa kembali bertemu dalam aksi nyata Salimah bersama
program-program kerjanya, bertemu dalam lingkaran kebaikan yang penuh rohmat
dan barokah Allah. Amin ya mujibas sailin..
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
2 komentar
Semangat bu!tulisannya bagus n acaranya jg rame*sayang sekali sy gak ada
ReplyDeletebtw semoga semangat ibu tdk pernah padam n terus kan dakwahnya yach
semoga akan ada lg nurin2 yg lain d ktt......:)
@Hafizah Sophia:Semangat juga Bu,,, :). Terimakasih sudah berkenan singgah ke rumah saya.
ReplyDeleteHa? tidaaaaak! maksudnya ada kloningan saya? seperti alien? hehe...