Museum Replika Kesultanan Bulungan |
Masa lalu kerajaan Bulungan
Di Tanjung Palas pusat kerajaan
Peninggalan sejarah beberapa zaman
Sampai sekarang tetap diingatkan
Cerita singkat adat Bulungan
Semasa Sultan memimpin kerajaan
Di Tanjung Palas pusat pemerintahan
Dalam wilayah Kabupaten Bulungan1
Langit
mendung, angin bertiup pelan melambaikan kerudung yang saya kenakan hingga saya
pun harus berulang kali membenarkan posisinya agar tidak semakin berantakan. Di
atas perahu ketinting yang akan membawa saya menuju Kesultanan Bulungan, samar seolah
saya melihat arak-arakan para punggawa menyambut sambil membawa bendera-bendera
berwana kuning. Juga bunyi Meriam Sebenua yang membahana, yang diletakkan
persis di depan Kesultanan berbalut kain kuning, tanda jika Sultan sedang punya
pesta (Birau) dan mengundang rakyatnya.
Jika tidak didamparkan ke tempat nun jauh ini, saya mungkin tidak akan pernah tahu jika dahulu pernah berdiri Kerajaan besar yang memerintah negeri Bulungan, dimana wilayahnya terbentang luas mulai dari Bulungan, Tarakan, Tana Tidung, Malinau, Nunukan hingga Sabah. Keenam wilayah yang dahulunya bersatu dibawah naungan Kesultanan Bulungan, kini tidak meninggalkan apapun, kecuali pada mereka yang peduli pada sejarah. Namun sejarah tidak selalu berdiri dengan sendirinya, terlebih jika sejarah itu diberangus dan meninggalkan sedikit jejak. Maka kebesaran hanya tinggal kenangan, kenangan bagi manusia-manusia lampau, kenangan para penduduk asli, kenangan untuk mereka yang pernah merasai hidup disini di jaman itu, dan bukan untuk dinikmati banyak orang, terkecuali mereka yang peduli pada sejarah.
“Dulu pernah berdiri
kerajaan Bulungan disini, dimana wilayah kekuasaannya sampai pada Sabah”, Datu Abdul Hamid,
Pemangku Jabatan Sultan Bulungan saat ini membuka percakapan sore hari kami. Bisa
bertemu dengan Datu adalah sebuah hal langka bagi saya, sebab beliau biasa
menetap di Samarinda, dan hanya satu bulan sekali datang ke Bulungan.
Tahun
1918, sebagaimana kisah pada kerajaan-kerajaan lain di nusantara, saat itu
Belanda telah memiliki pengaruh di Bulungan. Di tahun itulah, Belanda
bersepakat dengan Inggris untuk saling bertukar wilayah jajahan. Belanda
memberikan Sabah pada Inggris, sedangkan Belanda mendapatkan wilayah di bagian
Sumatera sebagai gantinya. Saya lantas membayangkan, seberapa besarnyakah
kekuatan Belanda saat itu, hingga bisa sampai masuk pedalaman Bulungan. Padahal
sampai saat saya tiba disini saja, menaklukkan medan Bulungan saja masih tidak
mudah, apalagi di zaman itu.
Jika
menilik catatan Wolfgang Leufold (ahli geologi berkebangsaan Swiss) yang
bertugas pada tahun 1921 di perusahaan Hindia Belanda untuk mengeksplorasi
minyak di Pulau Bunyu, maka bisa diperkirakan pengaruh Belanda telah ada jauh
sebelum itu. Hubungan dekat Kesultanan Bulungan dengan Belanda dapat saya
saksikan dari foto Kapal Pesiar Boeloengan
Nederland pemberian Ratu Whilmena (Ratu Belanda sejak 1890-1948). Menurut
cerita, baru Kesultanan Bulungan sajalah yang dahulunya memiliki kapal sebagus
dan semegah ini di nusantara. Sayang, kapal Boeloengan Nederland ini tenggelam,
hingga hanya dapat disaksikan melalui foto. Bukti lain yang masih tersimpan
baik di museum adalah beberapa peralatan makan, minum, alat rias, keramik dan
beberapa barang pecah belah yang berasal dari Belanda.
Foto Kapal Boelongan Nederland |
Dari
catatan sejarah Kesultanan Bulungan, kerajaan Belanda mulai berhasil mempengaruhi
kesultanan Bulungan pada masa kekuasaan Sultan Kaharuddin II (1874-1889) dengan
ditanda tanganinya perjanjian kerjasama dimana Belanda mempunyai hak menentukan
kebijakan Sultan Bulungan termasuk urusan pajak dan Belanda memperoleh jaminan
keamanan dari pihak Sultan pada bulan Juni tahun 1878. Sebelumnya pada tanggal
02 Februari 1877 diterbitkanlah Ordonantie berupa Staatsblad (Surat Keputusan)
nomor 31 tentang kekuasaan mengatur Kerajaan Bulungan yang membawahi Tana
Tidung, Pulau Tarakan, Nunukan, Pulau Sebatik serta beberapa pulau kecil
disekitarnya. Bahkan SK tersebut dikukuhkan kembali pada 15 Maret 1884 oleh
Sekretaris Kerajaan Belanda di Bogor. Namun pada akhirnya, kerjasama tersebut
banyak memicu serangkaian kebijakan Belanda yang sangat merugikan Kesultanan
Bulungan. Diantaranya dengan diterbitkannya keputusan nomor 83 tanggal 1 Maret
1897 yang berisi penyerahan tanah beberapa kerajaan di Kalimantan kepada
Belanda sampai pada pelepasan wilayah Sabah dari Kesultanan Bulungan.
Beberapa peralatan makan dan alat rias kesultanan |
Tahun 1900-an
adalah masa keemasan Kesultanan Bulungan semenjak ditemukannya sumber minyak di
pulau Tarakan. Sultan Kasimudin yang bergelar Sultan Maulana Muhammad Kasimudin
(1901-1925) memberlakukan sistem politik yang menentang berbagai kebijakan
Pemerintah Belanda seperti penghapusan upeti dan penjemputan tamu-tamu Belanda
ke kapal sebelum merapat.
“Kesultanan Bulungan
dulu sangat kaya. Bahkan Indonesia pernah berhutang pada kita, sebab Bulungan
sempat menyerahkan surat obligasi untuk membantu pemerintah pusat yang sedang
kekurangan dana untuk mempertahankan kemerdekaan”. Ucap Datu sambil membenahi posisi
duduknya.
Tanggal
17 Agustus 1949, Kesultanan Bulungan sekaligus mewakili Kerajaan Sambaliung dan
Kerajaan Gunung Tabur (Kini Kab. Berau) dan juga didasari atas kesepakatan para
Sultan dan Raja-raja di Nusantara sepenuhnya menyatakan berdiri di belakang
Sultan Syahrir di Batavia. Pukul 07.00 wita di hari itu, untuk pertama kalinya
bendera Merah Putih dikibarkan di depan Istana yang dipimpin oleh sultan
Muhammad Djalaluddin (1931-1958). Bertindak sebagai penggerak bendera pada saat
itu adalah PJ. Pelupessi, asisten wedana yang juga kawan dekat Sultan
Djalaluddin. Pada tanggal 27 Desember 1949 pihak Belanda mengakui kedaulatan
RI, dan pada tahun 1950, wakil presiden RI saat itu, Bung Hatta secara khusus
datang ke Tarakan untuk menyatakan penghargaannya kepada rakyat Kesultanan
Bulungan atas dukungannya terhadap Republik Indonesia.
Melalui
sejarah yang cukup panjang, pada tanggal 10 April 1949 Kalimantan Timur secara
resmi bergabung dengan Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.
Selanjutnya tahun 1957 Kaltim diresmikan menjadi propinsi dengan Samarinda
sebagai ibu kotanya dilengkapi dengan Daerah Tingkat II yang berstatus Daerah
Istimewa yakni Kutai (Saat ini mengalami pemekaran menjadi Kab. Kutai
Kartanegara, Kab. Kutai Timur, Kab. Kutai Barat, Kab. Paser, Kab. Penajam Paser
Utara, ), Bulungan (Saat ini mengalami pemekaran menjadi Kab. Bulungan, Kab.
Malinau, Kab. Nunukan, Kab. Tana Tidung dan Kota Tarakan), dan Berau.
Sultan Muhammad Djalaloeddin berpose bersama keluarga kesultanan |
Setelah
bergabung dengan NKRI, tahun 1963 masyarakat Bulungan harus memenuhi Tri
Komando Rakyat (Trikora) untuk berkonfrontasi dengan Malaysia. Peristiwa ini di
dengungkan Soekarno dengan slogan ‘Ganyang Malaysia’. Yang menjadi permasalahan
adalah karena letak geografis Bulungan yang berbatasan langsung dengan
Malaysia, sementara di wilayah ini tidak sedikit ikatan tali persaudaraan
masyarakatnya. Tidak lama setelahnya, pemerintah menuding bahwa Kesultanan
Bulungan telah melakukan makar yang dikenal dengan sebutan Gerakan Subversif
Bultiken (Bulungan-Tidung-Kenyah) dan bergabung dengan Malaysia. Pada tanggal
23-24 Juli 1964, TNI yang pada saat itu memang sudah siap siaga di Tarakan,
Bulungan dan Nunukan pada konfrontasi dengan Malaysia sebelumnya,
membumihanguskan tiga istana Kesultanan Bulungan dengan memobilisasi kekuatan
masyarakat kelas bawah. Selain itu, semua anggota Kesultanan dan keluarganya di
culik, ditangkap bahkan dibunuh. Sebagian hingga kini, bahkan tidak diketahui
dimana rimbanya. Menurut Datu, semua itu akibat hasutan kelompok PKI. Akhirnya,
sisa kebesaran Kesultanan Bulungan yang telah bertahan selama kurang lebih enam
abad kini telah musnah. Bahkan, dalam mata pelajaran sejarah yang diajarkan di
sekolah-sekolah tidak pernah diajarkan mengenai sejarah Kerajaan Bulungan.
Bupati (kedua dari kanan) pada pesta adat Birau. |
Pesta
adat Birau yang dilaksanakan setiap bulan Oktober kini menjadi alternatif bagi para generasi muda, termasuk pendatang seperti saya untuk kian mengenali budaya Bulungan. Ada banyak hal yang disuguhkan di Birau, seperti tari-tarian, makanan, budaya, berbagai perlombaan tradisional dan beberapa upacara adat.
"Kuning pada pakaian adat Bulungan adalah pengaruh dari agama Hindu yang dulu dianut sebelum masuknya islam. Pakaian adat wanita biasa dinamakan Baju Raya Tanga, disebut seperti itu karena pakaian wanitanya memiliki model tangan yang besar, tidak seperti baju jaman sekarang yang sempit-sempit", jelas Datu pada saya sambil mempraktekkan model pakaian adat.
"Kalau laki-laki namanya Benuanta, ada juga yang namanya Telok Belanga"
Senja mulai merangkak naik. Kumandang maghrib menanti hanya berbilang menit. Datu Abdul Hamid bersegera menutup jendela-jendela museum. Meski kiranya masih ada beberapa pengunjung yang baru saja masuk. Bulungan kini hanya merunut pada kisah legenda, yang turun temurun dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai awal mula kisah munculnya suku Bulungan. Sebutan Bulungan ditengarai berasal dari Bulongan (bambu dan telur) dimana dari keduanya muncul sepasang bayi laki-perempuan yang kemudian menikah dan lantas turun temurun menjadi asal mula penduduk Bulungan. Ada juga yang menyebutkan Bulungan berasal dari Buluh (bambu) dan Tengon (betulan). Islam mulai masuk ke Bulungan sejak nenek moyang Bulungan menikah dengan pangeran kerajaan Brunei. Perkawinan antar etnis ini pula yang memperkuat sejarah perkembangan agama islam di pedalaman Kalimantan.
Saya kembali. Menyusuri sungai Kayan, dan kini lebih bisa mengagumi karunia Allah yang telah dengan baik hati menempatkan saya di tempat ini. Menuliskan sejarah saya sendiri, menyaksikan kebesaran Kesultanan Bulungan di atas reruntuhan puing yang tersisa. Berdecak kagum pada sebuah kota kecil, Tanjung Selor yang didiami berbagai suku dengan damai dan aman. Suku-suku Arab, Cina, Banjar dan Bugis telah menyatu sejak puluhan tahun lalu, sejak tahun 1800-an. Dan kini, sejarah akan berulang, empat kabupaten dan 1 kota yang dulunya bersatu, bercerai, kini akan kembali bersatu membentuk sejarahnya sendiri.
"Bulungan tidak pernah berkhianat pada negeri",
"Sekarang saya masih berkewajiban mengumpulkan semua sejarah yang masih terserak, semoga saja semua anggota keluarga kami bisa menyatu", sebuah mimpi dan harapan terlontar dari bibir Datu di penghujung pertemuan kami.
"Terimakasih pak, bukunya insyaalloh akan saya kembalikan", saya sampai lupa menyebut Datu saking sederhananya penampilan dan sikap beliau pada saya.
Tanjung Selor Kota Ibadah
Keterangan: 1. Syair karangan M. Djafar Abdullah
Sumber tulisan: museum Kesultanan Bulungan dan percakapan bersama Datu Abdul Hamid, Pemangku Jabatan Sultan Bulungan (2008-2013).
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
6 komentar
Wah, ternyata di bumi nusantara ini banyak kesultanan yg tdk aku tahu sblmnya. Dgn artikel ini skrg aku jd tahu gambaran indah dan kekayaan budaya kesulatan Bulungan. Moga sukses dlm lomba blognya ya, Mbak.
ReplyDelete@Irham Sya'roni iya, saya juga baru tahu. Terimakasih mas, ayo ikutan juga, masih ada waktu,
ReplyDelete@harry sakti he.. he ... jadi malu. Salam kenal mas, ini kemarin saya lagi ikut event lomba.
ReplyDeletetulisan yang inspiratif bagi kami penulis lokal dunia maya di Bulungan. salam kenal dari saya ZEE
ReplyDelete@Muhammad_Zarkasyi.Blogspot.com salam kenal juga pak Zarkasyi, saya sering berkunjung ke tempat Bapak juga, untuk membaca banyak sejarah yang tertuang disana. Salam inspiratif!
ReplyDelete;-)
ReplyDelete